01 October, 2016

Pajak Pada Zaman Kerajaan dan Penjajahan di Indonesia

Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian suka rela atau upeti oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu, upeti lama kelamaan berubah dari kepentingan negara menjadi kepentingan rakyat, yang digunakan untuk kepentingan umum seperti: pemeliharaan transportasi, pembuatan pertanian, pembangunan sarana sosial dan lain lain. Pajak merupakan salah satu dari gejalah sosial yang ada dalam Sebuah Negara, dalam hal ini pajak tidak mungkin ada tanpa adanya masyarakat dalam sebuah negara. Masyarakat yang dimaksud disinitentunya adalah masyarakat hukum atau gemeinschaft menurut istilah Ferdinand Tinnies (1999). Pajak adalah kewajiban individu maupun organisasi dalam berpartisipasi membantu pelaksanaan tugas kenegaraan yang ditangani oleh pemerintah.
Istilah Pajak baru muncul pada abad ke 19 di Pulau Jawa, yaitu pada saat Pulau Jawa dijajah oleh Pemerintahan Kolonial Inggris tahun 1811 – 1816. Pada waktu itu diadakan pungutan landrente yang diciptakan oleh Thomas Stafford Raffles, Letnan Gubernur yang diangkat oleh Lord Minto Gubernur Jenderal Inggris di India. Pada tahun 1813 dikeluarkanlah Peraturan Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus dibayar oleh pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya. Pajak dilaksanakan tidak memperhatikan keadilan, keamanan, dan hak asasi manusia Indonesia, tetapi menjadi beban penderitaan dan pengorbanan luar biasa rakyat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membahas mengenai perkembangan perpajakan dari zaman kerajaan hingga zaman penjajahan di Indonesia.
Perkembangan Perpajakan di Indonesia
Perpajakan sesungguhnya sudah dikenal sejak Zaman Nabi. Pajak di zaman Nabi disebut zakat. Dalam surah At-Taubah ayat 103 s.d. 105 dijelaskan dengan “dengan tegas menyuruh pungut zakat kepada orang-orang mukmin yang berkemampuan lalu diberikan kepada fakir miskin. Fungsi zakat dalam hal ini untuk menghilangkan kemiskinan. Di dalam surah ini juga dijelaskan “orang-orang yang enggan membayar kewajibannya boleh diperangi”.
Pajak mulai mengalami perkembangan dan merubah namanya menjadi upeti. Istilah upeti dikenal ketika Indonesia mulai dijajah oleh Negara lain seperti Inggris dan Belanda. Selain upeti, pada awal Republik Roma (509-27 SM) terdapat istilah lain, yaitu questor, sensor dll. Pajak di zaman Raja bersifat memaksa. Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu, digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat, Pajak pada zaman kerajaan memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan Mataram, Kediri, Majapahit, dan Pajang sudah mengenal bentuk pajak tanah dan pajak tidak langsung terhadap barang dagangan. Pejabat kerajaan pemungut pajak tidak digaji oleh kerajaan, maka sering kali mereka menerapkan pajak secara berlebihan. Upeti perorangan ataupun kelompok orang diberikan kepada raja atau penguasa sebagai bentuk penghormatan dan tunduk patuh pada kekuasaan raja suatu wilayah di Indonesia merupakan bentuk pajak pada zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia tumbuh. Upeti tersebut berupa hasil bumi dan pemajakan barang perdagangan. Sebagai imbalannya maka rakyat mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Di kerajaan Mataram raja-raja sudah melaksanakan hidup swa-sembada dan otonom (Muh. Bkhrun Effendi : 2006). Penyerahan tersebut lebih besar pada kepentingan ekonomi daerah atau kerajaan, membiayai penyelenggaraan pemerintahaan setempat, dan membiayai pertahanan dan kekuatan kerajaan.
Kemudian VOC sebagai badan perdadangan menguasai wilayah Indonesia, tidak memungut pajak di daerah kekuasaannya, seperti Batavia, Maluku, dan lain-lain. Tetapi mengenakan Pajak usaha, Pajak Rumah, dan Pajak Kepala kepada pedagang Cina dan pedagang lainnya. Selain itu, VOC memiliki monopoli penjualan candu, garam, pemetikan sarang burung, dan lain-lain yang dijualnya pada pacht-pacht yang biasanya dipegang oleh kapiten (Onghokham, dalam Bakhrun Effendi). Menurut Levyson Norman, Gubernur Jenderal Daendels juga mengadakan pemungutan pajak, menarik pajak dari pintu gerbang dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah jadi (Siti Hatijah, dam Bakhrun Effendi).
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles (1811- 1815) menyeleggarakan administrasi dan reorganisasi yang mengeluarkan banyak uang. Raffles mengadakan pembaharuan sistem pajak yang dikenal dengan landrent stesel, di mana system pajak tersebut mengambil contoh dari Benggala, India.
