30 April, 2013

Internet Mengubah Pradigma Advokat : Orasi-Hukum Menjadi Petisi On-line


Dengan berkembangnya teknologi informatika sekarang ini, harus kita [advokat] akui bahwa perkembangan teknologi sangat mempengaruhi bahkan mengubah pola interaksi dalam profesi advokat saat ini bisa disebut dengan Era Cyber sekarang ini.
Dahulu mungkin pengguna internet di kalangan sarjana hukum apalagi advokat masih sangat langka, banyak yang menganggap bahwa internet, computer, pc, laptop hanya sebagai alat bantu bekerja pengganti mesin tik manual. Fakta keterbelakangan pemanfaatan teknologi ini dapat dilihat dari banyak sarjana hukum / advokat  pada saat itu mengalami keterbelakangan teknologi [langsung segan menggunakan peralatan elektronik dan men-tjap dirinya gaptek]. Berbeda dengan sekarang, sudah banyak advokat yang menggunakan gadget, biasa berdiskusi dan mengambil suatu masukan, keputusan, membuat opini bahkan membuat petisi sekali-pun melalui internet atau dengan memanfaatkan data elektronik dan tak sedikit advokat yang menggunakan perlengkapan elektronik yang mahal dan canggih J
Dulu sebelum lahirnya uu-advokat dan sebelum internet marak di Indonesia, banyak kritikan yang disampaikan oleh pengacara melalui orasi, demonstrasi atau penyebaran-luasan selebaran hukum dengan maksud agar kiritikan dan pesan-hukum tersebut bisa mempengaruhi publik maupun para penguasa pengambil keputusan. Melalui sebuah orasi Advokat harus berteriak lantang dan tegas, untuk memperlihatkan kewibawaan dan keseriusan misi yang ingin dicapai secara idealis. Walau kebiasaan ini masih kebablasan sehingga seorang advokat harus berteriak keras dengan menggunakan pengeras suara, padahal ia berteriak didalam sebuah seminar di ruangan tertutup [semoga dengan adanya perkembangan teknologi kebablasan ini tidak berlanjut dan berulang].
Berbeda dengan sekarang! advokat untuk mencapai tujuannya misalkan ingin menyampaikan suatu kritikan dan pernyataan, bisa melakukan dengan membuat petisi secara elektronik, ga perlu lagi menyampaikan dengan mengumpulkan ribuan advokat + masyarakat dan berteriak-teriak dihadapan publik, yang tentu sangat melelahkan. Disinilah teknologi informatika telah mengubah pradigma komunikasi advokat kepada publik sebagaimana tabel dibawah ini :

Perubahan Pradigma Komunikasi Dengan Memanfaatkan Perkembangan Teknologi dan Internet [data elektronik]
Sebelum Terjadi Perubahan
Sesudah Terjadi Perubahan
Sebuah pernyataan / kritikan atau ketidak setujuan terhadap suatu hal, dibuat secara manual, misalkan sebuah ide dibuat dalam bentuk foto-copy kertas, dan didistribusikan secara manual.
Sebuah pernyataan / kritikan atau ketidak setujuan terhadap suatu hal, dibuat secara elektronik, misalkan sebuah ide dituangkan dalam format *.doc atau *.pdf dan didistribusikan secara manual misalkan melalui email, sms, jejaring sosial.
Penyampaian ide agar dimengerti dan disetujui oleh publik disampaikan konfensional dengan cara berpidato, melakukan orasi di muka publik di tempat terbuka. Semakin sering orasi dilakuan maka semakin besar kemungkinan simpati publik diperoleh.
Penyampaian ide agar dimengerti dan disetujui oleh publik disampaikan secara elektronik, dilakukan di cyber-space, dan si-pembaca cukup meng-klik SETUJU atau melewatkan apabila tidak setuju. Semakin banyak data elektronik itu tersebar maka semakin besar kemungkinan simpati publik akan diperoleh secara elektronik.

