19 June, 2013

Sejarah Singkat Ke-Advokat-an

Sejarah ke-advokat-an di Indonesia bermula pada zaman kolonial Belanda, ketika model advokat Indonesia dengan sendirinya adalah model Advokat Belanda. Di Hindia Belanda, sampai dengan pertengahan abad ke-19 s.d. 20, semua advokat dan notaris adalah orang-orang Belanda, tidak seorangpun dari golongan asli dan cina yang terjun ke profesi ini. Pada awal dibukanya pendidikan hukum bagi orang indonesia, kesempatan ini hanya terbuka bagi kaum priyayi jawa, oleh karena pendidikan hukum dipandang sebagai persiapan untuk menjadi pegawai pemerintah.

05 June, 2013

Pengadilan Virtual Khusus Bagi Sengketa Virtual

Latar Belakang tulisan ini penulis peroleh dalam pengamatan berpraktek [litigasi] di muka pengadilan negeri Jakarta Selatan dalam perkara Nomor 514/Pdt.G/2012/PN.JKT.SEL yang telah didaftarkan pada tanggal 13 September 2012. Pada garis besarnya perkara tersebut telah diajukan sebuah Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan oleh Para Penggugat Asli yang terdiri dari 10 [sepuluh advokat] terhadap Tergugat [dalam hal ini Prof. DR. Denny Indrayana, SH yang diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan uu -11-2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik. Gugatan Para Penggugat pada intinya menggugat tindakan Tergugat yang telah membuat komentar atau menyatakan sebuah runtutan komentar melalui account twitter https://twitter.com/dennyindrayana dengan tulisan yg menggunakan atau dilengkapi hastag #AdvokatKorup dilakukan pada bulan Agustus 2012 dimana hastag tersebut tidak pernah dihapus, oleh karenanya Para Penggugat memutuskan untuk melimpahkan tindakan Tergugat untuk digguat melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam proses pemeriksaan ternyata hukum acara perdata sangat lambat memproses pemeriksaan, sehingga dibutuhkan waktu yang sangat lama karena banyaknya ketentuan hukum acara yang harus diterapkan dan berlaku dalam dunia nyata, sedangkan gugatan Para Penggugat ditujukan terhadap tindakan Tergugat dilakukan di dunia-virtual, yang bisa dilakukan dengan sangat cepat yang dalam hitungan menit dapat menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Dalam 1 [contoh] prosedur pemeriksaan perkara antara lain :
a.      Dalam pemanggilan para pihak. Karena kuasa hukum Tergugat berdomisili di wilayah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat [Cikini Raya], maka pemanggilan oleh Jurusita Pengadilan, harus dilakukan dengan cara: [i] Pemanggilan Delegasi yaitu sebuah panggilan dianggap sah apabila sudah di-delegasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat [sehingga tercipta urutan : PN-Jaksel mendelegasi PN-Pusat baru kepada Tergugat, setelah panggilan di-tandatangani oleh Tergugat, PN-Pusat mengirimkan kembali relas panggilan tersebut ke PN-Jakarta Selatan] yang untuk pemanggilan demikian dibutuhkan waktu 14 hari x 24 jam. [ii] padahal apabila panggilan tersebut dilakukan melalui Tiki [tititpan kilat] hanya memakan waktu paling lama 3 hari x 24 jam [Rp. 6.000] dan [iii] Apabila pemanggilan tersebut dilakukan via SMS hanya membutuhkan waktu maksimal 2 [dua] menit [seharga Rp. 250] ; dan  [iv] Apabila pemanggilan dilakukan melalui email, hanya membutuhkan waktu maksimal 2 [dua] menit. [v] Pemanggilan ini-pun akan harus di-ulangi sebanyak 2 [dua] kali dengan melalui point [a.i] apabila Tergugat tidak hadir dan tidak mengirimkan kuasa hukumnya untuk menghadiri persidangan
b. Demikian pula dalam antrean persidangan, yang menurut penulis sangat tidak efektif terjadinya sebuah pemeriksaan sengketa di dunia virtual harus menunggu berjam-jam di Pengadilan, yang biasanya hanya untuk : [i] Menunggu kehadiran kuasa hukum Tergugat  [ii] Menunggu lengkapnya majelis hakim, yang setelah kesemuanya lengkap persidangan baru dapat dimulai. Dapat dibayangkan betapa lama waktu menunggu persidangan setelah sekian jam menanti namun berakhir hanya untuk mendengar keputusan Majelis Hakim untuk menunda sidang selama 7 [tujuh] sampai 14 [empat belas] hari.