Pada masa penjajahan kolonial pajak merupakan hal yang dieksploitasi untuk kepentingan penjajah. Pajak dilaksanakan tidak memperhatikan keadilan, keamanan, dan hak asasi manusia Indonesia, tetapi menjadi beban penderitaan dan pengorbanan luar biasa rakyat Indonesia. Pada masa penjajahan, penjajah lebih menekankan pada fungsi budgeted yaitu pemasukan keuangan untuk keperluan pemerintah penjajah. Pada 1945 Indonesia mengunakan sistem pajak yang menggunakan self assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungakan, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang. Beberapa jenis pajak yang sejak masa penjajahan telah diterapkan di Indonesia dan perkembangannya akan dijelaskan berikut ini.
A. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan serta Perkembangannya
Sejarah pajak bumi dan bangunan di Indonesia dimulai dari pengenaan pajak tanah (land rent) oleh pemerintahan colonial Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stanford Raffless pada abad XIX, tepatnya pada tahun 1813 di pulau Jawa. Raffles menentukan pajak ini pada individu bukan pada desa. Raffless membagi tanah atas kelompok-kelompok terhadap tanah kering dan tanah basah, pengenaan pajaknya adalah rata-rata produksi per tahun untuk sawah(Tanah basah) dan tegalan (tanah kering). Dalam Atep Adya Barata (2005), Raffless meniru sistem pajak tanah di India yang dikenal dengan tiga macam sistem pemungutan land rent, yaitu :
1. Sistem Zamindari atau Zamindarars yang berarti Landheer atau tuan tanah. Menurut system ini para tuan tanah dikenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap. Pengenaan tariff pajak dengan suatu jumlah yang tetap dikenal dengan istilah permanent settlement. System ini dijalankan di Benggala dan di sekitar Barat laut India.
2. Sistem Pateedari yang disebut juga Mauzawari.
Sistem ini sebernarnya meniru system pajak bumi pemerintah Portugis di Goa. Berdasarkan system ini, pajak bumi dikenakan kepada Desa yang dianggap sebagai suatu kesatuan. Selanjutnya pengenaan kepada penduduk kebijaksanaannya diserahkan kepada kepala Desa masing-masing. System ini diberlakukan di Punyab dan distrik-distrik barat laut India.
3. System Rayatwari.
Dalam system ini pajak tanah atau bumi dikenakan langsung kepada para petani yang mengolah tanah berdasarkan pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh tiap-tiap petani. System ini diberlakukan di Madras dan Bombai. Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi atau Landrente. Dalam usahanya untuk melaksanakan sistem sewa tanah ini Raffles berpagang pada tiga azas, yaitu:
1. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam
2. Pengawasan tertinggi langsung dilakukan oleh pemerintah tanah atas dengan menarik pendapatan atas tanah- tanah dengan pendapatan dan sewanya tanpa perantara Bupati- bupati, yang kerjanya selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan- pekerjaan umum.
3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak- kontrak untuk waktu yang terbatas.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
a. Kelas 1 yaitu kelas yang subur, dikenakan pajak dari setengah hasil bruto.
b. Kelas 2 yaitu kelas tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto.
c. Kelas 3 yaitu kelas tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.
Dalil yang didasarkan dasar adanya pemungutan pajak tanah menurut sejarah, adalah anggapan bahwa semua tanah adalah milik raja (souvereign), dan kepala Desa –kepala desa yang berada di bawah kekuasaan raja semuanya dianggap sebagai penyawa (pachters). Karena itu mereka harus membayar sewa tanah(land rent) dengan aturan secara tetap kepada penguasa.
Sejalan dengan kebijaksanaan kerja paksa (forced labour policy) tahun 1854, dimulailah kodifikasi aturan-aturan tentang sewa tanah (the codification of landrent regulation 1854). Dalam Azhari A. Samudra (2005) Tobias Soebekti mengemukakan, tanah dikelompokkan menurut aturan yang berlaku termasuk yang diatur dalam Statute Books(Lembaga Negara) Tahun 1866 No. 219a dan 219b. pengelompokkan tanah didasarkan pada survey statistic berdasarkan jumlah produksi nyata selama tiga tahun terakhir. Kemudian tahun 1896 adanya perluasan wilayah dan system menyebabkan dasar pengenaan land rent bukan pada desa maupun pada individu, tetapi pada plot (tanah dibagi menjadi kelompok tanah basah dan tanah kering). Survei tanah sampai dengan pengelompokan tanah dalam beberapa kelas di setiap desa oleh tentara Hindia Belanda dan kepala-kepala desa ini merupakan aturan pengodifikasian system pajak apada akhir abad XIX. Pada masa penjajahan jepang 1942-1945, system pajak tanah yang dilaksanakan Belanda sepenuhnya di ambil alih dan namanya diganti menjadi pajak tanah.
