02 October, 2017

Mengapa Pengacara Memakai Toga Berwarna Berwarna Hitam ?

Hampir di seluruh dunia, para pengacara atau penasehat hukum selalu menggunakan toga hitam di persidangan, terutama dalam persidangan perkara-perkara pidana. Bagaimana hal ini bermula, dan Apa asal usulnya?
Pada suatu petang di tahun 1791, tepatnya di Perancis, seorang hakim tengah duduk-duduk beristirahat di beranda rumahnya. Rumahnya yang asri dan berhalaman luas sangat cocok untuk menenangkan fikiran setelah seharian bekerja sebagai pengadil. Tapi sebuah kejadian tak terduga terjadi di sore itu. Ketika sang Hakim duduk rehat, tiba-tiba dia melihat di depan rumahnya, dua orang yang sedang berkelahi. Karena hebatnya perkelahian, akhirnya salah seorang di antaranya terbunuh. Melihat lawannya tumbang tak bergerak, sang pembunuh lari kabur meninggalkan lokasi. Tak beberapa lama kemudian, seorang pejalan kaki lewat dan melihat jasad korban. Dengan segera, pejalan kaki itu mengangkat jasad tak berdaya itu dan membawanya ke rumah sakit. Tapi sayang, baru beberapa langkah, pria itu pun tewas tak terselamatkan. Semua kejadian itu dilihat sang Hakim di depan matanya.
Tak lama, polisi datang dan menangkap pejalan kaki tersebut, dan dengan segera ia jadi tersangka pembunuhan. Ketika diseret ke persidangan sebagai terdakwa, sang Hakim itu pula yang menjadi pengadilnya. Meski sang Hakim melihat sendiri kejadian yang sebenarnya dengan mata kepala sendiri, tapi berdasarkan hukum acara pidana Perancis (setidaknya kala itu) yang mendasarkan hukum atas fakta-fakta dan alat-alat bukti yang ada, maka dengan berat hati, pria tersebut dinyatakan bersalah oleh sang hakim sehingga ia divonis hukuman mati! Setelah menjatuhkan putusan, berhari-hari lamanya sang Hakim dirundung gundah. Nuraninya gelisah. Jiwanya berontak, antara aturan hukum dan keadilan. Sang hakim tidak dapat tidur dengan tenang. Karena tak tahan dengan kegelisahan, akhirnya pada suatu hari ia berpidato di depan umum bahwa ia telah salah menjatuhkan hukuman mati atas pria tersebut. Mendengar pengakuan itu, rakyat pun heboh. Caci maki dan sumpah serapah mereka layangkan kepada sang pengadil. Ia dicerca sebagai hakim yang tidak berhati nurani, hakim yang bodoh, kaku, letterlijk dan lain sebagainya.
Waktu pun berlalu, dan kehebohan tentang kontroversi vonis mati itu telah meredup. Pada suatu hari, ketika sang hakim bersidang seperti biasa, tiba-tiba seorang pengacara hadir di hadapannya dengan memakai toga berwarna hitam. Pengacara itu tengah membela seorang terdakwa yang sedang diadili sang hakim.
"Mengapa engkau memakai pakaian hitam seperti ini?".
Tanya sang hakim penuh heran kepada pengacara tersebut.
"Pakaian Hitam Ini, adalah untuk mengingatkan engkau atas kekejamanmu beberapa waktu lalu, ketika engkau mem-vonis mati orang yang tidak bersalah!". Jawab pengacara tersebut dengan tegas.
Sejak itulah, para pengacara di Perancis menggunakan toga hitam ketika bersidang. Dari Perancis, kebiasaan ini menyebar hampir ke seluruh pengadilan di dunia.
#Sumber-Referensi : Internet

28 September, 2017

Prinsip Imputansi

Prinsip ini memungkinkan seorang subjek hukum untuk terhindar dari konsekuensi-konsekuensi hukum tertentu, misalnya karena adanya gangguan jiwa (non compos mentis), belum dewasa, daya paksa (overmacht), pembelaan paksa karena darurat (noodtoestand), dan karena menjalankan tugas jabatan. Imputasi adalah asas yang mengaitkan akibat tertentu kepada seseorang karena perbuatan orang. Orang yang menerima akibat dan melakukan perbuatan tertentu itu bisa sama juga bisa tidak, contoh jika saya mengendari mobil dan menyerempet mobil orang lain maka saya berkewajiban membayar ganti rugi kepada pemilik mobil yang ditabrak itu. Tapi jika yang menyerempet adalah sopir maka yang harus mengganti rugi adalah bukan sopir tetapi majikannya. Menautkan tanggung jawab/kewajiban) kepada subyek tertentu dalam situasi peristiwa atau keadaan tertentu. Berdasarkan imputasi berlaku, "jika A (terjadi atau ada), maka seyogyanya B (terjadi).

Larangan Membagikan Kekayaan Yayasan

Pasal 5 Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan. 

Stimulus Perubahan Hukum

Perubahan hukum, yang kemudian dapat mengubah suatu pandangan/sikap dan kehidupan suatu masyarakat berasal dari berbagai stimulus, antara lain :
1/ berbagai perubahan secara evolutif terhadap norma-norma dalam masyarakat
2/ kebutuhan dadakan dari masyarakat karena adanya keadaan khusus atau keadaan darurat, khususnya dalam hubungan dengan distribusi sumber daya atau dalam hubungan dengan distribusi sumber daya atau dalam hubungan dengan standar baru tentang keadilan.
3/ atas inisiatif dari kelompok kecil masyarakat yang dapat melihat jauh ke depan, yang kemudian sedikit demi sedikit mempengaruhi pandangan dan cara hidup masyarakat.
4/ ada ketidakadilan secara teknikal hukum yang juga meminta perubahan hukum tersebut.
5/ ada ketidakkonsistenan dalam tubuh hukum yang juga meminta perubahan terhadap hukum tersebut.
6/ ada perkembangan pengetahuan dan teknologi yang memunculkan bentukan baru terhadap bidang hukum tertentu, seperti penemuan alat bukti baru untuk membuktikan suatu fakta (W. Friedman).

Referensi : Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Munir Fuady

Ibnu Khaldun : kausalitas

kausalitas tidak hanya menjadi hukum yang berlaku pada alam fisik [benda mati] semata, melainkan juga menjadi hukum yang menguasai hubungan-hubungan antar manusia dan fenomena-fenomena sosial pada umumnya. Sehingga masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yaitu dalam kerangka sebab akibat.