Dengan memperhatikan asas persidangan yang cepat, sederhana dan biaya murah, sesungguhnya penerapan persidangan berdasarkan hukum acara [perdata] secara konvensional di Pengadilan Negeri, akan menjadi sangat lambat, rumit dan biaya mahal, khususnya bagi sengketa yang terjadi dalam dunia virtual.  Dalam perkara jenis ini, sebaiknya pengadilan negeri berani menerapkan prosedur pengadilan virtual [cyber-court]. Kalaupun masih banyak kecemasan disana-sini karena ketidak-siapan Pengadilan maupun petugas pengadilan, untuk menerapkan pengadilan secara vitual, hal ini dapat dilakukan sebagian [tidak menyeluruh] yaitu dalam hal atau tahapan sidang tertentu seperti menyampaikan dokumen hukum [gugatan, jawaban, replik, duplik] dalam bentuk dokumen-elektronik, bisa dibuat dalam bentuk buku-elektronik [e-book] dan dipertukarkan kepada para pihak melalui email internet, bahkan apabila mengikuti persidangan yang terbuka umum, dokumen elektronik tersebut dapat pula langsung di-akses publik melalui internet.
Demikian pula dalam memanggil para pihak, karena panggilan pengadilan terbuka untuk umum, maka sangat logis apabila pemanggilan tersebut dilakukan secara virtual, yang bisa dilakukan dengan cara praktis seperti mengirimkan langsung ke alamat email Tergugat [asli], Penggugat [asli] maupun para kuasa hukum Penggugat dan Tergugat. Sehingga akan sangat aneh bahkan terkesan primitif, apabila para pihak yang dipanggil tidak mampu menunjukan batang-hidungnya di pengadilan tanpa berita sama-sekali bahkan terkesan sengaja melalaikan panggilan dimaksud di-era teknologi seperti sekarang ini.
Semangat penulisan ini bukan bermaksud membuktikan atau memojokkan peradilan negeri yang lambat, rumit dan berbiaya mahal. Namun ajakan membangun untuk maju agar para praktisi hukum turut serta mengimbangi perkembangan teknologi yang sudah semakin pesat, penerapan hukum dalam praktek tidak tertinggal jauh dibelakang perkembangan dunia bisnis dan teknologi. Mengapa hal ini perlu disampaikan? karena para pebisnis saat ini dalam melakukan usahanya akan sangat cepat! mereka bebas memutuskan untuk menggunakan serta memilih teknologi secara netral, bahkan dapat dilakukan menembus lintas batas kedaulatan negara, sehingga dalam menggunakan jasa advokat-pun mereka menuntut kecepatan kerja dan pemanfaatan teknologi yang berimbang dan tidak  dilakukan secara konvensional melulu. Maksudnya, para pebisnis [atau-pun orang-orang yang sudah terbiasa menggunakan teknologi] apabila kemudian melimpahkan perkaranya ke pengadilan [termaksud Advokat selaku kuasa hukumnya] akan menuntut Pengadilan untuk mengimbangi kecepatan kerja dapat diterapkan melalui pemanfaatan teknologi. Dapatlah dibayangkan kerugian para pencari keadilan, apabila 
[i] Pengadilan Negeri menerapkan hukum acara secara konvensional, sementara data-dokumen-hukum dalam bentuk elektronik tersebar di berbagai propinsi [bahkan] di berbagai negara yang sudah tentu penyebaran data ini melewati kompetensi kewenangan Pengadilan untuk mengadili, atau 
[ii] Pengadilan Negeri memanggil para pihak secara konvensional yang dalam praktek pemanggilan dapat dilakukan maksimum 30 [tiga puluh] hari sejak gugatan didaftarkan. Dapatlah dibayangkan dalam jangka waktu tersebut, bisa jadi tergugat sudah menghapus seluruh barang bukti yang tersebar secara elektronik yang mengakibatkan bukti tersebut hilang dan sulit dipanggil kembali.
Penutup : berdasarkan pengamatan dan pendapat diatas, tulisan ini semoga bisa menjadi perubahan dan keterbukaan berfikir Pengadilan Negeri agar secara berani dan bijaksana menerapkan Pengadilan Virtual atau Semi Virtual khusus terhadap sengketa yang tercipta karena adanya interaksi di internet, seiring dengan perkembangan teknologi yang sudah marak saat ini, demi mempertahankan sistem pemeriksaan pengadilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, dan bukan sebaliknya.