29 August, 2013

Jalur Sogok, Jalur Siapa berkuasa dialah hukum dan Online atau Off line bagi Pencari Keadilan

Mungkin kita sering mendengar budaya SOGOK, apa sih yang dimaksud sogok atau menyogok itu? dalam kamus bahasa Indonesia sogok memiliki pengertian tindakan memberikan sesuatu [bisa uang]. Demikian pula dalam penegakkan hukum sering didengar istilah sogok agar seseorang dipermudah urusannya dalam urusan hukum, bahkan bisa merubah kedudukan hukum dalam suatu perkara, sesuai yang diinginkan [menjadi menang atau menjadi tidak dihukum, atau bahkan menyogok agar menjadi kalah]. Bahasa gampangnya, ia bisa membeli keadilan dan hukum, sesuai sogokan yang telah diberikan kepada si-penerima. Biasanya sogokan itu terjadi sebelum sebuah proses hukum menjadi selesai, atau bisa pula sogokan itu terjadi dalam bentuk janji konkrit yang gampang dilaksanakan oleh si-penerima setelah proses hukum itu dilaksanakan.

Dalam penegakkan hukum, selama masih pakai lembaga SOGOK buat ngerubah fakta, merupakan sebuah contoh konkrit manusia tidak sportif. Capek membahasnya, bagi saya upaya sogok itu cuma bentuk dari orang-2 pengecut, pemalas, yang tidak berani bertanggung-jawab untuk apa yang sudah diperbuat atau harus diperbuat di muka hukum. Banyak manusia pengecut macem begini, yang akan tersingkir secara alamiah di masyarakat. Dengan cara menyogok ini mereka bertahan tidak akan lama, yang pada akhirnya benar-benar tersingkir dari "arena pertandingan yang sportif".

Zaman dulu sampai tahun 1998 juga dikenal adanya upaya BEKING, agar orang lemah atau orang benar itu kalah dengan si pemilik kepentingan [khusus]. Sering terdengar istilah, misalkan ada jalur-presiden, jalur jenderal, jalur kopral, jalur menteri, bla-bla-bla agar orang lain takut dan tersingkirkan hak-hak.nya yang sah menurut hukum. Jalur ini saya sebut siapa yang berkuasa maka dialah hukum. Jalur jenis ini mulai menipis [walau masyarakat tak sadar, terkadang sering mencari-cari beking yang tak perlu]. Saat ini yang tersisa tinggal jalur hijau walau pun sudah mulai dijarah buat bikin apartemen, ruko, pabrik. Orang sekarang ga perduli dengan "jalur siapa berkuasa dialah hukum" karena sudah ada jalur online atau off-line [di internet].

Sekarang untuk menegakkan keadilan dan hukum, tinggal tersisa jalur sogok, yang kalau tidak kita [masyarakat, juga para penegak hukum] yang mulai meminimize jalur sogok ini, maka jalur ini tidak akan pernah habis, bahkan semakin mahal. Jalur sogok dalam pengamatan saya tersisa hanya pada bagian elite politik yang kaya raya, atau para pebisnis yang jorok [terbiasa nyogok], ketika mereka terlibat dalam perkara [hukum]. Namun para pengusaha muda, seiring dengan perkembangan zaman, lambat-laun mulai menghilangkan kebiasaan menyogok ini, selain mereka berkompetisi secara positif. Untuk itu ayo budidayakan kebiasaan Tolak SOGOK dan berkompetisi sehat.

Robaga Gautama Simanjuntak, SH. MH
advokat-rgsmitra.com

27 August, 2013

Keberlakuan Pasal 12 D UU-TIPIKOR Bagi Advokat

Pasal 12 huruf D uu-30-1999 Jo. uu-20-2001 : Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bagi Profesi Advokat bagaimana harus dimaknainya ? Apakah rumusan ini ditujukan kepada advokat yang tidak menjadi kuasa hukum atau-kah advokat yang menjadi kuasa hukum si tersangka/terdakwa tipikor?

Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :
Butir D  seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

