08 September, 2017

Konvensi Hak-hak Anak [sekilas]

Anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa serta sebagai sumber daya manusia di masa depan yang merupakan modal bangsa bagi pembangunan berkesinambungan [sustainable development]. Berdasarkan filosofi tersebut, kepentingan yang utama untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan anak, harus memperoleh prioritas yang sangat tinggi. Kenyataan, tidak semua anak mempunyai kesempatan sama dalam merealisasikan harapan dan aspirasinya. Banyak diantara mereka beresiko tinggi untuk tidak tumbuh dan berkembang secara sehat, mendapatkan pendidikan yang terbaik, karena keluarga yang miskin, orang tua bermasalah, diperlakukan salah, ditinggal orang tua, sehingga tidak dapat menikmati hidup secara layak.
Meletusnya perang pertama, juga sebagai penyebab 'banyak anak yang menjadi korban', mereka mengalami kesengsaraan, hak-hak mereka yang terabaikan dan tidak sedikit menjadi korban kekerasan. Dengan berakhirnya perang, tidak berarti hal kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak seketika langsung berkurang. Bahkan eksploitasi terhadap hak-hak anak berkembang ke arah yang lebih memprihatinkan. Pelanggaran terhadap hak-hak anak bukan saja terjadi di negara yang sedang terjadi konflik bersenjata, tapi juga terjadi di negara-negara berkembang bahkan negara-negara maju. 
Permasalahan sosial dan masalah anak sebagai akibat dari dinamika pembangunan ekonomi diantaranya anak jalanan [street shildren], pekerja anak [child labour], perdagangan anak [child trafficking] dan prostitusi anak [child prostitution. Berdasarkan fakta ini, PBB mengesahkan Konvensi Hak-hak Anak [Convention On The Rights of The Child] untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan menegakkan hak-hak anak di seluruh dunia, pada tanggal 20 Nopember 1989 dan mulai mempunyai kekuatan memaksa [entered in to force] tanggal 2 September 1990. Konvensi ini telah diratifikasi oleh semua negara di dunia, kecuali Somalia dan Amerika Serikat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak ini dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996.
Konvensi Hak-hak Anak terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 4 bagian, yaitu :
1. Mukadimah, yang berisi konteks Konvensi Hak-hak Anak.
2. Bagian Satu (Pasal 1-41), yang mengatur hak-hak anak.
3. Bagian Dua (Pasal 42-45), yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak.
4. Bagian Tiga (Pasal 46-54), yang mengatur masalah pemberlakuan konvensi.
 
Konvensi Hak-hak Anak mempunyai 2 protokol opsional
1. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2012).
2. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (Indonesia telah meratifikasi protokol opsional ini dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2012).
 
Konvensi Hak-hak Anak berisi 8 kelompok
Kelompok I : Langkah-langkah Implementasi
Kelompok II : Definisi Anak
Kelompok III : Prinsip-prinsip Hukum KHA
Kelompok IV : Hak Sipil dan Kebebasan
Kelompok V : Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif
Kelompok VI : Kesehatan dsn Kesejahteraan DasarKelompok
Kelompok VII : Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
Kelompok VIII : Langkah-langkah Perlindungan Khusus
 
Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori
1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran.
3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
4. Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.
Sebagai perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002 yang secara keseluruhan, materi pokok dalam undang-undang tersebut memuat ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak. Bahkan sebelum Konvensi Hak-hak Anak disahkan, Pemerintah telah mengesahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 telah diperluas pengertian anak, yaitu bukan hanya seseorang yang berusia dibawah 18 tahun, seperti yang tersebut dalam Konvensi Hak-hak Anak, tapi termasuk juga anak yang masih dalam kandungan. Begitu juga tentang hak anak, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 terdapat 31 hak anak. Setelah meratifikasi Konvensi hak-hak Anak, negara mempunyai konsekuensi :
a. Mensosialisasikan Konvensi Hak-hak Anak kepada anak.
b. Membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak.
c. Membuat laporan periodik mengenai implementasi Konvensi Hak-hak Anak setiap 5 tahun.
Peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan Konvensi Hak-hak Anak, diantaranya :
a. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
b. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.
c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
d. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
e. UU-23-2002 tentan Perlindungan Anak
f. UU-13-2003 tentang Ketenagakerjaan
g. UU-20-2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
h. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
i. UU-12-2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
j. UU-21-2007 : Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
k. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
l. Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak [RAN-PESKA].
Dengan adanya Konvensi Hak-hak Anak tidak dengan serta merta merubah situasi dan kondisi anak-anak di seluruh dunia. Namun setidaknya ada acuan yang dapat digunakan untuk melakukan advokasi bagi perubahan dan mendorong lahirnya peraturan perundangan, kebijakan ataupun program yang lebih responsif anak, agar kita [Bangsa Indonesia semakin menjaga dan menyayangi anak-anak.