Perubahan pradigma komunikasi dalam profesi advokat di era cyber sekarang, kami kaitkan dengan seminar yang diselenggarakan PERADI pada tanggal 3 April 2013 mengenai “Revisi Undang-Undang Advokat, Suatu Kemajuan ataukah Kemunduran?
Dengan memanfaatkan perubahanami perubahan in, bersama 10 Advokat lain http://goo.gl/jBeyR pasca seminar tersebut  kami menggagas membuat PETISI-Advokat untuk MENOLAK Rancanan Undang-Undang dimaksud!, dimana petisi ini rekan-rekan dapat kunjungi melalui link http://goo.gl/iBUU4 dan selanjutnya meng-klik tombol ‘menandatangani’.
Soft-Copy Seminar PERADI 3 April 2013 dapat di download melalui http://goo.gl/M3o32 dan melalui link ini  http://goo.gl/aY0k9
Petisi ini sekaligus pula menjadi bukti Perubahan pradigma komunikasi yang dilakukan oleh Advokat, yang dahulu biasa dillakukan melalui orasi-hukum namun saat ini dapat dilaksanakan melalui petisi-online, petisi ini dapat pula diakses dari berbagai belahan dunia apabila rekan-rekan berkenan mempublikasikan kembali, terimakasih.
Kritisi & saran positif silahkan disampaikan melalui rgsimanjuntak@gmail.com

Semoga bermanfaat & salam sejahtera.
Robaga Gautama Simanjuntak, SH. MH

29 April, 2013

Daftar Singkatan yang biasa dipakai dalam praktek hukum

Daftar Singkatan yang biasa dipakai dalam praktek hukum
oleh Advokat Rgs Mitra (Catatan) pada 22 Desember 2010 pukul 11:23


AB : Algemene Bepalingen van Wetgeving
AMvB : Algemene Maatreegel van Bestuur
KUHPid / KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHD : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
KUHPdt : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
LN : Lembaran Negara
Mahmil : Mahkamah Militer
Mahmilti : Mahkamah Militer Tinggi
Mahmilgung : Mahkamah Militer Agung
M.A. : Mahkamah Agung
P.A. : Pengadilan Agama
P.N. : Pengadilan Negeri
P.T. : Pengadilan Tinggi
PTA / PT Agama : Pengadilan Tinggi Agama
Perma : Peraturan Mahkamah Agung
RIS : Republik Indonesia Serikat
R.O. : Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie
in Indonesia
YMA : Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
WvK : Wetboek van Koophandel

[mohon maaf, apabila kurang lengkap atau ada kesalahan penulisan]

26 April, 2013

Hal Penting Sebelum Posting di Twitter

Perhatikan 3 Hal Sebelum Posting Status Untuk Twitter-an Aman

Lia Harahap - detikNews | Jakarta - Kehadiran jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter tak selamanya mendatangkan nilai positif. Ada kalanya sebagian orang merasa dirugikan dengan update tweet seseorang seperti yang terjadi pada anggota DPR Komisi VI dari Fraksi Gerindra, Noura Dian Hartarony. Menurut pengamat social media, Enda Nasution, ada etika yang harus diperhatikan para tweeps sebelum memposting sesuatu. "Ada tiga hal yang wajib kita perhatikan, yaitu seberapa perlu, seberapa penting dan seberapa besar dampaknya, apakah menyakiti orang lain atau tidak," ujar Enda saat berbincang dengan detikcom, Jumat (13/5/2011). Enda mengatakan, tiga hal penting itu sering diabaikan oleh para pengguna media sosial. Alhasil, objek yang tidak terima dengan status tersebut sering merasa difitnah dan berujung di kepolisian.
"Karena dalam berkomunikasi ada aturan baik secara moral, norma dan agama. Dan sensitivitas inilah yang perlu dilatih untuk kepentingan orang lain, baik orang yang dikabarkan maupun kita sendiri," sambungnya. Sebahaya apakah sebenarnya Twitter jika dibandingkan dengan Facebook? "Saya kira sama saja, tergantung dimanfaatkan bagaimana. Kalau informasi yang diberitakan itu tidak benar ya pastinya akan merugikan orang lain. Tapi, media ini kecepatannya memang lebih powerfull,". Enda menyarankan, sebaiknya orang-orang yang berhadapan dengan kasus seperti Noura menyelesaikannya secara kekeluargaan. Tapi sekali lagi Enda menegaskan agar prinsip-prisip menjaga dan menghargai privasi orang lain lebih diutamakan. "Jadi, satu yang perlu kita sadari bahwa media itu bukan media private, itu media yang bisa dibaca orang banyak. Apapun yang kita omongkan bisa jadi konsumsi publik yang bisa menimbulkan risiko. Jadi kalau kita kenal dengan orangnya, katakan saja off the tweet jika kita tidak setuju," pesan Enda. "Tapi jika memang benar-benar apa yang ingin kita katakan tidak telihat oleh orang lain, maka bloklah akun Anda dari orang-rang tidak dekat," imbuhnya. Sebelumnya, Noura tidak terima dirinya dituding mabuk dan berjoget di bar seperti yang dimuat dalam tweet Kartika Djoemadi dengan akun @deedee2104 yang diposting pada 6 Mei 2011. Noura lantas melaporkan Kartika ke Polda Metro Jaya pada Kamis (12/5) malam.