Larangan Bagi Organ Yayasan

Kekayaan Yayasan yang diperoleh dari hasil kegiatan usaha, DILARANG DIBAGIKAN kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas, karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan. Dengan konsekuensi ancaman pidana selama 5 tahun, bagi anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan ini, serta dimungkinkan pula dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan Yayasan yang
dialihkan atau dibagikan [Pasal 70 UUY].
Sedangkan untuk pembayaran gaji dan tunjungan kepada karyawan, biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh organ Yayasan dalam rangka menjalankan tugas dan kegiatan Yayasan tidak terkena larangan dan sanksi tersebut.
Yayasan DILARANG memakai nama yang sama dengan Yayasan lain dan dilarang pula untuk melakukan perubahan AD pada saat Yayasan pailit [kecuali atas persetujuan kurator].
Dasar Hukum
Pasal 5 UU-28-2004 Tentang Perubahan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
1. Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.
2. Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan :
a. bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina,dan Pengawas; dan
b. melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.
3. Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan."

Pasal 70 UU-16-2001 Jo.UU-28-2004
1. Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
2. Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.

Pendiri Bukanlah Pemilik Yayasan

Pengangkatan pembina sejak awal pendirian yayasan dalam hal ini tidak diatur oleh  Undang-Undang Yayasan [UUY], sehingga bisa disimpulkan bahwa Anggaran Dasar yang pertama kali-lah yang menetapkan dan mengangkat pembina, yaitu para pendiri Yayasan pertama kali yang mengangkat pembina. Namun pada sisi lain pembina bisa diangkat oleh Pengurus dan Pengawas, sebaliknya Pengurus dan Pengawas ini menurut UUY justru diangkat dan diberhentikan oleh Pembina, hal ini dimungkinkan terjadi karena organ pembina pada Yayasan bisa terjadi dalam kondisi PERSON VACUUM sebagaimana diatur dalam Pasal 28 (3)  UUY.

Dengan berlakunya UUY ini penulis berpendapat bahwa, pada hakekatnya para pendiri Yayasan bukanlah pemilik dari Yayasan. Dalil ini didasarkan kepada doktrin BRINZ, dimana kekayaan di dalam badan hukum itu tidak ada pemiliknya, maka hak-hak badan hukum sebagaimana Yayasan sebenarnya juga tidak ada yang memiliki, namun sebagai gantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan, dimana kekayaan yang dimiliki ini adalah untuk tujuan tertentu. Berdasarkan teori ini maka pendiri bukanlah pemilik kekayaan, dengan alasan bahwa pendiri telah memisahkan kekayaan pribadinya untuk menjadi milik Yayasan, atau dengan kata lain, setiap harta kekayaan yang telah disumbangkan, dihibahkan untuk mendirikan dan menjalankan aktivitas Yayasan merupakan suatu derma bagi tujuan idealis Yayasan, karena sudah disumbangkan/didermakan, maka dengan sendirinya Yayasan itu bukan lagi menjadi milik para pendiri, apalagi milik pengurus dan pengawas. Terlebih lagi dengan adanya larangan untuk membagikan hasil usaha Yayasan dan larangan untuk mengalihkan atau membagikan kekayaan Yayasan kepada badan organik Yayasan seperti Pembina, Pengurus dan Pengawas.

15 September, 2017

Bemmelen dan Cesare : Ultimum Remedium

Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan ini menjadi alasan untuk menganggap hukum pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi.
 
Berbicara ultimum remedium juga akan bersinggungan langsung dengan tujuan pemidanaan yang antara lain menurut Cesare Beccaria Bonesana (1764) dikatakan ada dua hal yaitu untuk tujuan prevensi khusus dan prevensi umum. Tujuan pemidanaan hanyalah supaya si pelanggar tidak merugikan sekali lagi kepada masyarakat dan untuk menakuti-nakuti orang lain agar jangan melakukan hal itu. Menurut Beccaria yang paling penting adalah akibat yang menimpa masyarakat. Keyakinan bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari pidana yang seharusnya diterima, begitu pula dengan hilangnya keuntungan yang dihasilkan oleh kejahatan itu. Namun Beccaria mengingatkan sekali lagi bahwa segala kekerasan yang melampaui batas tidak perlu karena itu berarti kelaliman.
 
referensi link : RGS & Mitra

08 September, 2017

Konvensi Hak-hak Anak [sekilas]

Anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa serta sebagai sumber daya manusia di masa depan yang merupakan modal bangsa bagi pembangunan berkesinambungan [sustainable development]. Berdasarkan filosofi tersebut, kepentingan yang utama untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan anak, harus memperoleh prioritas yang sangat tinggi. Kenyataan, tidak semua anak mempunyai kesempatan sama dalam merealisasikan harapan dan aspirasinya. Banyak diantara mereka beresiko tinggi untuk tidak tumbuh dan berkembang secara sehat, mendapatkan pendidikan yang terbaik, karena keluarga yang miskin, orang tua bermasalah, diperlakukan salah, ditinggal orang tua, sehingga tidak dapat menikmati hidup secara layak.
Meletusnya perang pertama, juga sebagai penyebab 'banyak anak yang menjadi korban', mereka mengalami kesengsaraan, hak-hak mereka yang terabaikan dan tidak sedikit menjadi korban kekerasan. Dengan berakhirnya perang, tidak berarti hal kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak seketika langsung berkurang. Bahkan eksploitasi terhadap hak-hak anak berkembang ke arah yang lebih memprihatinkan. Pelanggaran terhadap hak-hak anak bukan saja terjadi di negara yang sedang terjadi konflik bersenjata, tapi juga terjadi di negara-negara berkembang bahkan negara-negara maju. 
Permasalahan sosial dan masalah anak sebagai akibat dari dinamika pembangunan ekonomi diantaranya anak jalanan [street shildren], pekerja anak [child labour], perdagangan anak [child trafficking] dan prostitusi anak [child prostitution. Berdasarkan fakta ini, PBB mengesahkan Konvensi Hak-hak Anak [Convention On The Rights of The Child] untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan menegakkan hak-hak anak di seluruh dunia, pada tanggal 20 Nopember 1989 dan mulai mempunyai kekuatan memaksa [entered in to force] tanggal 2 September 1990. Konvensi ini telah diratifikasi oleh semua negara di dunia, kecuali Somalia dan Amerika Serikat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak ini dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996.
Konvensi Hak-hak Anak terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 4 bagian, yaitu :
1. Mukadimah, yang berisi konteks Konvensi Hak-hak Anak.
2. Bagian Satu (Pasal 1-41), yang mengatur hak-hak anak.
3. Bagian Dua (Pasal 42-45), yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak.
4. Bagian Tiga (Pasal 46-54), yang mengatur masalah pemberlakuan konvensi.
 
