31 March, 2014

Peran Advokat Dalam Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Peran Advokat Dalam Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga

[Perlu atau Tidak?]

 

KDRT [kekerasan dalam rumah tangga] dapat diperluas dalam pengertiannya dalam istilah KDRT Domestik. Maksudnya bahwa, tindakan KDRT tidak selalu dalam ruang lingkup hubungan suami isteri dan anak dalam satu keluarga saja, tetapi juga perlindungan hukum diberikan kepada pihak / keluarga lain yang ada dalam lingkungan keluarga tersebut. Bisa saja terjadi, kekerasan tidak dalam hubungan suami isteri, melainkan hubungan darah [dalam bentuk lain] atau bahkan kekerasan yang dilakukan terhadap seorang pekerja rumah tangga yang juga patut dilindungi.

 

KDRT domestik dibuat pengaturannya agar dapat melindungi pihak-pihak lain, yang tidak hanya dalam tercipta dari hubungan suami isteri saja, melainkan kepada pihak lain yang tinggal dalam rumah tangga tersebut. Pihak lain tersebut dapat pula [saudara sedarah atau tidak sedarah] namun secara nyata tinggal dan menetap [bergabung] dalam suatu keluarga.

 

Dari berbagai pengamatan, meningkatnya jumlah korban KDRT biasanya dari kelompok korban yang berstatus isteri. KDRT menimbulkan dampak traumatik bagi si korban atau pada anggota keluarga yang lain, meningkatnya angka kriminalitas KDRT fakta semakin menguatkan perlunya intervensi negara melalui penegakan [perlindungan hukum] agar kelompok korban KDRT bisa memperoleh keadilan dan pelaku atau calon pelaku bisa di minimize dan tidak semakin merajalela.

 

KDRT adalah delik aduan, artinya tindak pidana tersebut baru dapat dilakukan proses penyidikan setelah adanya pengaduan dari si korban kepada pihak kepolisian. Namun perlu kita ketahui, bahwa secara umum mengenai adanya pengaturan tindak pidana penganiayaan [pasal 351 KUHPidana]  dan pemberatannya [pasal 356 KUHPidana] dimana pasal ini tidak mensyaratkan adanya pengaduan dari korban. Oleh karenanya kami [RGS & Mitra] berpendapat, walaupun antara korban dan tersangka pelaku kejahatan KDRT telah dilakukan pencabutan perkara [perdamaian], sehingga proses pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan hingga ke Pengadilan, namun demikian Penyidik Kepolisian diperkenankan untuk memberikan penilaian se-obyektif dan seadil mungkin demi terciptanya penegakkan hukum, karena pelaku terus dilanjutkan pemeriksaannya hingga ke Pengadilan berdasarkan pasal 351 KUHPerdata, sebagaimana contoh / ulasan pemahaman sebagai berikut :

Seorang kepala rumah tangga melakukan penganiayaan kepada karyawan atau karyawati yang tinggal menetap dalam satu rumah, dalam perkembangannya, telah diperoleh informasi [akurat] dari si karyawan itu sendiri [selaku korban] atau informasi dari karyawan lain yang juga menjadi korban, bahwa ada seorang yang tinggal bersama dalam satu rumah sering melakukan penganiayaan terhadap orang yang tinggal dan menetap bersama pada rumah tersebut [walaupun orang-orang yang menjadi korban, tidak melakukan atau melakukan pengaduan]. Tentu seorang penyidik [kepolisian] akan bertindak aktif guna mengamankan seorang tersangka yang secara jelas telah melakukan penganiayaan dalam sebuah rumah tangga, tanpa perlu adanya syarat pengaduan dari si korban.

Seorang [suami] melakukan penganiayaan terhadap anak kandung atau bahkan penganiayaan terhadap isteri, yang perkaranya pernah diajukan pengaduan ke penyidik kepolisian, namun selanjutnya perkara tersebut diakhiri atau didamaikan karena telah terjadi pencabutan pengaduan baik dari anak maupun isteri. Dalam perkembangan, ternyata penganiayaan tersebut kembali diulangi oleh tersangka, namun hal tersebut tidak diadukan oleh anak atau isteri yang menjadi korban, namun [misalkan] dari keterangan / informasi tetangga, penyidik kepolisian mengetahui bahwa penganiayaan dalam rumah tangga tersebut kembali terulang, maka berdasarkan fakta seperti ini sepatutnya penyidik kepolisian bertindak aktif menangkap dan mengamankan tersangka berdasarkan pasal 351 KUHPidana [tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari korban], semata-mata untuk keamanan, keselamatan dan kepentingan hukum si korban itu sendiri.

