27 August, 2009

Perlu Tidaknya Mengadakan Perjanjian Pemisahan Harta


From: vl To: Notaris Indonesia<Notaris_Indonesia@yahoogroups.com>
Dear rekan dan para seniors,
Kalau boleh tanya mengenai perjanjian perkawinan atau pisah harta. Kalau dari beberapa pertanyaan sebelumnya mengenai hal ini ada seputar proses atau landasan hukumnya. Yang ingin saya tanyakan, apa sebenarnya keuntungan dan kerugiannya. Apakah sebaiknya dalam setiap perkawinan dibuat perjanjian perkawinan, mengingat dari budaya timur kita kayaknya belum terbiasa dengan hal seperti itu. Mohon pencerahannya. GBU & Regards - VL

Simple Opini From RGS
Mbak VL, saya coba bantu agar pemahaman lebih gampang berdasarkan pertanyaan awal sebagai berikut :
  • Yang ingin saya tanyakan, apa sebenarnya keuntungan dan kerugiannya. Apakah sebaiknya dalam setiap perkawinan dibuat perjanjian perkawinan, mengingat dari budaya timur kita kayaknya belum terbiasa dengan hal seperti itu..
RGS : Agar memudahkan, opini kami berikan berdasarkan beberapa contoh [fiksi] semata-mata untuk memudahkan pemahaman. Sebagaimana contoh berikut. Jika berdasarkan fakta salah satu atau kedua pasangan menjalankan usaha / berbisnis, mis. si suami pedagang dan begitu pula si-iteri adalah pengusaha mis. direktur utama suatu PT. Maka apabila si-suami berhutang kemudian jatuh pailit, maka kekayaan isteri tidak bisa digugat untuk ikut melunasi hutang-hutang suami.nya, karena sudah ada perjanjian pemisahan harta bersama [suami-isteri]. Pada contoh lain, mis. si-suami memiliki fasilitas kredit bank [dalam kedudukaan sebagai debitur], kemudian selaku debitur si-suami ga mampu bayar hutang terhadap bank, maka bank tidak bisa menggugat atau menuntut harta isteri untuk dijadikan pelunasan atau isteri turut serta melunasi hutang suaminya, walau si-isteri ini kaya-raya.
Pertimbangan budaya timur
Memang dalam kenyataan / fakta budaya orang-timur tidak terbiasa untuk memisahkan harta kekayaan suami-isteri. Bahkan bisa tercipta kesan demikian :
  1. jika si-isteri lebih miskisn & sebelum nikah disodorin akta perjanjian pemisahan harta, tentu si-wanita [calon-isteri] bisa tersinggung jungkir balik, "lah gadis miskin koq mau nikah sama pria kaya malah disodorin perjanjian jenis ini ? memang disangkanya calon isteri bakal morotin harta suami atau mertua-pria, jadi dengan adanya perjanjian ini [seolah-olah] tetap menempatkan si-gadis miskin tetap sadar, kalau dia menikah nanti tidak 1 sen-pun harta akan dia dapatkan, dan kedudukannya tetap selaku wanita-miskin yang menikah dengan pria-kaya, jadi si-isteri hanya sebagai mesin produksi anak.
  2. Jika si-suami lebih miskin dari isteri dan sebelum nikah disodorin akte perjanjian pemisahan harta, tentu si-pria [calon suami], "mungkin" ada yang menyesal karena tadinya memang berniat mau morotin harta calon isteri dan mertua, tapi kepergok duluan sebelum pernikahan dilangsungkan [karena keluarga-besar atau si-calon isteri mencurigai dan/atau memiliki adanya indikasi si-pria ini ingin menjarah harta mertua atau harta pribadi si calon isteri]. Walau bisa tercipta kondisi, si-pria tidak perduli masalah harta dia tentu akan berani menandatangani akte-perjanjian pemisahan harta ini.
  3. Sebagai pembanding dengan memperhatikan budaya timur, sebelum melangsungkan perikahan, tetap diseleksi ketat oleh keluarga besar baik calon suami atau calon isteri, untuk memperhatikan bibit-bebet-bobot dari masing-masing pasangan, bahkan dalam tradisi adat Batak harus diperhatikan 3 aspek antara lain hamoraon, hagabeon hasangapon => kedudukan, kehormatan dan kekayaan si-calon pasangan, nah kaya begini lebih ekstrim-khan. Terkadang, karena adanya perbedaan tiga-h ini, pernikahan bisa gagal dilangsungkan, padahal si-pria dan si-wanita sudah komitmen mau nikah tapi terbentur oleh hukum adat.
Namun contoh / fakta yang saya uraikan pada butir ke-1 dan ke-2 diatas, bukan filosofi atau latar-belakang yang perlu dipertimbangkan untuk diselenggarakannya perjanjian pemisahan harta. Dalam praktek, biasanya perjanjian pemisahan harta lahir dari keluarga kalangan pe-bisnis, terlebih lagi keluarga pebisnis yang memiiki resiko tinggi. Filosofi tertinggi dari lembaga perjanjian pemisahan harta adalah untuk menyelamatkan harta pribadi masing-masing pasangan [suami atau isteri], dari kecerobohan atau kelalaian salah-satu pihak [suami/isteri] yang mungkin terjadi di kemudian hari setelah pernikahan dilangsungkan, apabila salah-satu pasangan pada akhirnya mengalami kerugian [dalam hal bisnis].
Jadi, masalah kerugian atau keuntungan diadakan atau tidak diadakannya perjanjian pemisahan harta, itu tergantung dari kebutuhan para pihak yang akan melangsungkan pernikahan.
Salah satu sisi keuntungan perjanjian pemisahan harta, yaitu adanya kepastian hukum atau bahasa gampangnya, kalau ada laba ya untung sendiri, kalo rugi atau pailit ya tanggung-sendiri. Ini sesuai dengan azas individualisme yang dianut oleh Hukum Perdata.
Demikian pula setelah perkawinan dilangsungkan dan terpaksa harus diakhiri [mis. perceraian bukan karena kematian], maka para pihak [suami atau isteri] ga perlu repot2 menggugat pembagian harta bersama yang merupakan hak mereka masing-2 dan sah menurut hukum.

rgs-xxvi-mmix
Advokat - Moderator Milis