Konvensi Hak-hak Anak mempunyai 2 protokol opsional
1. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2012).
2. Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (Indonesia telah meratifikasi protokol opsional ini dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2012).
 
Konvensi Hak-hak Anak berisi 8 kelompok
Kelompok I : Langkah-langkah Implementasi
Kelompok II : Definisi Anak
Kelompok III : Prinsip-prinsip Hukum KHA
Kelompok IV : Hak Sipil dan Kebebasan
Kelompok V : Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif
Kelompok VI : Kesehatan dsn Kesejahteraan DasarKelompok
Kelompok VII : Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
Kelompok VIII : Langkah-langkah Perlindungan Khusus
 
Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori
1. Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
2. Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran.
3. Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
4. Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.
Sebagai perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002 yang secara keseluruhan, materi pokok dalam undang-undang tersebut memuat ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak. Bahkan sebelum Konvensi Hak-hak Anak disahkan, Pemerintah telah mengesahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 telah diperluas pengertian anak, yaitu bukan hanya seseorang yang berusia dibawah 18 tahun, seperti yang tersebut dalam Konvensi Hak-hak Anak, tapi termasuk juga anak yang masih dalam kandungan. Begitu juga tentang hak anak, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 terdapat 31 hak anak. Setelah meratifikasi Konvensi hak-hak Anak, negara mempunyai konsekuensi :
a. Mensosialisasikan Konvensi Hak-hak Anak kepada anak.
b. Membuat aturan hukum nasional mengenai hak-hak anak.
c. Membuat laporan periodik mengenai implementasi Konvensi Hak-hak Anak setiap 5 tahun.
Peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan Konvensi Hak-hak Anak, diantaranya :
a. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
b. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.
c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
d. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
e. UU-23-2002 tentan Perlindungan Anak
f. UU-13-2003 tentang Ketenagakerjaan
g. UU-20-2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
h. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
i. UU-12-2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
j. UU-21-2007 : Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
k. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
l. Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak [RAN-PESKA].
Dengan adanya Konvensi Hak-hak Anak tidak dengan serta merta merubah situasi dan kondisi anak-anak di seluruh dunia. Namun setidaknya ada acuan yang dapat digunakan untuk melakukan advokasi bagi perubahan dan mendorong lahirnya peraturan perundangan, kebijakan ataupun program yang lebih responsif anak, agar kita [Bangsa Indonesia semakin menjaga dan menyayangi anak-anak.
 









 

02 September, 2017

Pengertian Tanpa Hak dalam UU-ITE | sederhana

Salah satu asas yang diterapkan dalam Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu kewajiban kita selaku pengguna untuk menerapkan asas itikad baik. Maksudnya UU-ITE menerapkan asas kepada para pihak untuk melaksanakan transaksi elektronik, tidak dengan tujuan secara sengaja [dengan niat, keinginan sendiri, maksud sendiri secara egois] serta tanpa hak [tidak memiliki kewenangan] dan melawan hukum, sehingga menimbulkan akibat atau mengakibatkan timbul kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.

Mengenai beberapa perubahan pada UU-ITE Terbaru Nomor 19 tahun 2016

Pertanyaan dari Bapak Iyus | 0822-8116-3*** | Tanggal 1 September 2017
Pak Robaga, mau nanya pasal 51 Undang-Undang ITE Nomor 11 tahun 2008, apa masih bisa diterapkan setelah lahir UU R.I. no.19 tahun 2016 pasal 51 Jo 36 jo 27 ayat 3 UU RI No 11 tahun 2008. Apakah masih efektif digunakan setelah muncul UU RI No. 19 tahun 2016 ?
Untuk perkara pencemaran nama baik melalui sarana elektronik, yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Apakah penerapan pasal masih efektif menggunakan Pasal 51 Jo 36 Jo 27 ayat 3 UU RI No.11 tahun 2008 Sebagaimana dirubah dengan UU RI no 19 tahun 2016.

Opini / Pendapat Sederhana RGS :
Pasal 51 UU-11-2008 :
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
2.
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Penjelasan Pasal 51 : Sudah Cukup Jelas.
Pasal 36 UU-11-2008
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
Penjelasan Pasal 36 : Cukup jelas
 
Pasal 27 ayat 3 UU-11-2008
Perbuatan Yang Dilarang
Pasal 27 [3] : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Resume Pertanyaan : Apakah keseluruhan Pasal 27 [3], pasal 36, Pasal 51 UU-11-2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masih efektif digunakan setelah lahirnya UU-19-2016 ?

Jawaan : 
Ketentuan pasal 27 [3] UU-11-2008 : tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang UU-19-2016.

Ketentuan pasal 36 UU-11-2008 : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain. Masih efektif dengan tetap berpedoman pada UU-19-2016.

Ketentuan Pasal 51 UU-11-2008 : tetap efektif dipergunakan dan tidak mengalami perubahan berdasarkan ketentuan uu-19-2016.
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Mohon koreksi dan masukan, apabila masih terdapat kesalahan disana-sini dari pendapat sederhana diatas, terimakasih & salam hormat. RGSMitra.