 

Dalam sebuah kasus yang pernah dikonsultasikan kepada kami [RGS&Mitra] pernah terjadi klien [kami] dipaksa untuk berdiam agar tidak mengadukan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh suami [keduanya] kepada anak kandung yang merupakan hasil pernikahan dengan suami pertama. Terhadap fakta “mediamkan” tersebut, kami menyarankan secara tegas, agar hal ini segera dilaporkan kepada pihak penyidik kepolisian. Kami berpendapat bahwa tindakan “mendiamkan” tersebut [walau dalam keadaan dipaksa dan diancam oleh suami keduanya], juga merupakan tindakan KDRT dari orang tua kepada anak, bahkan apabila hal tersebut didiamkan, maka dapat diprediksi akan tercipta keadaan :

Membiarkan terjadinya pelanggaran KDRT dari orang tua kepada anak, bahkan akan merusak serta menghancurkan masa depan anak, serta menampik perlindungan hukum dan keadilan yang pantas diberikan kepada anak ;

Membiarkan terjadinya KDRT yang dilakukan oleh suami [kedua] terhadap isteri, yang secara jelas keadaan ini sangat dilarang oleh UU-KDRT di Indonesia.

 

Umumnya korban KDRT tidak dapat posisi yang kuat untuk memberikan perlawanan, namun upaya hukum lain yang bisa diajukan yaitu dengan mengajukan gugatan secara perdata, misalkan seorang isteri dan anak mengajukan gugatan pemberian nafkah kepada suami, baik mereka [suami isteri] sudah dalam keadaan bercerai maupun tidak dalam kondisi bercerai.

 

Dalam pengamatan data [sekunder] yang kami peroleh, KDRT dapat terjadi dalam segala tingkat [stratifikasi] ekonomi di masyarakat, tidak perduli apakah ia seorang yang berpendidikan tinggi dan memiliki kekayaan yang berkecukupan, ataukah ia seorang yang tidak berpendidikan dan dalam kondisi miskin. Kekerasan dalam rumah tangga terdiri dari 3 [tiga] area pengaturan antara lain :

Pertama : area yang tercipta karena garis hubungan darah [misalnya anak dan orang tua]

Kedua : area yang tercipta karena hubungan perkawinan [misalnya antara suami dan isteri]

Ketiga : area yang tercipta karena hubungan pekerjaan, misalkan antara majikan dan karyawan yang tinggal menetap dalam satu rumah [jadi tidak ada hubungan darah sama sekali].

Dari ketiga area tersebut, dengan berkembangnya dinamika kehidupan saat ini [2014], maka paling yang mengalami korban adalah anak-anak karyawan yang tinggal menetap dalam satu rumah, selanjutnya isteri dan dalam informasi yang kami peroleh bahkan sudah ada suami yang menjadi korban KDRT.

 

Jenis kekerasan yang dilarang dalam KDRT

Kekerasan fisik, jenis kekerasan seperti ini mudah dibuktikan karena kekerasan fisik bisa dilakukan dengan tangan kosong atau-pun menggunakan benda tajam ataupun benda tumpul, sehingga terhadap tubuh si korban mudah diperoleh bukti adanya kekerasan fisik langsung, yang telah dilakukan oleh tersangka kepada korban [biasanya dapat dibuktikan melalui pemeriksaan dan dituangkan dalam dokumen bukti yang bernama visum et repertum].