RGS : saya berpendapat bahwa ketentuan itu berlaku bagi advokat di muka pengadilan, baik pada saat ia menjadi saksi [ahli] di pengadilan, menjadi kuasa hukum di pengadilan, bahkan juga berlaku pada saat ia menjalankan fungsi advokat di luar pengadilan misalkan dalam rangka memberi opini kepada klien yang merupakan tersangka korupsi. Jadi berlaku pengertian advokat secara umum sesuai UU-Advokat.
Penegasan dalam rangka memberi opini kepada kliennya [misalkan dalam pemberian jasa hukum non-litigasi], advokat memberikan saran & pendapat hukum dengan yang [bertentangan dengan kode etik / dan ketentuan peraturan-perundangan lain khususnya uu-tipikor], namun dengan berbagai kelihaiannya ia mampu membungkus semua tindakan yang melawan hukum tersebut dengan berbagai perangkat hukum yang sah, untuk melarikan, mengalihkan aset atau kekayaannya, agara tidak terciduk sebagai kekayaan [bukti] yang diduga diperoleh dari hasil korupsi. Dalam referensi asing yang pernah saya baca, seorang mafia narkotika profesional harus memiliki pengacara, akuntan, dokter, pendeta [pribadi], mafia ini memandang bahwa dari ke-4 profesi itu yang terpenting adalah advokat.
Di Indonesia saya tidak tau, apakah tersangka korupsi sebelum melakukan tindak pidana korupsi, ia berkonsultasi terlebih dahulu kepada pengacaranya, agar tindak pidana korupsi yang akan dilaksanakannya kelak, bisa sukses & terlepas dari jeratan hukum di kemudian hari [disini ia memanfaatkan advokat untuk memprediksi (Ex-Ante) melalui berbagai keahlian dan perangkat hukum yang ada, untuk melakukan kejahatan korupsi, yang akan dilakukan di masa mendatang, kemudian menganalisa kenyataan berdasarkan prediksi/asumsi tersebut, setelah tindakan tersebut dilaksanakan. Kalau fungsi advokat diberikan kepada klien sebelum klien melakukan tindak pidana korupsi, disini akan ada dua hal yang bisa terjadi :
1. korupsi tidak terjadi [karena advokat menyarankan sisi positif dan melarang si klien melakukan tindak pidana korupsi, dan si klien nurut]. [OK]
2. korupsi tetap terjadi. Jika berdasarkan opini hukum yang diberikan [melanggar kode etik dan melawan hukum] secara tepat, jitu dan akurat, maka ketika korupsi itu terjadi dengan sukses dan gemilang, klien tidak akan pernah di-pidana. [ERR] 
3. Apakah advokat akan melakukan pilihan [1] atau [2] itu menyangkut etika dan penghayatan advokat baik secara vertikal dan horisontal. +
Saya berpendapat, jika si-advokat memberikan saran dan pendapat hukum, sebelum tindak pidana korupsi dilakukan, maka ketentuan pasal 12.D UU-Tipikor tidak berlaku.

Robaga Gautama Simanjuntak
@AdvokatRGSMItra

Doktrin Negara Hukum

Doktrin Prof. Dr. Sri Sumantri mengenai "negara hukum" paling tidakharus memenuhi unsur sebagai berikut :
(i). Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasaratas hukum atau peraturan perundang-undangan;
(ii). Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
(iii). Adanya pembagian kekuasan dalam negara;
(iv). Adanya pengawasan dari badan-badan pemerintah negara;
Sehingga dapat diartikan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya haruslah berdasarkan suatu kepastian hukum, baik mengenai aturan hukumnya yang senantiasa menjunjung tinggi hak asasi manusia

23 August, 2013

Apa yang dimaksud dengan gratifikasi?

Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001, bahwa : "Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diteria di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."

Apabila dicermati penjelasan pasal 12B ayat (1) tersebut, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat : pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunya makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan padal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria pada unsur 12B saja.

Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001. "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut..."

Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya. 


Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan UU. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut.