Tujuan Hukum | Socrates


22 August, 2017

Gugatan Asesor atau Gugatan Tambahan

Gugatan Asesor atau Gugatan Tambahan [additional claim] dalam gugatan pokok, memiliki Tujuan adanya gugatan asesor untuk melengkapi gugatan pokok agar kepentingan penggugat lebih terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan.  Secara teori dan praktek, gugatan asesor tidak dapat berdiri sendiri, oleh karena itu gugatan asesor hanya dapat ditempatkan dan ditambahkan dalam gugatan pokok. Sehingga landasan untuk mengajukan gugatan asesor adalah adanya gugatan pokok itu sendiri, dimana gugatan asesor dicantumkan pada akhir uraian gugatan pokok. Penggugat dapat  mengajukan rumusan tambahan, berupa gugatan tambahan atau gugatan asesor dengan syarat :
1] Gugatan tambahan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan pokok, dan sifat gugatan tambahan, tidak dapat berdiri sendiri diluar gugatan pokok.
2] Antara gugatan pokok dengan gugatan tambahan harus saling mendukung, tidak boleh saling bertentangan.
3] Gugatan tambahan sangat erat kaitannya dengan gugatan pokok dan dengan kepentingan penggugat.
Terdapat 2 [dua] jenis gugatan asesor yang dianggap paling melindungi kepentingan penggugat yaitu :
1] gugatan provisi, berdasarkan Pasal 180 ayat [1] Herzeine Inlandsch Reglement [“HIR”]. Pasal ini memberi hak kepada penggugat mengajukan gugatan asesor dalam gugatan pokok, berupa permintaan agar Pengadilan menjatuhkan putusan provisi yang diambil sebelum perkara pokok diperiksa. Putusan tersebut mengenai hal-hal yang berkenaan dengan tindakan sementara untuk ditaati tergugat sebelum perkara pokok memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya menghentikan tergugat meneruskan pembangunan, menjual barang objek perkara, mencairkan rekening bank, dan sebagainya.
[2] gugatan tambahan penyitaan, berdasarkan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR. Penyitaan atau beslag [seizure] merupakan tindakan yang dilakukan Pengadilan berupa penempatkan harta kekayaan tergugat atau barang objek sengketa berada dalam keadaan penyitaan untuk menjaga kemungkinan barang-barang itu dihilangkan atau diasingkan tergugat selama proses perkara berlangsung. Tujuan dari penyitaan tersebut adalah supaya gugatan penggugat tidak illusoir [tidak hampa], apabila penggugat berada dipihak yang menang.

Terdapat beberapa macam sita yang dapat diajukan sebagai gugatan asesor:
1] conservatoir beslag atau sita jaminan berdasarkan Pasal 227 ayat (1) HIR. Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.
2] revindicatoir beslag atau sita pemilik berdasarkan Pasal 226 ayat (1) HIR. Orang yang mempunyai barang yang tidak tetap, dapat meminta dengan surat atau dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang di dalam daerah hukumnya tempat tinggal orang yang memegang barang itu, supaya barang itu disita.
3] marital beslag atau sita harta bersama berdasar Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 24 ayat 2 huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan. Istri dapat meminta pemisahan harta perkawinan dengan alasan :  [1] Suami karena kelakuan yang nyata tidak baik / boros dalam mengelola harta kekayaan persatuan. [2] Karena tidak ada ketertiban dari suami mengurus hartanya sendiri sedangkan yang menjadi hak istri akan kabur atau lenyap. [3] Karena kelalaian yang sangat besar dalam mengurus harta kawin istri sehingga khawatir harta ini akan menjadi lenyap. [4] Adanya permintaan atau tuntutan nafkah berdasarkan Pasal 24 ayat 2 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang  Perkawinan.

Catatan : Untuk pemahaman dan penerapannya bagi masyarakat umum, tentu bukanlah suatu hal yang sangat mudah untuk dapat dilaksanakan dan di mengerti seketika, ketika seseorang berperkara di muka pengadilan. Untuk memahami hal tersebut, masyarakat pembaca kami undang untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan hukum dalam ruang lingkup hukum acara perdata di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Advokat RGS & Mitra, silahkan klik melalui link ini.

01 June, 2017

Legal Opinion

Istilah Legal Opinion dalam bahasa latin disebut Ius Opinio, dimana Ius artinya Hukum dan Opinio artinya pandangan atau pendapat. Legal opinion adalah istilah yang dikenal dalam sistem hukum Common Law [Anglo Saxon], sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental [Civil Law] dikenal dengan istilah Legal Critics.
Pengertiannya adalah sekumpulan dokumen tertulis yang dijadikan padanan aplikasi bagi para pengacara atau pengertian pendapat hukum yang berkaitan dengan berbagai masalah hkum dari para pihak terkait dan sesuai dengan fakta-faktanya.

