05 December, 2008

Hukum Acara Pidana-2

Bertitik tolak bahwa hukum acara pidana merupakan bagian dari hukum publik (Public Law) & hukum yang mempertahankan esensi dari hukum pidana, maka sifat hukum acara pidana harus memberikan kepastian prosedur dan rasa keadilan baik dari anasir orang yang dituntut maupun dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Dalam konteks demikian, dengan tegas Wirjono Prodjodikoro menyebutkan, ada 2 (dua) sifat dari hukum acara pidana di Indonesia yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan orang yang dituntut serta sistem inquisitoir dan sistem accusatoir .
  1. Kepentingan masyarakat dan kepentingan orang yang dituntut. Yang perlu diperhatikan dalam sifat Hukum Acara Pidana ini adalah harus dipandang dari 2 (dua) opsi kepentingan yang fundamental sifatnya, yaitu : Pertama, dari optik kepentingan masyarakat itu sendiri dalam arti bahwa kepentingan masyarakat harus dilindungi yang mana hal ini merupakan sifat hukum acara pidana sebagai bagian dari hukum publik (Public Law), karena bertugas melindungi kepentingan masyarakat, konsekuensi logisnya harus diambil rindakan tegas bagi seorang yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana sesuai dengan kadar kesalahannya (equality of law) dimana tindakan tegas dimaksudkan sebagai sarana guna keamanan, ketenteraman dan kedamaian hidup bermasyarakat. Kedua, dari aspek kepentingan orang yang dituntut dalam arti hak dari orang yang dituntut dipenuhi secara wajar sesuai ketentuan hukum positif dalam konteks negara hukum (Rechtsstaat) oleh karena itu orang tersebut harus mendapatkan perlakuan secara adil sedemikian rupa, sehingga jangan sampai ditemukan seorang yang tidak melakukan tindak pidana dijatuhi hukuman, sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana tidak dijatuhi hukuman atau apabila orang tersebut memang telah melakukan tindak pidana, jangan sampai mendapat hukuman yang terialu berat dan tidak seimbang atau sepadan dengan kadar kesalahannya. Perlakuan secara adil dari orang yang dituntut ini misalnya saja dapat berupa diterapkannya secara ketat asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahan 2004 Ketentuan-kekentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP, atau dapat pula berupa penjatuhan hukuman berdasarkan asas minimum pembuktian serta keyakinan hakim sebagaimana diatur ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 183 K.UHAP, dan sebagainya.
  2. Sistem "Inquisitoir" dan Sistem "Accusatoir". Pada dasarnya pandangan/doktrin ilmu pengetahuan hukum pidana mengenal adanya dua macam sistem dan proses pemeriksaan dari orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Pengertian Accusatoir dalam bahasa Indonesia merupakan padanan kata dari menuduh terhadap seorang tersangka, yaitu seorang yang telah didakwa melakukan tindak pidana di mana dalam proses dan prosedur serta sistem pemeriksaan terdakwa dianggap sebagai obyek semata-mata ketika berhadapan dengan kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa, sehingga kedua belah pihak masing-masing, mempunyai suatu hak yang sama nilainya, dan hakim berada di atas kedua belah pihak guna menyelesaikan perkara pidana tersebut sesuai Hukum Pidana yang berlaku (Hukum Positif). Sistem Inquisitoir yang dalam bahasa Indonesia merupakan padanan kata dari istilah pemeriksaan, yaitu sistem pemeriksaan yang menganggap tersangka sebagai suatu objek yang harus diperiksa karena adanya suatu dakwaan. Pemeriksaan ini dapat berupa pendengaran si tersangka tentang dirinya sendiri dan dapat melalui keterangan dari beberapa orang saksi. Oleh karena sudah ada, suatu pendakwa yang sedikit banyak diyakini kebenarannya oleh yang mendakwa melalui sumber-sumber pengetahuan di luar tersangka, maka pendengaran tersangka sudah semestinya merupakan pendorongan kepada tersangka, supaya mengaku saja kesalahannya. Minat mendorongkan ke arah pengakuan salah ini biasanya berhubung dengan tahap pendakwa sebagai manusia belaka ialah begitu hebat, sehingga dalam pratek pendorongan ini berupa penganiayaan terhadap tersangka (pijnbank, torure).
Terhadap sistem Inquisitoir, ini Wirjono Prodjodikoro, lebih jauh menjabarkan : sekiranya sudah terang, bahwa dalam negara Indonesia, berhubung dengan adanya suatu sila dari Pancasila yang merupakan 'Peri Kemanusiaan', harus dalam hakikatnya dianut sistem accusatoir. Dalam melakukan kewajibannya pejabat pengusut dan penuntut perkara pidana harus selalu ingat kepada hakikat ini dan menganggap tersangka selalu sebagai seorang objek yang mempunyai hak penuh untuk membela diri.
Mungkin sekali dari aturan hukum acara pidana yang sekarang berlaku di Indonesia, ada yang memberi kesempatan kepada pejabat pengusut dan penuntut perkara untuk memperlakukan seseorang tersangka seolah-olah suatu objek belaka, akan tetapi kesempatan ini sebaiknya tidak dipergunakan, sebaiknya peraturan seperti ini selekas mungkin dihapuskan dan diganti dengan peraturan lain. Ternyata sulit sekali menerapkan salah satu asas tersebut secara tegas dan beidiri sendiri (mandiri). Lazim ditemukan, campuran kedua asas inilah yang banyak diterapkan. Hal ini dibenarkan oleh Oemar Seno Adji, sebagai berikut: Kadang-kadang diambillah suatu kesimpulan, bahwa tidak mungkin kita mengatakan bahwa hukum acara pidana dalam suatu negara itu menganut sistem yang murni accusatoir dan murni Inquisitoir melainkan ia mengandung suatu campuran dari kedua-duanya, accusatoir dan iquisatoir, khususnya apabila dikemukakan adanya karakteristik tertentu untuk rnembeda-bedakan kedua sistem tersebut. Misalnya dipergunakan sebagai suatu kriterium adanya suatu pemeriksaan yang terbuka ataupun tertutup terhadap orang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana, dengan sendirinya ia menimbulkan suatu stelsel campuran, karena umumnya dalam pemeriksaan pendahuluan kita menerima suatu pemeriksaan yang tidak terbuka, sedangkan pemeriksaan di persidangan pengadilan acara terbuka untuk umum . Karena itu identifikasi suatu sistem accusatoir ataupun inquisitoir dengan sifat demokratis ataupun sifat demokratis dari hukum acara pidana yang berlaku tidak dapat dibenarkan.