Simple Opini : Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi & transaksi elektronik atau UU-ITE.
Pasal 2 UU-ITE mengatur secara teas bahwa undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum [misalnya membuat komentar di twitter] sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
Pasal 3 : Pemanfaatan Teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Sebagai saran : setiap orang Indonesia dalam pemanfaatan teknologi informasi dan internet harus memperhatikan ketentuan pasal 2 dan pasal 3 maupun isi UU-ITE secara menyeluruh, terutama untuk penerapan agar :
  1. hindari adanya kerugian bagi orang lain
  2. perhatikan hukum agar tercipta kepastian hukum
  3. pemanfaatan internet yang sehat benar dan baik
  4. dalam penggunaannya dilandasi maksud-maksud baik
  5. anda bebas memilih bentuk teknologi apapun dan netral
Robaga Gautama Simanjuntak, SH. MH

produk-produk kantor advokat rgs & mitra





25 April, 2013

Mengapa Facebook dan Twitter Belum Mempunyai Badan Hukum di Indonesia?

Mengapa Facebook dan Twitter Belum Mempunyai Badan Hukum di Indonesia?

RGS : Jangan salahkan HIR produk buatan zaman belanda untuk berperkara
dalam perkara perdata, masih coba diterapkan paksa ke cyber-case era 3G.

Mengapa Facebook dan Twitter Belum Mempunyai Badan Hukum di Indonesia?
OPINI | 03 December 2012 | 11:05 Dibaca: 300
Kesimpulannya : bapak Dewa Broto, dia bilang tidak perlu. Katanya karena
FB bukan pusat data dan karena memang belum ada aturan