B. Sejarah Pajak Penghasilan dan Perkembangannya
Di Indonesia sebelum tahun 1920 diberlakukan sistem pajak yang berbeda untuk pribumi, untuk orang Asing Asia dan untuk orang Eropa (“indigenous” Indonesians, “foreign” Asians and Europeans). Pajak pendapatan bagi orang Eropa (tax patent duty), dan untuk orang Indonesia adalah pajak pendapatan yang disebut business tax.
Seluruh orang Indonesia atau yang dianggap secara hokum menjadi orang Indonesia yang ikut serta dalam perdagangan kecil-kecilan atau eceran baik untuk dirinya sendiri maupun untuk pihak lain merupakan subjek dari pajak ini. Yang dikecualikan menurut Undang-undang business tax adalah para petani dan buruh yang bekerja pada tanah pertanian, kepala desa dan pegawai pemerintahan. Tax patent duty yang berlaku di Indonesia adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dari usaha. Pajak dikenakan terhadap pendapatan yang diperoleh dari kegiatan pertanian, manufaktur, kerajinan tangan, atau kegiatan industry di Hindia Belanda. Memiliki tariff proporsional, yakni 2% dari pendapatan. Pendapatan minimum tidak disebutkan dan biaya pengeluaran dari rumah tangga atau pengeluaran pribadi tidak termasuk dalam perhitungan yang dikenakan pajak. Pajak pendapatan untuk pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan Ordonasi Pajak Pendapatan 1908 (Ordonantie op de Inkomstenbelasting 1908). Kemudian ordonasi ini diganti dengan Ordonasi Pajak Pendapatan 1920.
Masa antara tahun 1920 sampai dengan 1983 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1/ Ordonansi PPd 1920 (The Income Tax Ordinance of 1920). Sekarang diberlakukan pajak yang sama tanpa melihat asal usul keturunan (the unification principle) masa itu pula diperkenalkan Pajak Kekayaan.
2/ Corporation tax Ordinance of 1925 (ordonansi pajak perseroan PPS 1925 dan berlaku sampai dengan 1983). Subjeknya adalah badan hukum seperti, PT,CV atas saham, objeknya adalah laba bersih.
3/ Personal Income Tax Ordinance of 1932 (Ordonansi pajak Pendapatan 1932 = ordonantie op Inkomstenbelasting 1932). Pajak pendapatan pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de inkomstenbelasting 1908). Tahun 1920 ordonansi ini diganti dengan ordonansi pajak pendapatan 1920, lalu tahun 1932 menjadi ordonansi pajak pendapatan 1932 dan terakhir diganti menjadi ordonansi pajak pendapatan 1944.
Ordonansi pajak pendapatan 1944 semula bernama “pajak perang” (Oorlogsbelasting) atau pajak peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang.
Rancangan ordonansi tersebut disusun tahun 1943 diumumkan dalam staatsblad 1944 No 17 dan diberlakukan 1 Januari 1945 saat yang bersamaan maka “ordonantie op de inkomstenbelasting 1932” dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ordonansi pajak pendapatan 1944 yang semula dinamakan Oorlogsbelasting (pajak perang). Mulai 1 Januari 1946 namanya diubah menjadi “Overgangsbelasting” (pajak peralihan), lalu dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1957 (LN Nomor 41 tahun 1957) nama ordonansi tersebut dengan resmi menjadi “ordonansi pajak pendapatan 1944”. Oleh Pemerintah Hindia Belanda Ordonansi dibuat dengan sederhana dan darurat karena mengingat keadaan saat itu. Dan kelak akan diganti dengan suatu ordonansi pajak atas pendapatan yang lebih sempurna.
Subjek Pajak Pendapatan 1932 adalah orang pribadi, badan/persekutuan (Fa-Firma, CV, Kongsi). Objeknya adalah Pendapatan bersih. Dengan berbagai kekurangan maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ordonantie op Inkomstenbelasting 1932.
Menyadari kekurangan yang terdapat dalam ordonansi ini pemerintah Indonesia berusaha menyempurnakannya dengan menyesuaikan dengan keadaan, yang dilakukan mulai tahun 1960 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970, ordonansi pajak pendapatan 1944 aslinya tersusun dalam bahasa Belanda. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pertama kali dimuat dalam buku “Perundang-undangan Pajak Indonesia, terbitan Juni 1960 yang diterjemahkan oleh Prof Dr.Rochmat Soemitro, SH dan Drs B. Usman.
