31 March, 2014

Peran Advokat Dalam Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Peran Advokat Dalam Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga

[Perlu atau Tidak?]

 

KDRT [kekerasan dalam rumah tangga] dapat diperluas dalam pengertiannya dalam istilah KDRT Domestik. Maksudnya bahwa, tindakan KDRT tidak selalu dalam ruang lingkup hubungan suami isteri dan anak dalam satu keluarga saja, tetapi juga perlindungan hukum diberikan kepada pihak / keluarga lain yang ada dalam lingkungan keluarga tersebut. Bisa saja terjadi, kekerasan tidak dalam hubungan suami isteri, melainkan hubungan darah [dalam bentuk lain] atau bahkan kekerasan yang dilakukan terhadap seorang pekerja rumah tangga yang juga patut dilindungi.

 

KDRT domestik dibuat pengaturannya agar dapat melindungi pihak-pihak lain, yang tidak hanya dalam tercipta dari hubungan suami isteri saja, melainkan kepada pihak lain yang tinggal dalam rumah tangga tersebut. Pihak lain tersebut dapat pula [saudara sedarah atau tidak sedarah] namun secara nyata tinggal dan menetap [bergabung] dalam suatu keluarga.

 

Dari berbagai pengamatan, meningkatnya jumlah korban KDRT biasanya dari kelompok korban yang berstatus isteri. KDRT menimbulkan dampak traumatik bagi si korban atau pada anggota keluarga yang lain, meningkatnya angka kriminalitas KDRT fakta semakin menguatkan perlunya intervensi negara melalui penegakan [perlindungan hukum] agar kelompok korban KDRT bisa memperoleh keadilan dan pelaku atau calon pelaku bisa di minimize dan tidak semakin merajalela.

 

KDRT adalah delik aduan, artinya tindak pidana tersebut baru dapat dilakukan proses penyidikan setelah adanya pengaduan dari si korban kepada pihak kepolisian. Namun perlu kita ketahui, bahwa secara umum mengenai adanya pengaturan tindak pidana penganiayaan [pasal 351 KUHPidana]  dan pemberatannya [pasal 356 KUHPidana] dimana pasal ini tidak mensyaratkan adanya pengaduan dari korban. Oleh karenanya kami [RGS & Mitra] berpendapat, walaupun antara korban dan tersangka pelaku kejahatan KDRT telah dilakukan pencabutan perkara [perdamaian], sehingga proses pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan hingga ke Pengadilan, namun demikian Penyidik Kepolisian diperkenankan untuk memberikan penilaian se-obyektif dan seadil mungkin demi terciptanya penegakkan hukum, karena pelaku terus dilanjutkan pemeriksaannya hingga ke Pengadilan berdasarkan pasal 351 KUHPerdata, sebagaimana contoh / ulasan pemahaman sebagai berikut :

Seorang kepala rumah tangga melakukan penganiayaan kepada karyawan atau karyawati yang tinggal menetap dalam satu rumah, dalam perkembangannya, telah diperoleh informasi [akurat] dari si karyawan itu sendiri [selaku korban] atau informasi dari karyawan lain yang juga menjadi korban, bahwa ada seorang yang tinggal bersama dalam satu rumah sering melakukan penganiayaan terhadap orang yang tinggal dan menetap bersama pada rumah tersebut [walaupun orang-orang yang menjadi korban, tidak melakukan atau melakukan pengaduan]. Tentu seorang penyidik [kepolisian] akan bertindak aktif guna mengamankan seorang tersangka yang secara jelas telah melakukan penganiayaan dalam sebuah rumah tangga, tanpa perlu adanya syarat pengaduan dari si korban.