01 October, 2016

Pajak Pada Zaman Kerajaan dan Penjajahan di Indonesia

Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian suka rela atau upeti oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu, upeti lama kelamaan berubah dari kepentingan negara menjadi kepentingan rakyat, yang digunakan untuk kepentingan umum seperti: pemeliharaan transportasi, pembuatan pertanian, pembangunan sarana sosial dan lain lain. Pajak merupakan salah satu dari gejalah sosial yang ada dalam Sebuah Negara, dalam hal ini pajak tidak mungkin ada tanpa adanya masyarakat dalam sebuah negara. Masyarakat yang dimaksud disinitentunya adalah masyarakat hukum atau gemeinschaft menurut istilah Ferdinand Tinnies (1999). Pajak adalah kewajiban individu maupun organisasi dalam berpartisipasi membantu pelaksanaan tugas kenegaraan yang ditangani oleh pemerintah.
Istilah Pajak baru muncul pada abad ke 19 di Pulau Jawa, yaitu pada saat Pulau Jawa dijajah oleh Pemerintahan Kolonial Inggris tahun 1811 – 1816. Pada waktu itu diadakan pungutan landrente yang diciptakan oleh Thomas Stafford Raffles, Letnan Gubernur yang diangkat oleh Lord Minto Gubernur Jenderal Inggris di India. Pada tahun 1813 dikeluarkanlah Peraturan Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus dibayar oleh pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya. Pajak dilaksanakan tidak memperhatikan keadilan, keamanan, dan hak asasi manusia Indonesia, tetapi menjadi beban penderitaan dan pengorbanan luar biasa rakyat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membahas mengenai perkembangan perpajakan dari zaman kerajaan hingga zaman penjajahan di Indonesia.
Perkembangan Perpajakan di Indonesia
Perpajakan sesungguhnya sudah dikenal sejak Zaman Nabi. Pajak di zaman Nabi disebut zakat. Dalam surah At-Taubah ayat 103 s.d. 105 dijelaskan dengan “dengan tegas menyuruh pungut zakat kepada orang-orang mukmin yang berkemampuan lalu diberikan kepada fakir miskin. Fungsi zakat dalam hal ini untuk menghilangkan kemiskinan. Di dalam surah ini juga dijelaskan “orang-orang yang enggan membayar kewajibannya boleh diperangi”.
Pajak mulai mengalami perkembangan dan merubah namanya menjadi upeti. Istilah upeti dikenal ketika Indonesia mulai dijajah oleh Negara lain seperti Inggris dan Belanda. Selain upeti, pada awal Republik Roma (509-27 SM) terdapat istilah lain, yaitu questor, sensor dll. Pajak di zaman Raja bersifat memaksa. Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu, digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat, Pajak pada zaman kerajaan memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan Mataram, Kediri, Majapahit, dan Pajang sudah mengenal bentuk pajak tanah dan pajak tidak langsung terhadap barang dagangan. Pejabat kerajaan pemungut pajak tidak digaji oleh kerajaan, maka sering kali mereka menerapkan pajak secara berlebihan. Upeti perorangan ataupun kelompok orang diberikan kepada raja atau penguasa sebagai bentuk penghormatan dan tunduk patuh pada kekuasaan raja suatu wilayah di Indonesia merupakan bentuk pajak pada zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia tumbuh. Upeti tersebut berupa hasil bumi dan pemajakan barang perdagangan. Sebagai imbalannya maka rakyat mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Di kerajaan Mataram raja-raja sudah melaksanakan hidup swa-sembada dan otonom (Muh. Bkhrun Effendi : 2006). Penyerahan tersebut lebih besar pada kepentingan ekonomi daerah atau kerajaan, membiayai penyelenggaraan pemerintahaan setempat, dan membiayai pertahanan dan kekuatan kerajaan.
Kemudian VOC sebagai badan perdadangan menguasai wilayah Indonesia, tidak memungut pajak di daerah kekuasaannya, seperti Batavia, Maluku, dan lain-lain. Tetapi mengenakan Pajak usaha, Pajak Rumah, dan Pajak Kepala kepada pedagang Cina dan pedagang lainnya. Selain itu, VOC memiliki monopoli penjualan candu, garam, pemetikan sarang burung, dan lain-lain yang dijualnya pada pacht-pacht yang biasanya dipegang oleh kapiten (Onghokham, dalam Bakhrun Effendi). Menurut Levyson Norman, Gubernur Jenderal Daendels juga mengadakan pemungutan pajak, menarik pajak dari pintu gerbang dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah jadi (Siti Hatijah, dam Bakhrun Effendi).
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles (1811- 1815) menyeleggarakan administrasi dan reorganisasi yang mengeluarkan banyak uang. Raffles mengadakan pembaharuan sistem pajak yang dikenal dengan landrent stesel, di mana system pajak tersebut mengambil contoh dari Benggala, India.
Pada masa penjajahan kolonial pajak merupakan hal yang dieksploitasi untuk kepentingan penjajah. Pajak dilaksanakan tidak memperhatikan keadilan, keamanan, dan hak asasi manusia Indonesia, tetapi menjadi beban penderitaan dan pengorbanan luar biasa rakyat Indonesia. Pada masa penjajahan, penjajah lebih menekankan pada fungsi budgeted yaitu pemasukan keuangan untuk keperluan pemerintah penjajah. Pada 1945 Indonesia mengunakan sistem pajak yang menggunakan self assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungakan, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang. Beberapa jenis pajak yang sejak masa penjajahan telah diterapkan di Indonesia dan perkembangannya akan dijelaskan berikut ini.
A. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan serta Perkembangannya
Sejarah pajak bumi dan bangunan di Indonesia dimulai dari pengenaan pajak tanah (land rent) oleh pemerintahan colonial Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stanford Raffless pada abad XIX, tepatnya pada tahun 1813 di pulau Jawa. Raffles menentukan pajak ini pada individu bukan pada desa. Raffless membagi tanah atas kelompok-kelompok terhadap tanah kering dan tanah basah, pengenaan pajaknya adalah rata-rata produksi per tahun untuk sawah(Tanah basah) dan tegalan (tanah kering). Dalam Atep Adya Barata (2005), Raffless meniru sistem pajak tanah di India yang dikenal dengan tiga macam sistem pemungutan land rent, yaitu :
1. Sistem Zamindari atau Zamindarars yang berarti Landheer atau tuan tanah. Menurut system ini para tuan tanah dikenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap. Pengenaan tariff pajak dengan suatu jumlah yang tetap dikenal dengan istilah permanent settlement. System ini dijalankan di Benggala dan di sekitar Barat laut India.