Kekerasan Psikis, jenis kekerasan psikis agak sulit dibuktikan, terutama apabila korban adalah seorang anak atau-pun seorang isteri yang mengalami ketakutan yang amat sangat, sehingga ia lebih baik memilih berdiam ketimbang harus membicarakan atau melaporkan kepada pihak yang berwenang. Contoh kekerasan psikis dalam rumah tangga, tidak terdapat bukti adanya kerusakan fisik yang dialami si korban. Tindakan dalam bentuk kekerasan psikis, misalkan membuat seorang anak atau isteri menjadi sedemikian takut, sedemikian cemas bahkan bisa menciptakan traumatik tersendiri dalam pikiran dan jiwa yang dialami oleh si korban. Dalam pengamatan berdasarkan data [sekunder] yang kami peroleh, kekerasan psikis inilah yang sering dilakukan secara sadar maupun tidak sadar, oleh orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi [misalkan seorang sarjana, doktor bahkan profesor sekalipun], ataupun orang-orang yang karena keahlian atau pekerjaan [karena profesi atau kedudukannya di masyarakat], mereka melakukan kekerasan psikis terhadap keluarganya. Kekerasan psikis tidak mudah dibuktikan, oleh karena itu dalam hal pembuktian di pengadilan, dibutuhkan peran seorang psikologi hukum, sehingga bisa diperoleh fakta adanya gangguan psikis korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan ekonomi, di KUHPidana diatur mengenai tindakan yang dilarang terhadap orang yang wajib ditolong, dan dalam hubungan KDRT misalkan membiarkan seseorang yang memang sudah kewajibannya untuk diberikan nafkah / penghidupan sehari-hari, membiarkan [menelantarkan] korban, padahal si-pelaku berada dalam kehidupan [ekonomi yang wajar], atau sesungguhnya pelaku sangat mengetahui korban membutuhkan pertolongan [biaya penghidupan] dan dengan sengaja menelantarkan korban tersebut secara terus menerus.

Kekerasan seksual, dapat terjadi misalkan terhadap korban [anak kandung atau anak tiri]. Dalam beberapa kasus yang pernah dikonsultasikan kepada kami seputar kekerasan seksual dapat saja terjadi, terhadap hubungan-hubungan seks yang sangat dilarang berdasarkan ketentuan larangan pernikahan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[1]. Kekerasan seksual dimungkinkan saja terjadi terhadap suami isteri, misalkan pemaksaan terhadap pasangan untuk melakukan hubungan seksual secara tidak wajar, yang bahkan cenderung melakukan penyiksaan dan mengancam keselamatan pasangan suami isteri dalam melakukan hubungan seks dimaksud.

 

Penutup, karena masalah KDRT sebagian besar terjadi dalam ruang lingkup privasi keluarga, maka kami mencoba untuk memberikan saran / pendapat hukum yang netral, antara lain :

Bagi korban yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, agar segera meminta perlindungan yang dapat diperoleh dari tetangga, orang terdekat atau kepolisian setempat, yang dalam rangka penyelamatan pribadi, agar segera ‘menjauh’ tersangka demi penyelamatan diri sendiri.

Bagi korban yang mengalami kekerasan psikis dapat menghubungi advokat dan psikolog terdekat.

Bagi ‘tersangka’ pelaku KDRT, maka sebaiknya anda mampu mengidentifikasi bahwa diduga anda telah melakuan pelanggaran karena tindakan kekerasan [fisik atau psikis] dalam rumah tangga, oleh karenanya sebelum perkara tersebut dilimpahkan penyidik berwenang, anda harus sesegera mungkin memperbaiki kondisi tersebut, tidak mengulangi , dan/atau segera mengkonsultasikannya dengan advokat terdekat.

 

Robaga Gautama Simanjuntak, SH. MH

30 Maret 2014



[1] Pasal : 29. Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, Presiden dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi. Pasal 30. Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah. Pasal 31. Juga dilarang perkawinan: [1] antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain ; [2] antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

25 March, 2014

Lima syarat mutlak harus dipenuhi dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945

5 (lima) syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.

Syarat pertama, adalah kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Indonesia, untuk bertindak sebagai Pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.

Syarat kedua, dengan berlakunya suatu Undang-Undang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan.

Syarat ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik.

Syarat keempat, kerugian tersebut timbul akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohon.

Syarat kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan.

