03 May, 2013

Masukan Untuk RUU KUHAP


Masukan buat RUU-KUHAP yang sering dibahas diantar para advokat....
1.           setiap tersanga atau terdakwa, tak perduli ia melakukan tindak pidana umum atau setengah umum, MAUPUN tindak pidana khusus atau setengah khusus, apapun alasannya WAJIB didampingi penasehat hukum! karena ada undang-undang advokat dan uu-ham serta instrumen peraturan-perundangan lain yang mewajibkan seseorang didampingi penasehat hukum.
2.           Jika si tersangka/terdakwa menolak didampingi advokat, maka penyidik harus memaksa tersangka/terdakwa untuk tetap didampingi PH walaupun upaya pendampingan PH sangat pasif. Konsekuensi jika jika point ini tidak dilaksanakan, maka B.A.P. = BATAL DEMI HUKUM ; apalagi
3.           Jika sejak awal penyidik dengan sadar sengaja menghalang-halangi si tersangka / terdakwa untuk tidak didampingi penasehat hukum! maka DUGAAN kejahatan [akan dianggap] TIDAK PERNAH ADA!
4.           kalau dari settingan awal, ketentuan diatas terpenuhi, maka mau bentuknya HPP [Hakim Pemeriksaan Pendahuluan] ATAU PHH [Pasukan anti Huru-Hara], sudah jelas ada tugas advokat yang berjuang demi kepentingan kliennya. Apakah di tengah pemeriksaan HPP ada hakim nakal yang bertugas HPP maka advokat mengerti untuk memperjuangkan kepentingan kliennya.
Percumah ada instrumen atau aturan tambahan dalam RUU-KUHAP kalau ternyata lembaga ‘tambahan’ jarang dipakai oleh tersangka/terdakwa, karena kebanyakan terdakwa/tersangka tidak mengerti upaya hukum, apalagi yang ada didalam tahanan, pasti ga bisa berfikir sehat [karena otak dan kepala ga nyatu, alias mereka pasti setress mikirin dirinya sendiri] apalagi untuk memanfaatkan lembaga/instrumen hukum yang tersedia & bisa dimanfaatkan untuk kepentingan atau hak-hak.nya menurut hukum.

Siaran Pers
Sumber : milis perhimpunan advokat Indonesia | Pada 5/2/2013 4:40 PM
Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), istilah yang diperkenalkan Rancangan KUHAP tahun 2012 untuk menggantikan praperadilan diyakini belum mampu menjawab mendasar yang selama ini terjadi. Salah satu penyebabnya karena konsep HPP yang diusung dalam Rancangan pada dasrnya tidak berbeda dengan lembaga praperadilan yang hingga kini masih berjalan. Demikian antara lain kesimpulan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
ICJR menekankan bahwa masih ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan agar problem yang telah terjadi selama ini di bawah konsep praperadilan tidak lagi terulang di masa mendatang. Salah masalah penting adalah pemberian wewenang penuh kepada penyidik untuk penetapan tersangka. Pemberian wewenang mutlak dalam hal penetapan tersangka tanpa ada peninjauan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan justru akan mengulangi masalah yang terjadi saat ini dalam lembaga Praperadilan.
Menurut ICJR konsep HPP tersebut masih sama seperti praperadilan yang memberikan kewenangan absolut kepada penyidik untuk menentukan keterpenuhan bukti permulaan yang cukup untuk menentapkan seseorang menjadi tersangka, dan bukti yang cukup untuk melakukan penahanan. Absolutnya kewenangan ini pada akhirnya menyebabkan kewenangan penyidik tidak dapat dikontrol, termasuk dalam menentukan pengenaan penahanan terhadap seseorang.
ICJR memandang bahwa setiap upaya tahapan proses dalam sistem peradilan pidana harus melalui peninjauan oleh pengadilan (judicial scrutiny) termasuk terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik. Dengan kata lain, walaupun dimungkinkan menetapkan orang sebagai tersangka, tapi post factumnya harus tunduk pada pengujian judicial dan bukan mendasarkan pada diskresi.
ICJR menyesalkan bahwa praperadilan sebagai mekanisme komplain hingga saat ini tidak berjalan efektif. Padahal, semangat melalui praperadilan ketika pembentukan KUHAP sangat erat kaitannya dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sesuatu yang tidak terwujud ketika HIR berlaku. ICJR melihat ada problem krusial dalam design sistem peradilan pidana di Indonesia terutama pada tahap pra-ajudikasi, yang pada akhirnya berdampak pada tidak efektifnya praperadilan sebagai mekanisme komplain.
Terkait dengan hal tersebut, ICJR bersama Koalisi KUHAP merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1.           Diserahkannya Rancangan KUHAP oleh Pemerintah ke DPR merupakan langkah konkrit yang menggambarkan adanya keinginan kuat untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang sudah tidak lagi dapat menjawab perkembangan yang ada. Oleh karena itu, semua pihak harus mengapresiasi dan mendorong para pemangku kewenangan, terutama DPR, agar sungguh-sungguh dalam membahasnya.
2.           Meskipun telah ada kemajuan-kemajuan dalam Rancangan KUHAP, termasuk materi tentang lembaga pengawas –mekanisme komplain, namun masih terdapat beberapa problem krusial yang harus diperhatikan agar problem-problem yang selama ini terjadi di bawah konsep praperadilan, tidak lagi terulang di masa mendatang. ICJR menekankan agar dalam pembahasan Rancangan ini nantinya, paradigma para pembahas (DPR) harus berlandas pada pengentasan problem (problem solving) yang ada. Para pembahas harus memiliki peta persoalan yang selama ini terjadi untuk dijadikan dasar dalam menentukan kebijakan, terutama terkait dengan lembaga pengawas-mekanisme komplain.
3.           Penyediaan mekanisme komplain di dalam KUHAP sesungguhnya memiliki ikatan kuat dengan penjaminan hak asasi manusia. Pemberian kewenangan yang besar (diskresi) kepada penyidik selama ini terbukti telah menimbulkan inkonsistensi antara kedua hal tersebut. Maka, ICJR mendesak agar revisi terhadap materi mekanisme komplain ini harus dikembalikan lagi kepada tujuan utamanya yakni perlindungan hak asasi manusia dengan melepaskan diskresi penyidik dalam setiap tahapan peradilan pidana dan memberikan wewenang kepada pengadilan untuk melakukan peninjauan terhadap setiap tahapan dalam proses peradilan pidana
Kontak Person: Sufriadi: 08522836****
Totok Yulianto : 085770001782