[Sumber KPK : http://goo.gl/pQsMu6 | diakses 23 Agustus 2013 : 10:43]
Bagaimana mengidentifikasi gratifikasi yang dilarang (ilegal)?
Bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang ingin mengidentifikasi dan menilai apakah suatu pemberian yang diterimanya cenderung ke arah gratifikasi ilegal/suap atau legal, dan berpedoman pada beberapa pertanyaan yang sifatnya reflektif sebagai berikut:
No
Pertanyaan Reflektif (pertanyaan kepada diri sendiri)
 Jawaban
(Apakah pemberian cenderung ke arah gratifikasi ilegal/suap atau legal)
1 Apakah motif dari pemberian hadiah yang diberikan oleh pihak pemberi kepada Anda? Jika motifnya menurut dugaan Anda adalah ditujukan untuk mempengaruhi keputusan Anda sebagai pejabat publik, maka pemberian tersebut dapat dikatakan cenderung ke arah gratifikasi ilegal dan sebaiknya Anda tolak.
Seandainya 'karena terpaksa oleh keadaan' gratifikasi diterima, sebaiknya segera laporkan ke KPK atau jika ternyata instansi tempat Anda bekerja telah memiliki kerjasama dengan KPK dalam bentuk Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) maka Anda dapat menyampaikannnya melalui instansi Anda untuk kemudian dilaporkan ke KPK.
2 a. Apakah pemberian tersebut diberikan oleh pemberi yang memiliki hubungan kekuasaan/posisi setara dengan Anda atau tidak? Misalnya pemberian tersebut diberikan oleh bawahan, atasan atau pihak lain yang tidak setara secara kedudukan/posisi baik dalam lingkup hubungan kerja atau konteks sosial yang terkait kerja Jika jawabannya adalah ya (memiliki posisi setara), maka bisa jadi kemungkinan pemberian tersebut diberikan atas dasar pertemanan atau kekerabatan (sosial), meski demikian untuk berjaga-jaga ada baiknya Anda mencoba menjawab pertanyaan 2b.
Jika jawabannya tidak (memiliki posisi tidak setara) maka Anda perlu mulai meningkatkan kewaspadaan Anda mengenai motif pemberian dan menanyakan pertanyaan 2b untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut.
b. Apakah terdapat hubungan relasi kuasa yang bersifat strategis? Artinya terdapat kaitan berkenaan dengan/menyangkut akses ke aset-aset dan kontrol atas aset-aset sumberdaya strategis ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang Anda miliki akibat posisi Anda saat ini seperti misalnya sebagai panitia pengadaan barang dan jasa atau lainnya. Jika jawabannya ya, maka pemberian tersebut patut Anda duga dan waspadai sebagai pemberian yang cenderung ke arah gratifikasi ilegal.
3 Apakah pemberian tersebut memiliki potensi menimbulkan konflik kepentingan saat ini maupun di masa mendatang? Jika jawabannya ya, maka sebaiknya pemberian tersebut Anda tolak dengan cara yang baik dan sedapat mungkin tidak menyinggung. Jika pemberian tersebut tidak dapat ditolak karena keadaan tertentu maka pemberian tersebut sebaiknya dilaporkan dan dikonsultasikan ke KPK untuk menghindari fitnah atau memberikan kepastian jawaban mengenai status pemberian tersebut.
4 Bagaimana metode pemberian dilakukan? Terbuka atau rahasia? Anda patut mewaspadai gratifikasi yang diberikan secara tidak langsung, apalagi dengan cara yang bersifat sembunyi-sembunyi (rahasia). Adanya metode pemberian ini mengindikasikan bahwa pemberian tersebut cenderung ke arah gratifikasi ilegal.
5 Bagaimana kepantasan/kewajaran nilai dan frekuensi pemberian yang diterima (secara sosial)? Jika pemberian tersebut di atas nilai kewajaran yang berlaku di masyarakat ataupun frekuensi pemberian yang terlalu sering sehingga membuat orang yang berakal sehat menduga ada sesuatu di balik pemberian tersebut, maka pemberian tersebut sebaiknya Anda laporkan ke KPK atau sedapat mungkin Anda tolak.
1) Pertanyaan reflektif ini dapat digunakan untuk gratifikasi/pemberian hadiah yang diberikan dalam semua situasi, tidak terkecuali pemberian pada situasi yang secara sosial wajar dilakukan seperti: pemberian hadiah/gratifikasi pada acara pernikahan, pertunangan, ulang tahun, perpisahan, syukuran, khitanan atau acara lainnya.
2) Ada tiga model hubungan: (1) vertikal – dominatif (seperti hubungan atasan-bawahan); (2) diagonal (seperti petugas layanan publik-pengguna layanan publik); dan (3) setara (seperti antara teman dan antar tetangga); Dua yang pertama adalah relasi-kuasa yang timpang.
3) Strategis artinya berkenaan dengan/menyangkut akses ke aset-aset dan kontrol atas aset-aset sumberdaya strategis ekonomi, politik, sosial dan budaya. Ketimpangan strategis ini biasanya antar posisi strategis yang berhubungan lewat hubungan strategis. Sebagai contoh adalah hubungan antara seseorang yang menduduki posisi strategis sebagai panitia pengadaan barang dan jasa dengan peserta lelang pengadaan barang dan jasa. Pada posisi ini terdapat hubungan strategis di mana sebagai panitia pengadaan barang dan jasa seseorang memiliki kewenangan untuk melakukan pengalokasian/pendistribusian aset-aset sumberdaya strategis yang dipercayakan kepadanya pada pihak lain, sedangkan di lain sisi peserta lelang berkepentingan terhadap sumberdaya yang dikuasai oleh panitia tersebut.
Jika saya menerima gratifikasi, apa yang harus saya lakukan?
Jika anda memiliki posisi sebagai penyelenggara negara atau pegawai negeri menerima gratifikasi maka langkah yang terbaik yang bisa anda lakukan (jika anda dapat mengidentifikasi motif pemberian adalah gratifikasi ilegal) adalah menolak gratifikasi tersebut secara baik, sehingga sedapat mungkin tidak menyinggung perasaan pemberi.
Jika keadaan memaksa anda menerima gratifikasi tersebut, misalnya pemberian terlanjur dilakukan melalui orang terdekat anda (suami, istri, anak, dan lain-lain) atau ada perasaan tidak enak karena dapat menyinggung pemberi, maka sebaiknya gratifikasi yang diterima segera dilaporkan ke KPK. Jika instansi anda kebetulan adalah salah satu instansi yang telah bekerjasama dengan KPK dalam Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), maka anda dapat melaporkan langsung di instansi anda.
Apa saja yang harus saya lakukan dan siapkan dalam melaporkan gratifikasi ilegal?
Tata cara pelaporan penerimaan gratifikasi yang diatur dalam Pasal 16 huruf a Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
Pasal ini mensyaratkan bahwa setiap laporan harus diformalkan dalam formulir gratifikasi , adapun formulir gratifikasi bisa diperoleh dengan cara mendapatkannya secara langsung dari kantor KPK, mengunduh (download) dari situs resmi KPK (www.kpk.go.id), memfotokopi formulir gratifikasi asli atau cara-cara lain sepanjang formulir tersebut merupakan formulir gratifikasi; sedangkan pada huruf b pasal yang sama menyebutkan bahwa formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat:
- Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
- Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
- Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
- Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
- Nilai gratifikasi yang diterima.
Apa yang Dilakukan Oleh KPK pada Laporan Saya Setelah Laporan Diserahkan dan Diterima Secara Resmi?
Setelah formulir gratifikasi terisi dengan lengkap, KPK akan memproses laporan gratifikasi tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan urut-urutan sebagai berikut:
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.
(2) Pertimbangan yang dimaksud adalah KPK melakukan analisa terhadap motif dari gratifikasi tersebut, serta hubungan pemberi dengan penerima gratifikasi. Ini dilakukan untuk menjaga agar penetapan status gratifikasi dapat seobyektif mungkin.
(3) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi
(4) Pemanggilan yang dimaksud adalah jika diperlukan untuk menunjang obyektivitas dan keakuratan dalam penetapan status gratifikasi, serta sebagai media klarifikasi dan verifikasi kebenaran laporan gratifikasi penyelenggara negara atau pegawai negeri.
(5) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada Ayat ini Pimpinan KPK diberi kewenangan untuk melakukan penetapan status kepemilikan gratifikasi tersebut.
(6) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.
(7) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
(8) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Apa Saja Contoh-Contoh Kasus Gratifikasi
Beberapa contoh kasus gratifikasi baik yang dilarang berdasarkan ketentuan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maupun yang tidak. Tentu saja hal ini hanya merupakan sebagian kecil dari situasi-situasi terkait gratifikasi yang seringkali terjadi.
Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi adalah:
  • Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.
  • Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut.
  • Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan.
  • Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.
  • Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
  • Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
  • Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.
CONTOH KASUS
[Contoh 1]
Pemberian Pinjaman Barang dari Rekanan kepada Pejabat/Pegawai Negeri Secara Cuma-Cuma
Anda sebagai seorang pejabat senior di biro perlengkapan yang mempunyai kewenangan dalam hal pengadaaan barang dan jasa sebuah Kementerian. Kemudian, seorang penyedia barang dan jasa yang sudah 2 (dua) tahun melayani peralatan komputer untuk Kementerian Anda menawarkan komputer cuma-cuma untuk digunakan di rumah Anda selama Anda membutuhkannya. Tiga bulan lagi kontrak layanan peralatan komputer bagi Kementerian Anda akan diperbaharui, dan Anda biasanya menjadi anggota dari kepanitiaan yang memutuskan perusahaan mana yang memenangkan kontrak tersebut.
Pertanyaan
:

Apakah penerimaan oleh pegawai senior biro perlengkapan di sebuah kementerian tersebut termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Ya
 Pertanyaan

:
Mengapa penerimaan tersebut termasuk konsep yang dilarang?
Jawaban : Sebagai penyelenggara negara/pegawai negeri (pegawai senior dari biro perlengkapan di sebuah Kementerian), Anda telah menerima hadiah (gratifikasi) berupa komputer dari pihak yang Anda ketahui sebagai rekanan dari Kementerian. Anda juga mengetahui bahwa Anda akan menjadi panitia pengadaan yang berhak untuk menentukan perusahaan mana yang akan dipilih oleh Kementerian untuk memberikan layanan pengadaan komputer. Pemberian komputer ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi independensi Anda pada saat menentukan siapa pemenang tender. Karena dengan pemberian tersebut Anda akan merasa berhutang budi pada kontraktor yang telah memberikan komputer.
Pertanyaan : Apa tindakan yang seharusnya Anda lakukan dalam kondisi ini?
Jawaban : Anda seharusnya menolak pemberian komputer tersebut, untuk memelihara integritas pribadi Anda demi kepentingan organisasi. Jika karena situasi dan kondisi yang mendesak, Anda terpaksa menerima pemberian tersebut, misalnya pemberian komputer dilakukan dengan diantarkan ke rumah, di saat Anda tidak berada di rumah, maka penerimaan komputer tersebut harus dilaporkan kepada KPK sebagai pelaporan gratifikasi paling lambat 30 hari kerja sejak penerimaan untuk ditetapkan status kepemilikan gratifikasinya oleh KPK, atau jika ternyata instansi tempat Anda bekerja telah memiliki kerjasama dengan KPK dalam bentuk Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) maka Anda dapat menyampaikannya melalui instansi Anda untuk kemudian dilaporkan ke KPK.

[Contoh 2]
Pemberian Tiket Perjalanan Oleh Rekanan kepada Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri atau Keluarganya untuk Keperluan Dinas/Pribadi Secara Cuma-Cuma
Anda sebagai seorang ketua Kelompok Kerja Pelaksanaan Kajian Hukum Tindak Pidana Korupsi Nasional di suatu Kementerian. Atasan Anda adalah Menteri, yang bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan Kajian Hukum Tindak Pidana Korupsi Nasional yang saat ini sedang dilakukan. Pada suatu hari, konsultan yang bekerjasama dengan kelompok kerja Anda bertanya kepada Anda, bagaimana jika perusahaannya mengundang Menteri untuk menghadiri pertandingan final sepak bola Piala Dunia yang akan berlangsung di negara tetangga. Biaya perjalanan dan akomodasi akan ditanggung oleh konsultan. Konsultan berpendapat bahwa kegiatan ini akan memberikan kesempatan yang baik kepada Menteri untuk bertemu dengan Menteri-Menteri lainnya yang juga akan berada di sana.