Sumber : PutusanMK-01PUUXI2013

Penemu Domain Terima Penghargaan Seumur Hidup

Tanggal: 11 Jul 2005 Sumber: Iin Wirdania Anwar

NamaDomain.com, Kalau bukan karena orang ini, kita tidak akan bisa berjelajah internet dengan mudah. Pasalnya, dia yang menciptakan metode pengubahan alamat situs menjadi sederetan angka yang dikenal dengan nama Domain Name System (DNS).

Dr. Paul Mockapetris, demikian namanya, adalah seorang kepala ilmuwan yang baru-baru ini diberikan penghargaan seumur hidup dari ACM Sigcomm (Special Interest Group on Data Communication). Ini adalah sebuah asosiasi untuk para spesialis jaringan komputer yang profesional di bidangnya.

Penghargaan ini diberikan atas jasanya menciptakan sistim pengkodean alamat situs, DNS atau yang biasa disebut domain, 22 tahun silam. Ia mengembangkan sistim ini ketika masih aktif di Institut Ilmu Informasi, University of Southern California, Amerika Serikat.

"Adalah suatu kehormatan besar bagi saya atas diberikannya penghargaan ini oleh ACM Sigcomm," tutur Dr. Mockapetris seperti dilansir BBC News dan dikutip detikinet Jumat (3/6/2005).

Meski sudah menyabet penghargaan bergengsi, rupanya ia tidak berhenti dengan berpuas diri. "Masih banyak yang harus dilakukan meski dunia internet kini sudah semakin canggih. Masih perlu pengadaan jaringan yang lebih berguna dan aman," harapnya.

Sekedar informasi, DNS adalah suatu sistim yang menterjemahkan alamat situs, misalnya www.detik.com menjadi serentetan angka yang dapat dimengerti oleh jaringan. Ini juga sangat berguna untuk penerjemahan kode dari layanan situs pencari dan e-mail ke dalam kode telepon internet, VoIP.

"Sistim DNS ini adalah jantung dari pengoperasian internet," ujar pimpinan ACM Sigcomm, Jennifer Rexford. "ACM Sigcomm merasa terhormat memberikan penghargaan kepada Dr. Mockapetris atas dedikasinya dalam mendisain dan mengembangkan DNS. Termasuk perannya yang sangat penting dalam perkembangan dunia internet," uangkapnya.

Tidak hanya sistim DNS, Mockapetris pun ternyata juga perancang Simple Mail Transfer Protocol (SMTP) internet. Ini biasa digunakan untuk e-mail. Selain itu ia juga memimpin Internet Engineering Task Force (IETF), sejak tahun 1994 hingga tahun 1996.

Sebelum Mockapetris, penghargaan serupa juga pernah diberikan kepada Vint Cerf. Ia adalah pionir pengembang jaringan internet yang menyabet penghargaan di tahun 1996. Terutama atas jasanya mengembangkan protokol dasar TCP/IP.

Internet Protocol (IP) adalah sistim postal yang memungkinkan pengguna untuk mengirim data ke dalam sistim tersebut tanpa hubungan langsung dengan si penerima data. Sementara Transmission Control Protocol (TCP), menyediakan kemudahan pengiriman data yang memungkinkan komunikasi dua arah antara sumber dan tujuan.

Penghargaan Sigcomm ditujukan kepada orang-orang yang memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan komunikasi data dan komputer secara teknis. Penganugeran penghargaan mulai dilakukan pada tahun 1989.
(nks)

Rumusan Hasil Temu Pakar Tentang Informasi Dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi

Rumusan Hasil Temu Pakar Tentang Informasi Dalam Menghadapi Tantangan
Globalisasi (Konsep Awal)

24 March, 2014

Keabsahan Tanda Tangan Elektronik RUPS

Keabsahan Tanda Tangan Elektronik RUPS Berdasarkan

UU-PT No. 40 Tahun 2007 Vs. UU-ITE Nomor 11 Tahun 2008[1]

Dalam Pasal 77 - UUPT Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elekronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.

Pertanyaan : apakah isi rapat/keputusannya dan tandatangan para pemegang saham/peserta rapat, dan notulen rapat bawah tangan yang telah ditandatangani melalui “telekonfrence” sah menurut notaris, dan dapat dijadikan alat bukti asli dalam pembuatan Akta pernyataan keputusan rapat…?