Indonesia adalah pengguna Facebook no.3 terbesar di dunia, dan no.5
untuk penggunaan Twitter. Ada 43,06 juta pengguna Facebook di Indonesia,
sementara Twitter mencapai 19,5 juta orang (sumber: Keminfo). Dengan
pengguna sebanyak ini, tidak heran Indonesia adalah pasar yang sangat
menjanjikan bagi kedua jejaring media sosial tersebut. Dan sering kita
juga bisa melihat banyaknya iklan yang berseliweran disini. Lebih lebih
lagi, dengan pengguna yang terus berkibar, saham kedua usaha ini tentu
akan semakin naik. Tetapi mengapa kedua jejaring ini tidak memiliki
badan hukum di Indonesia? Bagaimana jika terjadi kejahatan yang
menggunakan kedua media ini? Apakah FB dan Twitter bisa dipanggil
sebagai bentuk pertanggung jawaban? Dan apakah keuntungan dari 'bisnis'
ini tidak masuk sebagai pajak ke negara? Jika ditilik, Indonesia pernah
beberapa kali kecolongan masuknya perusahaan asing beroperasi di
Indonesia tanpa mempunyai badan hukum. Contohnya adalah Visa, dimana
kontraknya langsung ke bank bersangkutan. Setelah bertahun tahun
menangguk keuntungan dari rakyat Indonesia, akhirnya BI memberlakukan
kewajiban bagi Visa agar membuat badan usaha di Indonesia. Dan tentu
keuntungan Visa dari nasabah Indonesia juga bisa masuk sebagai pajak ke
negara. Kasus Blackberry juga dapat menjadi contoh. BB juga tidak
mempunyai badan hukum di Indonesia, karena langsung berhubungan dengan
provider telekomunikasi. Padahal, selain masalah pajak, banyak juga
komplain konsumen atas buruknya pelayanan BB, yang sulit untuk
disampaikan langsung ke pihak BB nya yang jauh di Canada sana. Sekarang,
setelah BB mempunyai badan hukum di Indonesia, tentu komplain bisa
disampaikan secara langsung. Disamping, negara juga bisa mendapatkan
pajak dari keuntungan penggunaan BB di Indonesia. Kemudian, Google dan
Yahoo saja juga sudah mempunyai badan hukum Indonesia. Jadi, mengapa FB
dan Twitter tidak ada? Sayang, ketika bertanya ke humas Kominfo, bapak
Dewa Broto, dia bilang tidak perlu. Katanya karena FB bukan pusat data
dan karena memang belum ada aturan. Hal ini sangat merugikan pengguna FB
maupun negara. Hingga sekarang, kejahatan semakin marak dengan
menggunakan FB ataupun Twitter tersebut. Dan hanya pengelola FB dan
Twitter yang bisa melacak data pelaku kejahatan tersebut. Dan potensi
pajak juga bisa menguap begitu saja. Keminfo tidak menjelaskan lebih
lanjut, mengapa mereka tidak mewajibkan FB dan Twitter membuka badan
hukum di Indonesia. Nah, kalau soal belum ada aturan, bukankah ini
kewajiban mereka membuat aturannya? Ya Sudah, Salam Kompasiana!

Sumber :
http://teknologi.kompasiana.com/internet/2012/12/03/mengapa-facebook-dan-twitter-belum-mempunyai-badan-hukum-di-indonesia--507964.html

Twitter Blokir Akses ke Grup Neo-Nazi Jerman

Twitter Blokir Akses ke Grup Neo-Nazi Jerman
Kamis, 18 Oktober 2012, 23:25 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Twitter pada Kamis (18/10) mengatakan menutup akun di suatu negara untuk pertama kali, setelah polisi Jerman meminta laman "micro-blogging" itu membatasi akses ke akun miliki kelompok neo-Nazi. "Kami mengumumkan kemampuan menahan konten pada Jan (Januari)," kata Kepala Pengacara Twitter Alex Macgillivray dalam pesan ditayangkan di laman itu. "Kami menggunakan kemampuan itu sekarang untuk pertamanya re: kelompok yang dianggap ilegal di Jerman." Dalam kicauan terpisah, Macgillivray memasang "link" ke pesan dari polisi di negara bagian Jerman utara Lower Saxony yang meminta Twitter untuk memblokir akun Besseres Hannover, kelompok sayap kanan jauh yang dilarang bulan lalu. Akun tersebut masih terlihat di Twitter dengan nama @hannoverticker dan menyebut dirinya "portal informasi nasional dari Hanover". Tapi tidak ada pesan yang terlihat di Jerman sejak tanggal larangan diberlakukan yaitu 25 September. Laman kelompok itu juga telah diblokir atau dihapus. Jaksa di Lower Saxony telah meluncurkan penyelidikan terhadap sekitar 20 anggota dari Besseres Hannover atas tuduhan menghasut kebencian rasial dan menciptakan organisasi kriminal. Kelompok ini terutama diduga mengirimkan video ancaman kepada Menteri Sosial Aygul Ozkan, yang merupakan keturunan Turki, demikian AFP. Redaktur : Yudha Manggala P Putra Sumber : Antara
http://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/12/10/18/mc3kax-twitter-blokir-akses-ke-grup-neonazi-jerman#