Pertanyaan


:

Apakah tiket menonton bola dari konsultan rekanan Kementerian tersebut termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Ya
Pertanyaan : Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Pemberian hadiah oleh konsultan akan mempengaruhi penilaian Menteri terhadap pekerjaan konsultan. Hadiah juga dapat dilihat sebagai maksud untuk mempengaruhi keputusan Menteri dalam proyek-proyek selanjutnya yang mungkin diikuti oleh perusahaan
Pertanyaan : Apa tindakan yang seharusnya Anda lakukan dalam kondisi ini?
Jawaban : Tawaran dari konsultan tersebut harus ditolak karena pemberian tersebut berpotensi menimbulkan situasi konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi obyektivitas dan penilaian profesional Menteri terhadap pekerjaan konsultan, dan selain itu peristiwa seperti final sepak bola Piala Dunia tidak berhubungan dengan tugas dan tanggung
jawab dari seorang penyelenggaran negara atau pegawai negeri.

[Contoh 3]
Pemberian Tiket Perjalanan Oleh Pihak Ketiga Kepada Penyelenggara Negara Atau Pegawai Negeri atau Keluarganya untuk Keperluan Dinas/Pribadi Secara Cuma-Cuma
Adanya pemekaran suatu provinsi menyebabkan sebuah kabupaten berubah menjadi sebuah provinsi baru. Provinsi baru itu perlu wilayah baru yang akan dijadikan Ibu Kota. Kawasan yang cocok sebagai calon ibu kota sayangnya merupakan daerah hutan lindung. Agar kawasan hutan lindung dapat dialihkan menjadi ibu kota maka perlu dilakukan proses pengalihan fungsi kawasan yang dimulai dengan permintaan dari pemerintah daerah kepada Menteri Kehutanan. Kemudian Menteri Kehutanan menyampaikan permohonan ini kepada Komisi "Z" di Dewan Perwakilan Rakyat dan atas ijin DPR, Menteri akan membentuk tim terpadu yang bersifat independen untuk melakukan kajian. Berdasarkan hasil kajian, tim terpadu merekomendasikan bahwa fungsi hutan lindung tersebut pantas dialihkan karena awalnya hutan tersebut merupakan perkampungan dan berubah fungsinyamenjadi hutan lindung lebih karena kepentingan tertentu. Selanjutnya menteri membawa rekomendasi dari tim terpadu ini untuk dimintakan persetujuannya kepada Komisi "Z"
Untuk mempercepat proses persetujuan, pemerintah daerah bersepakat dengan salah satu anggota komisi untuk memberikan bantuan dalam peninjauan ke kawasan, antara lain tiket perjalanan dan akomodasi selama di kawasan.
Pertanyaan
:

Apakah pemberian bantuan dalam peninjauan ke kawasan tersebut termasuk gratifikasi yang dilarang?

Jawaban : Ya
Pertanyaan : Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Pemberian bantuan dalam peninjauan ke kawasan diduga merupakan upaya dari pihak pemerintah daerah yang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi independensi keputusan komisi sebagai pemberi persetujuan dalam mengesahkan hasil kajian dari tim terpadu.
Pertanyaan : Jika Anda berada dalam kondisi yang sama seperti yang dialami anggota komisi apa tindakan yang seharusnya Anda lakukan?
Jawaban : Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, anggota komisi seharusnya menolak bantuan dalam melakukan peninjauan ke kawasan dan memelihara integritas dari proses pengambilalihan fungsi kawasan. Jika karena situasi dan kondisi yang mendesak ternyata tiket perjalanan dan akomodasi sudah ditanggung oleh pihak pemda tanpa diketahui sebelumnya oleh anggota komisi, maka anggota komisi harus melaporkan penerimaan ini sebagai pelaporan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja setelah peninjauan selesai dilaksanakan.

[Contoh 4]
Pemberian Insentif Oleh BUMN/BUMD Kepada Pihak Swasta Karena Target Penjualannya Berhasil Dicapai
Sebuah BUMN di bidang transportasi, yaitu Maskapai "X" banyak bekerjasama dengan agen perjalanan di seluruh Indonesia untuk melakukan penjualan tiket. Sebagai imbalan dan juga strategi pemasaran, maka Maskapai X memberikan insentif kepada agen-agen perjalanan yang berhasil memenuhi target penjualan. Apakah pemberian insentif tersebut termasuk gratifikasi.
Pertanyaan
:

Apakah insentif yang diberikan oleh Maskapai "X" tersebut termasuk gratifikasi yang dilarang?

Jawaban : Tidak
Pertanyaan : Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang tidak dilarang?
Jawaban : Hal tersebut bukan merupakan gratifikasi sebagaimana definisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, karena pemberian diberikan kepada pihak swasta. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai gratifikasi mengikat pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Berbeda halnya apabila pemberian yang dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pemasaran yang dikemas dalam bentuk biaya promosi jika diberikan kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri makan pemberian tersebut harus dilaporkan sebagai pelaporan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak penerimaan tersebut.
Pertanyaan : Apa yang mesti diperhatikan dalam hal ini?
Jawaban : Perlu diperhatikan bahwa pemberian tersebut akan berpotensi menjadi suatu permasalahan hukum ketika insentif tersebut tidak disalurkan sesuai dengan peraturan yang ada (misal peraturan yang mengatur masalah persaingan usaha). Dalam contoh kasus ini hal tersebut belum merupakan gratifikasi yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.