Beberapa Dasar Hukum Sebagai Acuan

Pasal 76 Undang-Undang PT Nomor 40 Tahun 2007 :RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan. Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terletak  di wilayah negara Republik Indonesia. Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.

Penjelasan

Pasal 76 Ayat

Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)” adalah RUPS harus diadakan di wilayah negara Republik Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 77 – Undang-Undang PT Nomor 40 Tahun 2007

Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.

Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.

Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

Penjelasan

Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Yang dimaksud dengan “disetujui dan ditandatangani” adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara elektronik.

 

Analisa Singkat

Sebelum mengulas mendalam dari pertanyaan diatas mengenai ke-absahan tanda-tangan guna memperoleh keabsahan suatu rapat yang dilakukan melalui teleconference, perlu difahami terlebih dahulu, pengertian dari Teleconference[2] [yang dalam bahasa Indonesianya biasa ditulis telekonferensi] yaitu suatu pertemuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang dilakukan melewati telpon atau koneksi jaringan. Pertemuan tersebut hanya dapat menggunakan suara (audio conference) atau menggunakan video (video conference) yang memungkinkan peserta konferensi saling melihat. Dalam konferensi juga dimungkinkan menggunakan whiteboard yang sama dan setiap peserta mempunyai kontrol terhadapnya, juga berbagi aplikasi. Produk yang mendukung teleconference pertama melalui internet adalah NetMeeting yang dikeluarkan oleh Microsoft. Suatu pertemuan melalui telekonferensi adalah juga suatu tindakan-hukum dengan maksud untuk mengadakan suatu rapat [pertemuan] diantara pemegang saham [Pasal 76 (4)]. Bahwa maksud diadakan RUPS biasanya untuk memutuskan sesuatu yang didasarkan kepada adanya suatu keputusan “persetujuan” untuk suatu tindakan hukum tertentu atas nama PT, dimana terhadap persetujuan ini boleh ditanda-tangani  :

secara fisik atau

secara elektronik

Ciri spesifik teleconference yang memiliki nuansa hukum yaitu pertemuan dimaksud harus memiliki dampak atau akibat hukum misalkan pertemuan tersebut merupakan suatu rapat untuk memutuskan sesuatu, atau teleconference yang dilakukan dalam rangka memberikan suatu keterangan atau kesaksian [misalkan dalam perkara pidana[3]]. Adanya dampak inilah yang membedakan antara teleconference biasa dengan teleconference memiliki dampak hukum.

Dalam UU-ITE, pengertian tanda-tangan elektronik adalah[4] suatu tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Aturan lebih lanjut mengenai tanda-tangan elektronik ini ada dalam Pasal 11 yang mengatur bahwa : Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut : data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan ; data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan ; segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui ; segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui ; terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya ; dan terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait. Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan berlakunya UU-ITE diatur mengenai keabsahan suatu tanda-tangan elektronik, maka kaitannya dengan RUPS-PT haruslah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU-ITE, agar suatu tanda-tangan elektronik dalam keputusan RUPS menjadi suatu alat bukti yang sah [menurut hukum acara perdata Indonesia]. Namun hingga tulisan ini dibuat, ke-absahan suatu tanda-tangan elektronik masih harus menunggu Peraturan-Pemerintah sebagaimana disyaratkan pada Pasal 11 ayat 2, oleh karenanya kami berpendapat bahwa penggunaan tanda-tangan elektronis untuk keabsahan suatu RUPS masih sangat riskan, sebelum terbitnya suatu aturan tegas dari Pemerintah berdasarkan Undang-Undang ITE. Kalaupun nantinya terbit Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana Pasal 11 UU-ITE, maka hal penting lain yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan RUPS via Telekonferensi agar terpenuhi syarat sahnya suatu tanda-tangan elektronis terhadap keputusan RUPS yaitu pemegang saham [subjek-hukum yang berhak [pemegang saham] ketika melakukan RUPS via telekonferensi memang benar-benar berada dalam wilayah Republik Indonesia [Pasal 76 ayat 3 dan 4 UU-PT]. Mengapa syarat sah ini perlu kami kemukakan? Karena UU-ITE mengizinkan penerapan yurisdiksi “meluas” hingga keluar wilayah Indonesia [Pasal 2 UU-ITE], jadi jika dibuktikan berdasarkan UU-ITE maka RUPS via telekonference yang dilakukan oleh pemegang saham yang berada diluar wilayah R.I. disertai tanda-tangan elektronik adalah sah ; namun UU-PT yang merupakan lex-spesialis dari ketentuan Perseroan Terbatas, membatasi secara tegas bahwa penyelenggaraan RUPS harus dilaksanakan di Indonesia [Pasal 76 UUPT]. Sehingga apabila tercipta suatu kondisi, pada saat RUPS dilaksanakan via telekonferensi, salah satu atau beberapa pemegang saham ternyata berada di luar wilayah Indonesia, dan apabila berdasarkan hukum acara perdata berhasil dibuktikan [tentunya harus didukung oleh keterangan saksi ahli dari para teknologi informatika yang membuktikan bahwa salah satu pemegang saham memberikan tanda-tangan elektronik di luar wilayah Republik Indonesia] RUPS dimaksud akan berakibat batal demi hukum.