Wages Tax Ordonance of 1935 (ordonansi pajak upah 1935) dimana pemungutan pajaknya dilakukan oleh para majikan, saat itu diperkenalkan di Indonesia PAYE = Pay-As-You-Earn (bayar sesuai dengan upah yang diterima).
3. Sejarah Pajak Perseroan dan Perkembangannya
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti “Landrent” dan “Hoofdelijke Belasting”.
Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan. Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op de Vennootschapsblasting 1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970. Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan Pajak Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga,
2. Aturan Bea Meterai,
3. Ordonansi Bea Balik Nama,
4. Ordonansi Pajak Kekayaan,
5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor,
6. Ordonansi Pajak Upah,
7. Ordonansi Pajak Potong,
8. Ordonansi Pajak Pendapatan,
9. Undang-undang Pajak Radio,
Undang-undang Pajak Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
a. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b. UU-21-1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c. UU-19-1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
d. UU-74-1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
e. UU-08-1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
a. UU-06-1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
b. UU-07-1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
c. UU-08-1983 tentang PPN dan PPnBM.
d. UU-12-1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment).
e. UU-13-1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu :
a. UU-06-1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994.
b. UU-07-1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994.
c. UU-08-1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994.
d. UU-12-1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.
e. Pembangunan I.
f. Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
a. UU-17-1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak.
b. UU-18-1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
c. UU-19-1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
d. UU-20-1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
e. UU-21-1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Perkembangan Pemungutan Pajak di Indonesia
Pajak mulanya di bayar secara natura yaitu hasil pertanian, hasil hutan, dan hasil perkebunan, serta barang tambang mulia, seperti emas dan perak. Selain itu, pajak juga dapat dibayar dengan tenaga, yaitu dengan melakukan pekerjaan tanpa diberi imbalan. Kemudian sejalan dengan perkembangan waktu, pajak dibayar dengan uang. Di seluruh dunia telah mengakui bahwa pajak nerupakan sumber utama penerimaan Negara dan sebagai alat mencapai tujuannya, walaupun tidak seluruh Negara di dunia mengandalkan penerimaan Negara dari sector pajak. Ada beberapa Negara yang memiliki potensi sumber daya alam negaranya sebagai penerimaan yang utama.
Sejak zaman sebelum masehi pajak telah dipungut oleh penguasa/raja suatu daerah untuk kepentingan raja. Setiap Negara atau daerah telah mengakui betapa pentingnya penghimpunan dana rakyat baik itu untuk raja dengan tidak memperhatikan rakyat atau untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan hanya mengandalkan kerelaan rakyat semata untuk memberikan sebagian kekayaannya, dana yang terkumpul dirasakan tidak akan optimal, tidak mencapai target yang diharapkan. Maka bentuk iuran kepada penguasa tersebut merupakan suatu paksaan, yang tentunya ada yang pro ada yang kontra. Penentuan siapa yang harus membayar pajak, bagaimana dasar pengenaan pajaknya, dan berapa besar tariff pajak yang dikenakan, ditentukan oleh keinginan penguasa semata. Pada akhirnya beban pajak yang harus dipikul jadi lebih berat, penguasa dengan kesewenangannya menentukan jumlah pajak sesuai kebutuhan penguasa bahkan melebihi yang dibutuhkan.
Di Indonesia tidak luput juga kesewenangan-wenangan dari penjajah. Pemerintah kolonial Inggris yang menjajah Indonesia di bawah Thomas Stanmford Raffles menerapkan kesewenangan pemungutan pajak dengan land rent (1813). Pemerintah kolonial Belanda juga melanjutkan kesewenangan dalam pemungutan pajak sehingga makin menyebabkan kesengsaraan rakyat Indonesia. Pajak yang dipungut dari rakyat Indonesia benar-benar hanya digunakan untuk mengisi kas pemerintahan kolonial.
Kesewenangan di atas merupakan suatu tindakan yang hanya didasarkan dari aturan dan keinginan penguasa semata. Sebab zaman dahulu raja dan penjajah adalah sosok yang harus dipatuhi dan diikuti kehendaknya. Kalau tidak, maka kekerasan dan siksaan yang akan diterima bagi yang tidak mematuhinya. Segala bentuk penindasan hanya untuk kesenangan penguasa dihilangkan.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perpajakan sudah ada pada zaman Nabi yaitu dikenal dengan “zakat”. Kemudian pajak mengalami perkembangan disebut dengan “upeti” yaitu pemberian secara cuma-cuma namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles (1811- 1815) mengadakan pembaharuan sistem pajak yang dikenal dengan landrent stesel, di mana system pajak tersebut mengambil contoh dari Benggala, India. Beberapa jenis pajak yang sejak masa penjajahan telah diterapkan di Indonesia dan perkembangannya adalah Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan, dan Pajak Perseroan. Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Sumber : https://goo.gl/ZlUEFB