05 July, 2009

Penerapan Pasal Penghinaan dalam UU-ITE

Dulu sewaktu UU-ITE baru mulai berlaku, saya sudah mengetahui adanya issue upaya hukum untuk mengantar bayi UU-ITE ini ke meja Mahkamah Konstitusi [MK]. Beberapa rancangan dan dukungan telah saya terima pula sesama rekan advokat, yang saya sendiri hadir ketika ada diskusi mengenai pengajuan permohonan MK terhadap pasal 27 UU-ITE ini [hotel-cemara]. Dan secara pribadi-pun saya sudah memberikan suatu opini sederhana melalui milis ini Perhimpunan Advokat Indonesia, sebelum pasal ini diajukan ke MK. Saya juga mencermati keluhan dan beban yang dialami oleh Mr. PL, yang pada diskusi ini menceritakan bagaimana ketidak-nyamanan dia saat menjadi tersangka, walau saya tidak tahu bagaimana kelanjutan proses pidana Mr. PL apakah sudah di-stop [dipeti-es-kan oleh Penyidik] ataukah sudah dilimpahkan ke Pengadilan.
Secara pribadi, saya sendiri mencemaskan jika ketentuan pasal 27 UU-ITE ini akan digunakan seperti [pedang] seorang-samurai yang digunakan membabi buta oleh aparat penyidik [kepolisian] guna menghajar kebebasan pers dalam meng-ekspresikan, tulisan, opini, fakta atau hal-hal lain yang sesungguhnya positif bagi informasi masyarakat. Bahkan tidak tertutup kepada perorangan yang telah menyampaikan ide, gagasan, kritikan, atau apapun kepada masyarakat lain, dari alamat email yg dimiliki, atau melalui blog + website yang dikelola secara pribadi. Misalkan pada milis PERADI terdapat cukup keras kritikan dan tulisan [yang sesungguhnya tidak enak dibaca] yang jika kita cermati bisa kita dalilkan / tuduhkan berdasarkan pasal penghinaan atau paling gampangnya perbuatan-tidak-menyenangkan.
Kembali kepada penerapan pasal 27 UU-ITE ini, bukankah seharusnya pasal ini baru berlaku jika si korban dapat membuktikan adanya Kerugian?. Syarat kerugian ini sesungguhnya secara tegas telah diutamakan atau harus dibuktikan terlebih dahulu oleh si-korban, karena menurut kami syarat ini telah dimunculkan sejak awal pasal UU-ITE sebagaimana diatur pada pasal 2 UU-ITE yaitu Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Kemudian pasal yang dipermasalahkan yaitu pasal 27 [3] yang mengatur bahwa setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ; yang memiliki ancaman pidana pada [Penjelasan Pasal 27 Cukup jelas] ; dengan ancaman pidana
Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kami sendiri menafsirkan keberlakuan pasal 27 [3] pun harus terpenuhi atau dibuktikan terlebih dahulu adanya Kerugian sebagaimana dimaksud pasal 2 UU-ITE. Jika tidak disertai syarat kerugian, maka saya akan mempertanyakan mau dikemanakan denda uang sebesar Rp.1 M itu? atau kepada siapa duit Rp.1 M itu akan dibayar atau diberikan? lihat dalam pasal ini digunakan ketentuan dan/atau bukan "atau saja" atau "dan saja", jadi selain ada sanksi penjara ada pula sanksi denda.
Jika kita berfikir logis, tentunya denda sebesar Rp.1 M itu harus diberikan atau dibayar kepada orang atau pihak yang menjadi korban penghinaan dan pencemaran nama baik, yang karena ada delik ini korban itu mengalami rugi dan boleh diganti dengan uang. Inilah yang menjadi logika yuridis saya, mengenai harus terpenuhi / dibuktikan terlebih dahulu adanya syarat kerugian, baru bisa diberlakukan pasal 27 [3] ini kepada pers atau orang-perorangan. Jika syarat kerugian ini tidak ada atau tidak terpenuhi, maka otomatis pasal 27 [3] ini tidak bisa diterapkan pincang, atau harus dipaksakan, "pokoknya ini orang mesti di penjara, perkara ada atau tidak kerugiian, orang ini harus dipidana [tentu tidak demikian pemahamannya].
Sesungguhnya dengan berlakunya UU-ITE sangat dibutuhkan kejelian yang luar biasa bagi advokat [juga aparat penegak hukum lain] mengingat uu ini masih sangat baru di Indonesia, juga dibutuhkan kejelian menafsiran keberlakuan pasal 27 [3] UU-ITE. Karena tindak pidana ini dibarengi dengan unsur perdata [ada denda dalam nilai rupiah], artinya tuntutan ganti rugi itu juga harus dibuktikan terlebih dulu atau secara bersama-sama, yang bisa diwujudkan melalui gugatan ganti rugi dalam proses acara pidana [BAB XIII KUHAP - Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian].
Saya sendiri mencermati UU-ITE masih berupa "Hukum-Pelengkap" dari kekosongan hukum di Indonesia. Misalkan UU-ITE ini melengkapi hukum acara dalam hal pembuktian, ketika kami mengajukan bukti-bukti elektronik [mis. alamat website, alamat download] hal ini bisa diterima oleh Majelis Hakim, karena sebelumnya di tahun 2000 bukti2 yang berasal dari internet yang kami ajukan ditolak oleh Majelis Hakim, karena tidak ada dasar pengakuan terhadap bukti yang berasal dari internet.
Kami tetap menghargai upaya dari masyarakat ataupun rekan advokat yang mengajukan permohonan pengujian pasal 27 [3] UU-ITE ini ke Mahkamah Konstitusi. Yang saya yakini, upaya ini masih bisa diajukan kembali [tidak berarti kandas-das-das-sudah] karena dinamika dan perkembangan masyarakat terus berlangsung, demikian pula tidak tertutup kemungkinan pasal-pasal kaku ataupun yang menimbulkan penafsiran ganda dan membahayakan [mengganggu ketertiban hukum masyarakat] pasti akan di-remove [tidak diberlakukan/dibatalkan keberlakuannya]. Mohon kritisi dan saran positif.
Salam hormat,
Simple opini by
Robaga Gautama Simanjuntak