Seorang [suami] melakukan penganiayaan terhadap anak kandung atau bahkan penganiayaan terhadap isteri, yang perkaranya pernah diajukan pengaduan ke penyidik kepolisian, namun selanjutnya perkara tersebut diakhiri atau didamaikan karena telah terjadi pencabutan pengaduan baik dari anak maupun isteri. Dalam perkembangan, ternyata penganiayaan tersebut kembali diulangi oleh tersangka, namun hal tersebut tidak diadukan oleh anak atau isteri yang menjadi korban, namun [misalkan] dari keterangan / informasi tetangga, penyidik kepolisian mengetahui bahwa penganiayaan dalam rumah tangga tersebut kembali terulang, maka berdasarkan fakta seperti ini sepatutnya penyidik kepolisian bertindak aktif menangkap dan mengamankan tersangka berdasarkan pasal 351 KUHPidana [tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari korban], semata-mata untuk keamanan, keselamatan dan kepentingan hukum si korban itu sendiri.

 

Dalam sebuah kasus yang pernah dikonsultasikan kepada kami [RGS&Mitra] pernah terjadi klien [kami] dipaksa untuk berdiam agar tidak mengadukan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh suami [keduanya] kepada anak kandung yang merupakan hasil pernikahan dengan suami pertama. Terhadap fakta “mediamkan” tersebut, kami menyarankan secara tegas, agar hal ini segera dilaporkan kepada pihak penyidik kepolisian. Kami berpendapat bahwa tindakan “mendiamkan” tersebut [walau dalam keadaan dipaksa dan diancam oleh suami keduanya], juga merupakan tindakan KDRT dari orang tua kepada anak, bahkan apabila hal tersebut didiamkan, maka dapat diprediksi akan tercipta keadaan :

Membiarkan terjadinya pelanggaran KDRT dari orang tua kepada anak, bahkan akan merusak serta menghancurkan masa depan anak, serta menampik perlindungan hukum dan keadilan yang pantas diberikan kepada anak ;

Membiarkan terjadinya KDRT yang dilakukan oleh suami [kedua] terhadap isteri, yang secara jelas keadaan ini sangat dilarang oleh UU-KDRT di Indonesia.

 

Umumnya korban KDRT tidak dapat posisi yang kuat untuk memberikan perlawanan, namun upaya hukum lain yang bisa diajukan yaitu dengan mengajukan gugatan secara perdata, misalkan seorang isteri dan anak mengajukan gugatan pemberian nafkah kepada suami, baik mereka [suami isteri] sudah dalam keadaan bercerai maupun tidak dalam kondisi bercerai.

 

Dalam pengamatan data [sekunder] yang kami peroleh, KDRT dapat terjadi dalam segala tingkat [stratifikasi] ekonomi di masyarakat, tidak perduli apakah ia seorang yang berpendidikan tinggi dan memiliki kekayaan yang berkecukupan, ataukah ia seorang yang tidak berpendidikan dan dalam kondisi miskin. Kekerasan dalam rumah tangga terdiri dari 3 [tiga] area pengaturan antara lain :

Pertama : area yang tercipta karena garis hubungan darah [misalnya anak dan orang tua]

Kedua : area yang tercipta karena hubungan perkawinan [misalnya antara suami dan isteri]

Ketiga : area yang tercipta karena hubungan pekerjaan, misalkan antara majikan dan karyawan yang tinggal menetap dalam satu rumah [jadi tidak ada hubungan darah sama sekali].

Dari ketiga area tersebut, dengan berkembangnya dinamika kehidupan saat ini [2014], maka paling yang mengalami korban adalah anak-anak karyawan yang tinggal menetap dalam satu rumah, selanjutnya isteri dan dalam informasi yang kami peroleh bahkan sudah ada suami yang menjadi korban KDRT.

 

Jenis kekerasan yang dilarang dalam KDRT

Kekerasan fisik, jenis kekerasan seperti ini mudah dibuktikan karena kekerasan fisik bisa dilakukan dengan tangan kosong atau-pun menggunakan benda tajam ataupun benda tumpul, sehingga terhadap tubuh si korban mudah diperoleh bukti adanya kekerasan fisik langsung, yang telah dilakukan oleh tersangka kepada korban [biasanya dapat dibuktikan melalui pemeriksaan dan dituangkan dalam dokumen bukti yang bernama visum et repertum].