Selanjutnya perlu difahami dengan dengan baik oleh praktisi hukum bahwa suatu tanda-tangan elektronis[5], bukan suatu gambar tanda-tangan yang di-scan kemudian ditempatkan pada suatu dokumen[6], sehingga suatu dokumen memang terkesan [pada layar monitor computer] sudah ditandatangani. Pengertian tanda-tangan elektronis yang sebenarnya [menurut Undang-Undang ITE] bisa dibuat dengan berbagai cara antara lain dengan sebuah kode digital yang ditempelkan pada pesan yang dikirimkan secara elektronis, yang secara khusus akan memberikan identifikasi khusus dari pengirimnya. Indonesia sendiri [dari hasil diskusi UU-ITE yang diselenggarakan oleh AAI-JakSel] akan mengarah kepada praktek Penggunaan tanda-tangan digital berdasarkan “publik-key” yaitu sebuah bentuk enkripsi data yang menggunakan 2 jenis kunci berbeda [publik-key & private key], yang penjelasan detailnya tidak layak mungkin layak saya uraikan dalam tulisan ini & silahkan anda konsultasikan dengan praktsisi Teknologi Informatika.

Demikian, semoga bermanfaat.

Robaga Gautama Simanjuntak

http://advokat-rgsmitra.com

25 Juni 2008



[1] Pertanyaan asli

From: "Indriati" <indri@imeco.co.id> ;

To: <Notaris_Indonesia@yahoogroups.com> Sent: Friday, June 06, 2008 2:52 PM

Subject: Pesan untuk anda dari Notaris_Indonesia Yahoo Group mengenai RUPS melalui Media telekonferensi

[2] http://oyots.files.wordpress.com/2007/06/pengertian-istilah.doc

[3] Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

[4] Pasal 1 ayat 12

[5] Biasa dikenal dengan istilah digital-signature atau tanda-tangan digital

[6] Hasil diskusi mengenai Sosialisasi Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronis, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia DPC-Jakarta Selatan, tanggal 25 Mei 2008, dari Pembicara Edmon Makarim.

20 March, 2014

Perkara Yang Diperiksa Melalui Pengadilan Agama

PERKARA YANG DITANGANI PENGADILAN AGAMA

A. Perkawinan

Ijin Poligami | Pencegahan Perkawinan | Penolakan Perkawinan | Pembatalan Perkawinan | Kelalaian Kewajiban Suami Isteri | Cerai Talak | Cerai Gugat | Harta Bersama | Penguasaan Anak | Nafkah Anak | Hak-Hak Bekas Isteri | Pengesahan Anak | Pencabutan Kekuasaan Wali | Pencabutan Wali |

Ganti Rugi Terhadap Wali | Asal Usul Anak | Penolakan Kawin Campur |

Isbat Nikah | Izin Kawin |

Dispensasi Kawin | Wali Adhol

B. Wasiat

C. Wasiat

D. Wakaf

E. Shodakoh

F. Zakat

G. Ekonomi Syariah

H. Lain-Lain