2. Sistem Pateedari yang disebut juga Mauzawari.
Sistem ini sebernarnya meniru system pajak bumi pemerintah Portugis di Goa. Berdasarkan system ini, pajak bumi dikenakan kepada Desa yang dianggap sebagai suatu kesatuan. Selanjutnya pengenaan kepada penduduk kebijaksanaannya diserahkan kepada kepala Desa masing-masing. System ini diberlakukan di Punyab dan distrik-distrik barat laut India.
3. System Rayatwari.
Dalam system ini pajak tanah atau bumi dikenakan langsung kepada para petani yang mengolah tanah berdasarkan pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh tiap-tiap petani. System ini diberlakukan di Madras dan Bombai. Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi atau Landrente. Dalam usahanya untuk melaksanakan sistem sewa tanah ini Raffles berpagang pada tiga azas, yaitu:
1. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam
2. Pengawasan tertinggi langsung dilakukan oleh pemerintah tanah atas dengan menarik pendapatan atas tanah- tanah dengan pendapatan dan sewanya tanpa perantara Bupati- bupati, yang kerjanya selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan- pekerjaan umum.
3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak- kontrak untuk waktu yang terbatas.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
a. Kelas 1 yaitu kelas yang subur, dikenakan pajak dari setengah hasil bruto.
b. Kelas 2 yaitu kelas tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto.
c. Kelas 3 yaitu kelas tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.
Dalil yang didasarkan dasar adanya pemungutan pajak tanah menurut sejarah, adalah anggapan bahwa semua tanah adalah milik raja (souvereign), dan kepala Desa –kepala desa yang berada di bawah kekuasaan raja semuanya dianggap sebagai penyawa (pachters). Karena itu mereka harus membayar sewa tanah(land rent) dengan aturan secara tetap kepada penguasa.
Sejalan dengan kebijaksanaan kerja paksa (forced labour policy) tahun 1854, dimulailah kodifikasi aturan-aturan tentang sewa tanah (the codification of landrent regulation 1854). Dalam Azhari A. Samudra (2005) Tobias Soebekti mengemukakan, tanah dikelompokkan menurut aturan yang berlaku termasuk yang diatur dalam Statute Books(Lembaga Negara) Tahun 1866 No. 219a dan 219b. pengelompokkan tanah didasarkan pada survey statistic berdasarkan jumlah produksi nyata selama tiga tahun terakhir. Kemudian tahun 1896 adanya perluasan wilayah dan system menyebabkan dasar pengenaan land rent bukan pada desa maupun pada individu, tetapi pada plot (tanah dibagi menjadi kelompok tanah basah dan tanah kering). Survei tanah sampai dengan pengelompokan tanah dalam beberapa kelas di setiap desa oleh tentara Hindia Belanda dan kepala-kepala desa ini merupakan aturan pengodifikasian system pajak apada akhir abad XIX. Pada masa penjajahan jepang 1942-1945, system pajak tanah yang dilaksanakan Belanda sepenuhnya di ambil alih dan namanya diganti menjadi pajak tanah.
B. Sejarah Pajak Penghasilan dan Perkembangannya
Di Indonesia sebelum tahun 1920 diberlakukan sistem pajak yang berbeda untuk pribumi, untuk orang Asing Asia dan untuk orang Eropa (“indigenous” Indonesians, “foreign” Asians and Europeans). Pajak pendapatan bagi orang Eropa (tax patent duty), dan untuk orang Indonesia adalah pajak pendapatan yang disebut business tax.
Seluruh orang Indonesia atau yang dianggap secara hokum menjadi orang Indonesia yang ikut serta dalam perdagangan kecil-kecilan atau eceran baik untuk dirinya sendiri maupun untuk pihak lain merupakan subjek dari pajak ini. Yang dikecualikan menurut Undang-undang business tax adalah para petani dan buruh yang bekerja pada tanah pertanian, kepala desa dan pegawai pemerintahan. Tax patent duty yang berlaku di Indonesia adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dari usaha. Pajak dikenakan terhadap pendapatan yang diperoleh dari kegiatan pertanian, manufaktur, kerajinan tangan, atau kegiatan industry di Hindia Belanda. Memiliki tariff proporsional, yakni 2% dari pendapatan. Pendapatan minimum tidak disebutkan dan biaya pengeluaran dari rumah tangga atau pengeluaran pribadi tidak termasuk dalam perhitungan yang dikenakan pajak. Pajak pendapatan untuk pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan Ordonasi Pajak Pendapatan 1908 (Ordonantie op de Inkomstenbelasting 1908). Kemudian ordonasi ini diganti dengan Ordonasi Pajak Pendapatan 1920.
Masa antara tahun 1920 sampai dengan 1983 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1/ Ordonansi PPd 1920 (The Income Tax Ordinance of 1920). Sekarang diberlakukan pajak yang sama tanpa melihat asal usul keturunan (the unification principle) masa itu pula diperkenalkan Pajak Kekayaan.
2/ Corporation tax Ordinance of 1925 (ordonansi pajak perseroan PPS 1925 dan berlaku sampai dengan 1983). Subjeknya adalah badan hukum seperti, PT,CV atas saham, objeknya adalah laba bersih.
3/ Personal Income Tax Ordinance of 1932 (Ordonansi pajak Pendapatan 1932 = ordonantie op Inkomstenbelasting 1932). Pajak pendapatan pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de inkomstenbelasting 1908). Tahun 1920 ordonansi ini diganti dengan ordonansi pajak pendapatan 1920, lalu tahun 1932 menjadi ordonansi pajak pendapatan 1932 dan terakhir diganti menjadi ordonansi pajak pendapatan 1944.
Ordonansi pajak pendapatan 1944 semula bernama “pajak perang” (Oorlogsbelasting) atau pajak peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang.
Rancangan ordonansi tersebut disusun tahun 1943 diumumkan dalam staatsblad 1944 No 17 dan diberlakukan 1 Januari 1945 saat yang bersamaan maka “ordonantie op de inkomstenbelasting 1932” dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ordonansi pajak pendapatan 1944 yang semula dinamakan Oorlogsbelasting (pajak perang). Mulai 1 Januari 1946 namanya diubah menjadi “Overgangsbelasting” (pajak peralihan), lalu dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1957 (LN Nomor 41 tahun 1957) nama ordonansi tersebut dengan resmi menjadi “ordonansi pajak pendapatan 1944”. Oleh Pemerintah Hindia Belanda Ordonansi dibuat dengan sederhana dan darurat karena mengingat keadaan saat itu. Dan kelak akan diganti dengan suatu ordonansi pajak atas pendapatan yang lebih sempurna.