Kekerasan Psikis, jenis kekerasan psikis agak sulit dibuktikan, terutama apabila korban adalah seorang anak atau-pun seorang isteri yang mengalami ketakutan yang amat sangat, sehingga ia lebih baik memilih berdiam ketimbang harus membicarakan atau melaporkan kepada pihak yang berwenang. Contoh kekerasan psikis dalam rumah tangga, tidak terdapat bukti adanya kerusakan fisik yang dialami si korban. Tindakan dalam bentuk kekerasan psikis, misalkan membuat seorang anak atau isteri menjadi sedemikian takut, sedemikian cemas bahkan bisa menciptakan traumatik tersendiri dalam pikiran dan jiwa yang dialami oleh si korban. Dalam pengamatan berdasarkan data [sekunder] yang kami peroleh, kekerasan psikis inilah yang sering dilakukan secara sadar maupun tidak sadar, oleh orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi [misalkan seorang sarjana, doktor bahkan profesor sekalipun], ataupun orang-orang yang karena keahlian atau pekerjaan [karena profesi atau kedudukannya di masyarakat], mereka melakukan kekerasan psikis terhadap keluarganya. Kekerasan psikis tidak mudah dibuktikan, oleh karena itu dalam hal pembuktian di pengadilan, dibutuhkan peran seorang psikologi hukum, sehingga bisa diperoleh fakta adanya gangguan psikis korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan ekonomi, di KUHPidana diatur mengenai tindakan yang dilarang terhadap orang yang wajib ditolong, dan dalam hubungan KDRT misalkan membiarkan seseorang yang memang sudah kewajibannya untuk diberikan nafkah / penghidupan sehari-hari, membiarkan [menelantarkan] korban, padahal si-pelaku berada dalam kehidupan [ekonomi yang wajar], atau sesungguhnya pelaku sangat mengetahui korban membutuhkan pertolongan [biaya penghidupan] dan dengan sengaja menelantarkan korban tersebut secara terus menerus.

Kekerasan seksual, dapat terjadi misalkan terhadap korban [anak kandung atau anak tiri]. Dalam beberapa kasus yang pernah dikonsultasikan kepada kami seputar kekerasan seksual dapat saja terjadi, terhadap hubungan-hubungan seks yang sangat dilarang berdasarkan ketentuan larangan pernikahan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[1]. Kekerasan seksual dimungkinkan saja terjadi terhadap suami isteri, misalkan pemaksaan terhadap pasangan untuk melakukan hubungan seksual secara tidak wajar, yang bahkan cenderung melakukan penyiksaan dan mengancam keselamatan pasangan suami isteri dalam melakukan hubungan seks dimaksud.

 

Penutup, karena masalah KDRT sebagian besar terjadi dalam ruang lingkup privasi keluarga, maka kami mencoba untuk memberikan saran / pendapat hukum yang netral, antara lain :

Bagi korban yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, agar segera meminta perlindungan yang dapat diperoleh dari tetangga, orang terdekat atau kepolisian setempat, yang dalam rangka penyelamatan pribadi, agar segera ‘menjauh’ tersangka demi penyelamatan diri sendiri.

Bagi korban yang mengalami kekerasan psikis dapat menghubungi advokat dan psikolog terdekat.

Bagi ‘tersangka’ pelaku KDRT, maka sebaiknya anda mampu mengidentifikasi bahwa diduga anda telah melakuan pelanggaran karena tindakan kekerasan [fisik atau psikis] dalam rumah tangga, oleh karenanya sebelum perkara tersebut dilimpahkan penyidik berwenang, anda harus sesegera mungkin memperbaiki kondisi tersebut, tidak mengulangi , dan/atau segera mengkonsultasikannya dengan advokat terdekat.

 

Robaga Gautama Simanjuntak, SH. MH

30 Maret 2014



[1] Pasal : 29. Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, Presiden dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi. Pasal 30. Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah. Pasal 31. Juga dilarang perkawinan: [1] antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain ; [2] antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.