24 April, 2013

Hukum Berdebat

Hukum Dalam Berdebat Perdebatan hukum bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, dan bisa jadi perdebatan itu tidak terjadi dalam bentuk tatap muka atau berhadapan. Kebanyakan perdebatan hukum berlangsung diatas kertas atau dokumen hukum yang diajukan kehadapan hakim di Pengadilan, misalkan perdebatan yang terjadi diantara para pihak satu sama lain, dalam sebuah perkara, yang sangat efektif dilakukan menuju terbitnya putusan majelis hakim pada sebuah pengadilan. Perdebatan hukum termaksud pula namun tidak terbatas dalam hal-hal sebagai berikut : Perdebatan yang terjadi diantara akademisi hukum, perdebatan jenis ini dimungkinkan terjadi secara tatap muka dalam sebuah konferensi, misalkan perdebatan di sebuah area terbuka fakultas hukum [walau ini masih jarang terjadi]. Misalkan seorang profesor hukum membuat sebuah artikel dalam ulasan hukum, kepada seorang Profesor hukum lain, yang memberikan opini lain, atau permasalahan hukum lain yang lebih luas. Perdebatan antar polisi, perdebatan umum dalam masyarakat, misalkan yang mempermasalahkan mengenai ketimpangan / ketidak-adilan sebuah tatanan hukum. Perdebatan dapat pula terjadi dalam jaringan sosial atau di cyber-space [dunia maya] baik yang disampiakan melalui sebuah status dan tindakan saling mengomentari yang berkepanjangan.


20 April, 2013

Hukum : Tidak Tertib

Satjipto Raharjo: di dunia ini hampir tidak ada hukum yang berkerja dalam hubungan yang sama sekali tertib, mungkin hanya 1 atau 2 negara saja yang mendekati ketertiban, selebihnya hukum harus bekerja dalam suasana tidak tertib. Hukum dan ketidaktertiban tidak saling meniadakan begitu saja, harus kita akui bahwa masyarakat senantiasa menerima suatu toleransi dalam penegakan hukum, artinya penegakan hukum "berkompromi dengan keadaan tidak tertib di masyarakat".



19 April, 2013

Apa Itu Blog


Mengenal Apa Itu Blog

Pernahkah anda mendengar kata blog?

Mungkin anda pernah mendengarnya, entah itu di sekolah, teman, atau di lain tempat.

Namun, apakah anda tahu apa itu blog?

Apakah blog sejenis makhluk?

Atau blog adalah sejenis makanan?

Jawabannya adalah bukan.

Karena itu, disini saya akan sedikit bercerita, apa itu blog?

Mungkin beberapa dari pembaca tahu apa itu blog. Blog bisa diartikan banyak macam. Karena blog sejatinya tidak hanya berungsi untuk satu manfaat saja. Terdapat beberapa definisi mengenai blog.

Blog adalah sebuah website yang dibentuk hingga sedemikian rupa untuk mudah digunakan tanpa bisa coding. Blog adalah sebuah sarana untuk menceritakan sebuah cerita, mencari uang, catatan, atau belajar, juga sebagai sarana yang bisa mengungkapkan pemikiran anda dan anda bisa menuliskan apa saja disitu. Itu beberapa pengertian blog. Lalu, bagaimana kita bisa mendapatkan blog?

Ada banyak cara agar kita bisa mendapatkan blog. Beberapa cara ada yang bisa kita dapatkan dengan gratis. Beberapa layanan online yang bisa anda manfaatkan untuk mendapatkan blog gratis bermacam-macam, antara lain :

Blogger : Blogger atau Blogspot adalah salah satu layanan blog gratis yang paling populer saat ini untuk digunakan dalam berbagai bentuk kebutuhan apapun, entah untuk pribadi, bisnis, perusahaan, dan hal keperluan lain. Untuk mendapatkannya, anda hanya butuh satu buah alamat email, disini  anda bisa mendapatkan beberapa blog dalam satu akun tanpa membuat akun baru.

WordPress : WordPress juga merupakan layanan blog gratis yang dapat anda gunakan untuk membuat secara gratis. Tampilan dari WordPress lebih elegan dibanding Blogspot. Anda bisa mendapatkan blog wordpress dengan mendaftar di wordpress.org yang bisa anda dapatkan gratis.