[Contoh 5]

Penerimaan Honor Sebagai Narasumber Oleh Seorang Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri Dalam Suatu Acara
Dalam menjalankan tugas seorang penyelenggara negara/pegawai negeri seringkali mendapatkan penunjukan tugas menjadi pembicara untuk menjelaskan sesuatu, dan biasanya menjadi pembicara untuk menjelaskan sesuatu, dan biasanya mendapatkan honor sejumlah uang dari panitia.
Pertanyaan
:

Apakah penerimaan honor tersebut termasuk dalam konsep gratfikasi yang dilarang?

Jawaban : Jika penerimaan honor tersebut tidak dilarang dalam Kode Etik atau peraturan internal instansi dari penyelenggara negara/pegawai negeri maka hal tersebut bukanlah gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001.
Pertanyaan : Apa yang mesti diperhatikan dalam masalah ini?
Jawaban : Jika terdapat larangan sebaiknya penyelenggara negara atau pegawai negeri tidak menerima pemberian honor tersebut. Tetapi jika dalam kondisi tidak dapat menolak, atau dalam kondisi penerima tidak dapat menentukan benar atau tidaknya penerimaan dimaksud maka penyelenggara negara/pegawai negeri dapat mengkonsultasikan dan melaporkan pemberian honor tersebut ke KPK

[Contoh 6]
Pemberian Sumbangan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dalam Acara Khusus
BUMN memberikan sejumlah sumbangan/hibah kepada masyarakat sekitar termasuk didalamnya adalah pihak Kepolisian, Kejaksaan, TNI, dan Instansi Pemerintah lainnya, pada acara-acara tertentu misalnya HUT Kepolisian dan Kejaksaan.
Pertanyaan
:

Apakah pemberian sumbangan tersebut termasuk ke dalam konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban : Ya, untuk pemberian kepada Instansi Kepolisian, Kejaksaan, TNI dan Instansi Pemerintah lainnya. Untuk pemberian kepada masyarakat sekitar tidak termasuk gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang 20 Tahun 2001.
Pertanyaan : Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Bila pemberian tersebut diberikan kepada suatu instansi maka dikhawatirkan dengan adanya pemberian tersebut berpotensi mempengaruhi keputusan instansi pada masa yang akan datang atau pada saat itu.
Pertanyaan : Apa yang mesti diperhatikan dalam masalah ini?
Jawaban : Untuk permberian kepada instansi juga harus memperhatikan peraturan perundangan terkait dengan sumbangan/hibah kepada instansi lain, agar pemberian tersebut tidak disalahgunakan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan dan digunakan untuk kepentingan pribadi.
Ada 2 mekanisme terkait pemberian yang ditujukan untuk kepentingan operasional, yaitu:
1. Pimpinan instansi terkait melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK untuk mendapatkan penetapan bahwa barang pemberian dari sumbangan/hibah tersebut menjadi milik Negara, dalam hal ini untuk kepentingan operasional instansi terkait; selanjutnya
2. Pimpinan instansi terkait meminta ijin penggunaan barang pemberian dari sumbangan/hibah tersebut terlebih dahulu kepada Kementerian Keuangan RI sebagai mekanisme pendaftaran barang pemberian dari sumbangan/hibah tersebut sebagai aset negara untuk kepentingan instansi terkait. Berdasarkan ijin dari Kementerian Keuangan RI, instansi yang menerima selanjutnya melakukan proses pencatatan/inventarisasi atas barang pemberian dari sumbangan/hibah tersebut untuk dapat mempergunakannya dalam pelaksanaan operasional instansi.

[Contoh 7]
Pemberian Barang (Souvenir, Makanan,Dll) Oleh Kawan Lama atau Tetangga
Saat penyelenggara negara/pegawai negeri bertugas ke luar daerah, yang bersangkutan bertemu dengan kawan lama dan kemudian diberi oleh-oleh berupa makanan, hiasan untuk rumah dan kerajinan lokal. Dalam kondisi demikian, apakah hal tersebut termasuk gratifikasi?
Pertanyaan
:


Apakah pemberian souvenir, makanan oleh kawan lama/tetangga termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Pada prinsipnya pemberian kepada penyelenggara negara/pegawai negeri seperti contoh di atas tidak dapat digolongkan sebagai gratifikasi yang dilarang karena hanya berdasar pada hubungan perkawanan/kekerabatan saja dan dalam jumlah yang wajar.
Pertanyaan : Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang tidak dilarang?
Jawaban : Gratifikasi seperti contoh di atas bukan termasuk gratifikasi sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Sebagaimana makhluk sosial yang hidup bermasyarakat, bertetangga dan tentunya bersosialisasi bukan berarti kita menghilangkan peran-peran dan konsekuensi sosial kemasyarakatan yang telah ada.
Namun jika pemberian tersebut terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban oleh penyelenggara negara/pegawai negeri, maka sebaiknya pemberian tersebut ditolak atau melaporkannya kepada KPK
 Pertanyaan