Subjek Pajak Pendapatan 1932 adalah orang pribadi, badan/persekutuan (Fa-Firma, CV, Kongsi). Objeknya adalah Pendapatan bersih. Dengan berbagai kekurangan maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ordonantie op Inkomstenbelasting 1932.
Menyadari kekurangan yang terdapat dalam ordonansi ini pemerintah Indonesia berusaha menyempurnakannya dengan menyesuaikan dengan keadaan, yang dilakukan mulai tahun 1960 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970, ordonansi pajak pendapatan 1944 aslinya tersusun dalam bahasa Belanda. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pertama kali dimuat dalam buku “Perundang-undangan Pajak Indonesia, terbitan Juni 1960 yang diterjemahkan oleh Prof Dr.Rochmat Soemitro, SH dan Drs B. Usman.
Wages Tax Ordonance of 1935 (ordonansi pajak upah 1935) dimana pemungutan pajaknya dilakukan oleh para majikan, saat itu diperkenalkan di Indonesia PAYE = Pay-As-You-Earn (bayar sesuai dengan upah yang diterima).
3. Sejarah Pajak Perseroan dan Perkembangannya
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti “Landrent” dan “Hoofdelijke Belasting”.
Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan. Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op de Vennootschapsblasting 1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970. Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan Pajak Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga,
2. Aturan Bea Meterai,
3. Ordonansi Bea Balik Nama,
4. Ordonansi Pajak Kekayaan,
5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor,
6. Ordonansi Pajak Upah,
7. Ordonansi Pajak Potong,
8. Ordonansi Pajak Pendapatan,
9. Undang-undang Pajak Radio,
Undang-undang Pajak Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
a. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b. UU-21-1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c. UU-19-1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
d. UU-74-1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
e. UU-08-1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
a. UU-06-1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
b. UU-07-1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
c. UU-08-1983 tentang PPN dan PPnBM.
d. UU-12-1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment).
e. UU-13-1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu :
a. UU-06-1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994.
b. UU-07-1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994.
c. UU-08-1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994.
d. UU-12-1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.
e. Pembangunan I.
f. Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
a. UU-17-1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak.
b. UU-18-1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
c. UU-19-1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
d. UU-20-1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
e. UU-21-1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Perkembangan Pemungutan Pajak di Indonesia
Pajak mulanya di bayar secara natura yaitu hasil pertanian, hasil hutan, dan hasil perkebunan, serta barang tambang mulia, seperti emas dan perak. Selain itu, pajak juga dapat dibayar dengan tenaga, yaitu dengan melakukan pekerjaan tanpa diberi imbalan. Kemudian sejalan dengan perkembangan waktu, pajak dibayar dengan uang. Di seluruh dunia telah mengakui bahwa pajak nerupakan sumber utama penerimaan Negara dan sebagai alat mencapai tujuannya, walaupun tidak seluruh Negara di dunia mengandalkan penerimaan Negara dari sector pajak. Ada beberapa Negara yang memiliki potensi sumber daya alam negaranya sebagai penerimaan yang utama.
Sejak zaman sebelum masehi pajak telah dipungut oleh penguasa/raja suatu daerah untuk kepentingan raja. Setiap Negara atau daerah telah mengakui betapa pentingnya penghimpunan dana rakyat baik itu untuk raja dengan tidak memperhatikan rakyat atau untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan hanya mengandalkan kerelaan rakyat semata untuk memberikan sebagian kekayaannya, dana yang terkumpul dirasakan tidak akan optimal, tidak mencapai target yang diharapkan. Maka bentuk iuran kepada penguasa tersebut merupakan suatu paksaan, yang tentunya ada yang pro ada yang kontra. Penentuan siapa yang harus membayar pajak, bagaimana dasar pengenaan pajaknya, dan berapa besar tariff pajak yang dikenakan, ditentukan oleh keinginan penguasa semata. Pada akhirnya beban pajak yang harus dipikul jadi lebih berat, penguasa dengan kesewenangannya menentukan jumlah pajak sesuai kebutuhan penguasa bahkan melebihi yang dibutuhkan.
Di Indonesia tidak luput juga kesewenangan-wenangan dari penjajah. Pemerintah kolonial Inggris yang menjajah Indonesia di bawah Thomas Stanmford Raffles menerapkan kesewenangan pemungutan pajak dengan land rent (1813). Pemerintah kolonial Belanda juga melanjutkan kesewenangan dalam pemungutan pajak sehingga makin menyebabkan kesengsaraan rakyat Indonesia. Pajak yang dipungut dari rakyat Indonesia benar-benar hanya digunakan untuk mengisi kas pemerintahan kolonial.
Kesewenangan di atas merupakan suatu tindakan yang hanya didasarkan dari aturan dan keinginan penguasa semata. Sebab zaman dahulu raja dan penjajah adalah sosok yang harus dipatuhi dan diikuti kehendaknya. Kalau tidak, maka kekerasan dan siksaan yang akan diterima bagi yang tidak mematuhinya. Segala bentuk penindasan hanya untuk kesenangan penguasa dihilangkan.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perpajakan sudah ada pada zaman Nabi yaitu dikenal dengan “zakat”. Kemudian pajak mengalami perkembangan disebut dengan “upeti” yaitu pemberian secara cuma-cuma namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles (1811- 1815) mengadakan pembaharuan sistem pajak yang dikenal dengan landrent stesel, di mana system pajak tersebut mengambil contoh dari Benggala, India. Beberapa jenis pajak yang sejak masa penjajahan telah diterapkan di Indonesia dan perkembangannya adalah Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan, dan Pajak Perseroan. Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Sumber : https://goo.gl/ZlUEFB

