22 November, 2013

Sepuluh Alasan menyangkut Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Sepuluh Alasan menyangkut Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
 
1.Pada awal reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat menegaskan bahwa, untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan, misi Negara mencakup "tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran" (TAP MPR IV/1999). MPR menyadari bahwa, tanpa mengakui kebenaran tentang pelanggaran-pelanggaran HAM yang telah terjadi, bangsa Indonesia bisa terus dicekam kekerasan dan kesewenangan yang terus berulang. Misi ini belum terpenuhi setelah 15 tahun proses reformasi.


2.Upaya mencari dan mengungkap kebenaran dijamin oleh Konstitusi. UUD Negara RI 1945 memberi jaminan bagi semua warga Negara atas hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial (Pasal 28F). Jaminan konstitusional ini berlaku dalam rangka membangun kapasitas negara-bangsa untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu sesuai standar HAM.


3.Mengetahui kebenaran tentang pelanggaran berat HAM merupakan hak yang diemban para korban dan masyarakat secara umum, menurut Dewan HAM PBB. Hak atas kebenaran mencakup hak untuk mengetahui tentang identitas para pelakunya, sebab-sebab dan fakta-fakta menyangkut pelanggaran-pelanggaran tersebut, serta situasi yang melatari terjadinya pelanggaran HAM tersebut. Dewan HAM PBB menegaskan bahwa pemenuhan hak atas kebenaran tidak harus menunggu putusan dari sebuah mekanisme judisial.


4.Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berdasarkan UU 27/2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006, dan tujuh tahun setelah itu, Pemerintah masih belum menerbitkan rancangan baru untuk menggantikannya. Sementara itu, Aceh sudah siap mengesahkan Qanun untuk pembentukan komisi kebenaran di Propinsi NAD, dan Papua masih belum melaksanakan amanat UU Otonomi Khusus untuk Papua untuk membentuk komisi sejenis di Papua. Tidak adanya UU pengganti di tingkat nasional menghambat tercapainya perdamaian yang langgeng yang berdiri di atas kebenaran dan keadilan.


5.Mekanisme pengadilan HAM belum mampu memutus tali impunitas untuk pelanggaran HAM karena hampir semua putusannya membebaskan para pelaku. Sementara itu, hasil investigasi Komnas HAM tidak ada yang ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung, dan rekomendasi DPR untuk membentuk Pengadilan Adhoc untuk kasus penculikan (1997-1999) pun belum ada tindak lanjutnya. Keadilan tidak mungkin dicapai tanpa berpijak pada kebenaran.


6.Inisiatif Presiden membentuk tim khusus yang dikoordinasi Menko Polhukham serta menunjuk Wantimpres untuk mengatasi masalah pelanggaran HAM hingga sekarang belum menghasilkan terobosan kebijakan yang nyata untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara tuntas dan sesuai standar HAM. Pernyataan maaf dan upaya rekonsiliasi tanpa pengakuan pelanggaran yang terjadi sebagai kebenaran tidak dapat menjamin tercapainya perdamaian yang langgeng.


7.Berbagai pola kekerasan masih terus berulang hingga kini. Misalnya, aparat keamanan melakukan ancaman dan pembunuhan dalam tahanan pada Kasus Cebongan; BKKBN kembali melibatkan institusi militer untuk mensukseskan Keluarga Berencana; korban pelanggaran HAM masih terus menjadi sasaran kekerasan, intimidasi dan diskriminasi, sebagaimana terjadi pada penyerangan FAKI terhadap kelompok sepuh penyintas kekerasan 1965 ketika mereka akan bertemu untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi di Jogjakarta (Oktober 2013). Keberulangan pola kekerasan dan ancaman kekerasan tidak bisa dihentikan tanpa pengakuan dan penanganan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang pernah terjadi.


8.Jutaan korban, keluarga korban dan penyintas di berbagai pelosok di Indonesia berjuang membangun kembali kehidupan mereka di tengah deraan diskriminasi, pengucilan dan intimidasi. Mereka dimiskinkan oleh kekerasan yang mereka alami, dan terus rentan terhadap kesewenangan baru akibat tidak adanya pengakuan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah menjadikan mereka korban.


9.Masyarakat mulai lupa tentang kekerasan dan kesewangan masa Orde Baru. Poster "Piye kabare, enak jamanku to?" tersebar di berbagai wilayah dan desakan memberi status kepahlawanan pada tokoh-tokoh Orde Baru yang dicurigai terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan semakin menguat. Pencarian, pengungkapan dan pengakuan kebenaran adalah prasyarat melawan lupa. Sementara, generasi muda tidak mengetahui sejarah kelam kekerasan yang terjadi di Indonesia karena kurikulum sejarah dalam pendidikan formal tidak menghadirkan keberagaman pengalaman pada peristiwa-peristiwa kekerasan di masa lalu. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mengakui dan belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu.


10.Masyarakat sipil mengambil kepemimpinan untuk menjadikan kebenaran sebagai landasan krusial bagi penanganan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu dan bagi pemutusan siklus kekerasan dan impunitas yang terus mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Selama satu tahun, sejak Desember 2012 hingga Desember 2013, Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) – kumpulan 47 lembaga swadaya masyarakat, organisasi korban dan individu – menjalankan sebuah inisiatif warga untuk bicara kebenaran, belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu, dan memetakan jalan ke depan bagi bangsa dan Negara.
rgs-m