:

 Apa yang harus diperhatikan dalam masalah ini?
Jawaban : Perlu diwaspadai terkadang pemberian sumbangan dipergunakan sebagai kamuflase untuk motif yang bernilai negatif

[Contoh 8]
Pemberian Hadiah atau Uang Sebagai Ucapan Terima Kasih atas Jasa yang Diberikan
Seorang penyelenggara negara/pegawai negeri yang bertugas memberikan layanan publik pembuatan KTP, menerima pemberian dari pengguna layanan sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang dinilai baik. Pengguna layanan memberikan uang kepada petugas tersebut secara sukarela dan tulus hati.
Pertanyaan
:

Apakah pemberian hadiah/uang sebagai ucapan terima kasih atas jasa yang diberikan oleh instansi pelayanan publik termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Ya

Pertanyaan

:


Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Walaupun pemberian tersebut diberikan secara sukarela dan tulus hati kepada petugas layanan, tetapi pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berkaitan dengan kewajiban penyelenggara negara/pegawai negeri, karena pelayanan yang baik memang harus diberikan oleh petugas sebagai bentuk pelaksanaan tugasnya. Oleh karena itu, masyarakat berhak dan pantas untuk mendapatkan layanan yang baik.
Pertanyaan : Apa tindakan yang seharusnya petugas lakukan dalam kondisi ini?
Jawaban : Sebaiknya petugas menolak pemberian dan menjelaskan kepada pengguna layanan bahwa apa yang dilakukannya adalah bagian dari tugas dan kewajiban petugas tersebut.
Untuk pengguna layanan sebaiknya tidak memberikan uang/benda apapun sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang dia dapat, karena pelayanan yang diterima tersebut sudah selayaknya diterima. Kebiasaan memberi hadiah/uang sebagai wujud tanda terima kasih kepada petugas, akan memicu lahirnya budaya "mensyaratkan" adanya pemberian dalam setiap pelayanan publik.

[Contoh 9]
Pemberian Fasilitas Penginapan Oleh Pemda Setempat Kepada Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri Pada Saat Kunjungan Di Daerah
Penyelenggara negara/pegawai negeri diberikan fasilitas penginapan berupa mess Pemda setempat karena pada saat melakukan kunjungan di daerah terpencil, tidak ada penginapan yang dapat disewa di daerah tersebut.
Pertanyaan
:

Apakah pemberian fasilitas penginapan berupa mess Pemda kepada penyelenggara negera/pegawai negeri pada saat kunjungan di daerah terpencil termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Ya, jika atas pemberian fasilitas penginapan tersebut penyelenggara negara/pegawai negeri tidak dikenakan biaya;
Tidak, jika atas pemberian fasilitas penginapan tersebut dikompensasikan dengan biaya sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Pertanyaan : Apa yang mesti diperhatikan dalam masalah ini?
Jawaban : Seharusnya penyelenggara negara/pegawai negeri mencari tempat penginapan yang bersifat netral, tidak terdapat hubungan dengan tempat dimana penyelenggara negara/pegawai negeri melaksanakan tugasnya.
Jika menginap pada mess Pemda setempat, maka penyelenggara negara/pegawai negeri sebaiknya meminta kepada pihak pengelola mess agar diperlakukan sebagai tamu umum dan membayar sama seperti umum. Karena biasanya untuk tamu Pemda sendiri tidak dikenakan biaya.
Perlu diperhatikan jika pengelola mess bersikeras untuk menolak pembayaran penginapan dari penyelenggara negara/pegawai negeri, maka penyelenggara negara/pegawai negeri tidak boleh menggunakan anggaran biaya penginapan dari instansinya untuk kepentingan lain selain dinas. Biaya untuk penginapan tersebut wajib dikembalikan ke instansinya.

[Contoh 10]
Pemberian Sumbangan /Hadiah Pernikahan Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri Pada Saat Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri Menikahkan Anaknya
Pertanyaan
:

Apakah pemberian sumbangan pernikahan kepada penyelenggara negara/pegawai negeri yang menikahkan anaknya termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Ya, jika dalam pemberian ini terkandung vested interest dari pihak pemberi terkait dengan jabatan serta tugas dan kewajiban penyelenggara negara/pegawai negeri sebagai penerima gratifikasi.
Tidak, jika dalam pemberian ini tidak terkandung vested interest dari pihak pemberi terkait dengan jabatan serta tugas dan kewajiban penyelenggara negara/pegawai negeri sebagai penerima gratifikasi.
Pertanyaan : Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?
Jawaban : Karena dikhawatirkan dalam pemberian ini terkandung vested interest dari pihak pemberi terkait dengan jabatan serta tugas dan kewajiban penyelenggara negara/pegawai negeri sebagai penerima gratifikasi?
Pertanyaan : Apa yang mesti diperhatikan dalam masalah ini?
Jawaban : Untuk pemberian yang tidak dapat dihindari/ditolak oleh penyelenggara negara/pegawai negeri dalam suatu acara yang bersifat ada atau kebiasaan, seperti upacara pernikahan, kematian, ulang tahun ataupun serah terima jabatan, maka penyelenggara negara/pegawai negeri wajib melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak penerimaan gratifikasi tersebut.
Dalam pelaporan gratifikasi pernikahan, KPK akan meminta data-data/dokumen pendukung sebagai berikut:
1. Daftar rencana undangan;
2. Contoh undangan;
3. Daftar tamu yang hadir/buku tamu;
4. Rincian lengkap daftar sumbangan per undangan;
5. Daftar pemberian berupa karangan bunga dan natura lainnya.
Dari data-data tersebut, KPK akan melakukan analisa apakah terdapat pemberian dari orang atau pihak yang ada hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan dari penyelenggara negara/pegawai negeri tersebut. Selanjutnya KPK akan melakukan klarifikasi dan verifikasi terlebih dahulu kepada pelapor, dan dari hasil analisa dan hasil klarifikasi dan verifikasi tersebut selanjutnya akan diterbitkan SK Penetapan Status Kepemilikan Gratifikasi.

22 August, 2013

Rumput di halaman kita lebih hijau dari halaman tetangga [Litigasi]


Dalam sebuah pertempuran di pengadilan, bisa terjadi kita berada dalam posisi yang enak [menang] atau kondisi terserang [kalah]. Namun bagaimana jika kita tak mengetahui kekuatan lawan, bagaimana kondisi dan kedudukan kita sekarang ini, entah itu karena kurangnya informasi, kurangnya penguasaan kita terhadap ilmu hukum, atau kita menghadapi hal-hal baru dalam dunia pengadilan yang sama sekali tak pernah kita ketahui dan pelajari [misalkan 1 orang-pun mau menjadi saksi]. Terlebih lagi misalkan kita tak mengetahui ada atau munculnya gugatan balik [rekonvensi] dari pihak lawan.

Perumpamaan [buruk] dalam ber-litigasi dalam tulisan ini hanya sekedar menambah semangat, tekanan dalam ber-litigasi. Ini ada beberapa tips yang mungkin bisa menghibur pembaca dan sekedar menambah pengetahuan, antara lain

Tak usah dipikirin, ga usah lihat 'warung-tetangga' walau perkara hampir sama, lebih bijaksana jika kita memperkuat 'periuk' nasi kita sendiri.

Saya memodifikasi sebuah pepatah “rumput di halaman kita lebih hijau dari halaman tetangga”, maka [1] jangan lakukan hal-hal yang ga perlu dilakukan, cuma bikin bingung & buang-burang energi, sebaiknya terus pertajam diskusi positif diantara sesama rekan advokat, teruslah saling membangun. [2] Jangan buang-buang waktu & tenaga, karena perjalanan perkara masih sangat panjang. Gunakan konsep pemikiran pertarungan yang amat sangat panjang & melelahkan, karena panjang maka anda harus mempersiapkan ekstra ilmu hukum, banyak hampir sama seperti anda perlu disiapkan makanan, minuman, obat-obatan agar tak berkekurangan bagi sebuah perjalanan yang sangat panjang. Maksudnya, banyak baca dan gali terus referensi hukum yang erat kaitannya dan bermanfaat dalam penanganan perkara. [3] jangan terus menerus melihat ke arah lawan dan arena pertarungan, cari dan temukan kelemahan kita sendiri & langsung memperbaikinya, dan jangan lengah  mengawasi gerakan lawan sekecil apapun di persidangan. [4] jangan terkecoh dengan gerakan bayangan dari lawan [mungkin dari info yang kita terima, ia berada di luar-kota, terkesan ia cuek dan tak memperhatikan perkara yang terjadi], itu strategi mengecoh perhatian yang “sangat biasa dalam pertarungan”. Semakin lawan tak bersuara sesungguhnya ia panik, namun bisa jadi kita waspadai lawan akan menyiapkan 'serangan balik' atau bahkan menyerah.

Dalam ber-litigasi saya selalu menanamkan sikap & pemikiran bahwa "saya bertarung tidak untuk mengejar kemenangan, tetapi kedamaian", namun demikian saya yakin rekan-rekan memiliki profile berlitigasi yang masing-masing berbeda, dan tetap saya hormati. Jadi jika anda ingin menang bersiap-siaplah untuk terus berperang, jika anda merasa akan menang buanglah itu jauh-jauh hingga anda tidak akan merasakan adanya kemenangan.

Glory For Us : Fight For Peace, Good Bless Us.

14 August, 2013

Apakah advokat non-muslim tidak boleh beracara di Pengadilan agama?

[J] Advokat non-muslim boleh beracara di Pengadilan Agama, ini dasar
hukumnya : UU-Adokat Pasal 18 (1) Advokat dalam menjalankan tugas
profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan
jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang
sosial dan budaya. Jika si klien [muslim] dan akan mengajukan
permohonan, gugatan atau menjadi termohon atau tergugat di pengadilan
agama, maka advokat tetap boleh mewakili klien tersebut di muka
Pengadilan Agama tanpa membedakan SARA.