03 January, 2016

Penamaan File, Tanggal Dokumen dan Daluarsa

Pemahaman Hukum Sederhana Terhadap Penamaan File, Tanggal Dokumen dan Daluarsa
Tulisan ini mengajak calon sarjana hukum, sarjana hukum, atau magister hukum, yang sebenarnya sudah sangat terbiasa bercengkrama dan berurusan dengan surat-menyurat, dokumen hukum, atau membuat surat / dokumen, baik untuk kepentingan pribadi, bisnis, perusahaan, maupun untuk urusan tugas di muka persidangan di hadapan lembaga penegak hukum.
Seiring dengan perkembangan + dinamika teknologi informatika, tak dapat dihindari seorang mahasiswa hukum, sarjana hukum, magister/master hukum, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus memanfaatkan alat bantu dalam membuat sebuah surat atau dokumen hukum, baik itu personal computer ataupun lap-top. Kami disini tidak ingin mendikte atau mengajarkan bagaimana menggunakan PC atau Laptop [karena hal ini cukup dipelajari di lembaga kursus yang sudah banyak tersebar hingga ke pelosok propinsi di Indonesia.
Hal sederhana yang ingin kami sampaikan “Ayo belajar kasih nama file yang di scan atau belajar kasih nama pada sebuah file”.
File computer yang sering dan biasa digunakan dalam dunia hukum biasanya menggunakan Microsoft-words : yang akan memiliki akhiran file [atau disebut juga ekstension] *.docx | Microsoft-excel : akan ekstension *.xlsx serta ekstensi lain yang biasanya akan diberikan secara otomatis, tergantung dari software apa yang anda gunakan pada saat bekerja.
Misalnya anda membuat sebuah surat yang berisi, surat konfirmasi persetujuan membayar honorarium advokat, pada tanggal 1 Desember 2015. Maka apabila anda menamakan file tersebut dengan nama “Surat konfirmasi honor advokat 12 desember 2015.docx”
Nama file tersebut tentulah sangat panjang, dan memiliki resiko file tersebut akan berubah nama menjadi Surat%konfirmasi%honor%advokat%12%desember%2015.docx [ada tambahan % diantara spasi yang anda buat]. Hal ini bisa saja terjadi perubahan nama karena anda mengirimkan file tersebut via internet atau ketika anda meng-upload file misalkan ke google-drive. Dari pengamatan kami perubahan nama tersebut akan sangat menyulitkan penerima, dan si pengirim ketika ingin mencari dan menggunakan file dimaksud. Maka sekedar saran yang mungkin bisa anda latih adalah dengan membiasakan memberikan nama file, tanpa spasi, dan lengkapi tanggal pada bagian belakang.
Skonf-HonorAdvokat-12Desember2015.docx
Atau penamaan singkatan sesuai selera dan kreativitas anda
Pada contoh yang kami buat
tidak ada spasi tapi kami menggunakan tanda minus –
di bagian belakang bukan tanda garis bawah _
serta dilengkapi tanggal
Inti dalam memberikan nama file, cukup dibuat singkat, mudah dimengerti oleh orang lain bukan di mengerti oleh anda sendiri, gunakan tanda minus, dan lengkapi dengan tanggal. Manfaat membuat tanggal dalam penamaan sebuah file adalah :
1/ gar kita tahu kapan itu dokumen dibuat, dan
2/ Kita bisa menempatkan dan mengurut arsip berdasarkan tanggal dokumen dibuat.
3/ Untuk menentukan daluarsa dokumen [elektronik]. 
Sebuah dokumen elektronik memiliki usia [daluarsa] untuk boleh dimusnahkan selama 10 [sepuluh] tahun [uu-08-1997 tentang Dokumen Perusahaan lihat Juga PP-87-1999 Tentang Tata Cara Penyerahan Dan Pemusnahan Dokumen Perusahaan dan PP-88-1999 Tentang Tata Cara Penyerahan Dan Pemusnahan Dokumen Perusahaan Tata Cara Pengalihan Dokumen Perusahaan Ke Dalam Mikrofilm Atau Media Lainnya Dan Legalisasi
Sebuah surat yang diberikan nama sederhana, dan dilengkapi tanggal, akan memudahkan kita mengurut surat  sesuai tanggal surat diterbitkan. Selain itu akan memudahkan kita dalam menyusun sebuah berkas yang akan print. Jika kumpulan berkas sangat banyak [misalnya ada 1 lemari berkas harus di print], maka dengan sangat mudah kita mencari, meng-urut, dan menyusun dokumen elektronik tersebut pada computer, sebelum dilakukan pemberkasan/penjilitan.
Hal terpenting lain dalam menamakan, menyimpan dan menulis sebuah arsip, berkas, dokumen hukum, setidaknya anda harus mampu menulis dalam Bahasa Indonesia. Jangan dicampur aduk dengan bahasa asing, bahasa daerah apalagi bahasa gaul, karena percayalah dokumen berbahasa asing yang anda ajukan sebagai bukti dalam sebuah persidangan, pasti akan diperintah oleh Majelis Hakim untuk diterjemahkan dahulu oleh penerjemah tersumpah ke dalam Bahasa Indonesia.
Dalam praktek pembuktian di pengadilan, salah satu penyebab atau kegagalan dialami oleh praktisi hukum dalam mengajukan bukti tertulis [biasanya surat dan dokumen hukum] adalah susunan berkas yang berantakan, penomoran bukti tidak sistematis, bahkan terjadi pengajuan bukti yang sesungguhnya tidak perlu diajukan bahkan melemahkan pihak yang mengajukan bukti tersebut [misalnya pengajuan bukti dengan nomor surat sama, tanpa tanggal surat, namun isinya berbeda].
Terimakasih, semoga mudah dipahami.
Jakarta, 2 Januari 2016
Robaga Gautama Simanjuntak, SH., MH.

01 December, 2015

membaca

Dengan membaca akan mempertajam pemikiran, seperti pisau atau pedang, pikiran kita bisa diasah dengan cara membaca buku. Temukan buku menarik terutama yang bisa mengajari anda tentang berbagai hal penting dalam kehidupanmu. Dengan membaca memberi arah baru sehingga kita semakin mampu untuk mengerti banyak hal, ketika anda mencoba memahami kata demi kata, kalimat demi kalimat, lembar demi lembar dan seterusnya. Sehingga otak anda akan aktif memperoleh dan mengelola informasi, setidaknya mengurangi kedangkalan / kebodohan pemikiran anda.

Memperluas Kosa Kata
Anda akan menjadi orang yang membosankan, bahkan anda akan bosan dengan diri anda sendiri, bila terus-menerus menggunakan kosa kata yang sama. Dengan membaca, anda akan mengetahui betapa indahnya menggunakan sebuah ‘kata’, dengan cara yang berbeda-beda. Orang lainpun akan menilai dengan kata serta kalimat yang anda gunakan. Kembangkanlah penggunaan kata anda.

Meningkatkan Kreatifitas
Dengan membaca [buku] akan mampu membuat anda kreatif, dalam mengolah kata, mengolah sebuah bahan sederhana menjadi berguna, hingga mengelola permasalahan hingga menemukan solusi atau jalan keluar yang bisa diterapkan secara tuntas. Hanya dari sebuah kegiatan membaca [buku], anda bisa menjadi sosok yang dapat diandalkan karena anda mengetahui banyak hal. Setiap orang pasti merasa senang [bahagia] jika hidupnya berguna bagi orang lain.

Imajinasi
Pada bagian ini cukup menyenangkan, sebuah buku fiksi dan non fiksi mampu ‘memainkan’ imajinasi dan pikiran kita untuk menghayati isi buku tersebut. Bersantailah sedikit dan biarkan pikiran anda sedikit berfantasi dengan isi sebuah buku fiksi yang anda baca. Orang dengan imajinasi tinggi, cenderung lebih optimis dan mampu meraih kebahagiaan yang tentunya harus seimbang dengan kenyataan.

Pelajaran Baru
Itu beberapa alasan sederhana bagi anda untuk dipikirkan dalam meningkatkan motifasi membaca, boleh dari membaca buku, blog, situs, jurnal internet. Giat membaca tidak ada ruginya, seperti dalam investasi, dengan membaca buku anda sudah meng-investasi pengetahuan dan memperluas kesempatan untuk berhasil.

RGS | #SemogaBerkenan
Sumber : Internet – Agustus 2015