Blogdetik : Blogdetik adalah layanan blog gratis yang berasal dari Indonesia. Blogdetik sendiri sebenarnya memakai engine wordpress. Namun, kelebihan dari Blogdetik adalah terdapat layanan tambahan seperti forum atau yang lainnya. Selain itu, jika anda memiliki blog di Blogdetik ini, jika tulisan anda bagus, tulisan anda bisa mempunyai kesempatan untuk menjadi trending topic di hamana utama Blogdetik, si-pegunjung anda akan menjadi semakin banyak.

Bravejournal : Bravejournal berbasis di luar negeri. Layanan ini juga bisa anda pakai dengan gratis dengan mendatar di web resminya. Namun kekurangan dari engine blog ini terdapat [muncul] iklan pada blog yang akan anda tampilkan nantinya. Jadi, anda tidak disarankan untuk mendatar di Bravejournal. Tetapi, anda bias mencoba untuk menambah pengetahuan.

Demikian, beberapa penjelasan & pengertian blog yang singkat. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda. Sehingga, anda bisa mempelajari dan berlatih lebih lanjut untuk membuat blog.
Sumber : http://goo.gl/Fuzqr



15 April, 2013

Yurisdiksi di Internet / Cyber Space


Yurisdiksi di Internet / Cyber Space
Media Hukum/Vol.IX/No2/April-Juni/ 2009 | No ISSN 1411-3759
Kemajuan di bidang teknologi informasi diharapkan memberi manfaat yang seluas-luasnya bagi manusia. Namun demikian, muncul dapat pula berbagai jenis tindakan perbuatan melawan hukum atau tindak kejahatan dengan memanfaatkan kemajuan yang terjadi saat ini. Internet, sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi, memungkinkan para pemakainya melewati batas yurisdiksi negara masing-masing.
Masalah yurisdiksi di internet erat kaitannya dengan masalah penegakan hukum tiap-tiap negara. Sebagai dunia tanpa batas, penerapan yurisdiksi di internet bukan hal yang mudah. Perlu ada kepastian mengenai hukum yang akan diterapkan di dunia tanpa batas tersebut. Yurisdiksi suatu negara sebagaimana kita ketahui selama ini, dapat dikembangkan dan dipergunakan di dunia tanpa batas.
I. PENDAHULUAN
Teknologi informasi saat ini sudah bersifat global, terutama dengan digunakannya internet. Globalisasi yang timbul sudah menyatu dengan berbagai aspek kehidupan, baik di bidang sosial, iptek,kebudayaan, ekonomi dan nilai-nilai budaya lain. Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi banyak mempengaruhi berbagai jenis kejahatan yang ada, dan dimungkinkan muncul jenis kejahatan baru seiring dengan perkembangan yang timbul. Berbagai jenis perbuatan melawan hukum maupun kejahatan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai alat, termasuk dengan menggunakan kemajuan di bidang teknologi informasi, baik melalui internet maupun pesawat selular (handphone). Internet merupakan suatu dunia maya, dengan kata lain dunia tanpa batas (borderless). Melalui internet dapat menjelajah berbagai situs yang ada, melewati batas suatu negara. Apabila kita berbicara tentang batas suatu negara, hal tersebut langsung berhubungan dengan yurisdiksi negara tersebut, yaitu mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan hukum diwilayahnya. Dengan terjadinya kemajuan teknologi serta dimungkinkannya muncul perbuatan melawan hukum atau kejahatan di internet, maka timbul pula pertanyaan, bagaimana menentukan yurisdiksi pengadilan terhadap sengketa / konflik yang tercipta / terjadi di Internet?
Definisi jurisdiksi secara universal, adalah jurisdiction of the authority of a state to affect legal interests. Menurut Black’s Law Dictionary, jurisdiction :
a)      The word is a term of large and comprehensive import, and embraces every kind of judicial action;
b)      it is the authority by which courts and judicial officers take cognizance of and decide cases;
c)       the legal right by which judges exercise their authority;
d)      it exists when courts has cognizances of class of cases involved, proper parties are present, and point to be decided is within powers of court;
e)      the right of power of a court to adjudicate concerning the subject matter in a given case.
Dalam Encyclopedy International Law, disebutkan Five general principles on which jurisdiction, and particularly criminal jurisdiction, may be based have been put forward [Encyclopedia International Law, halaman 136] :

1.       The territorial principle;
2.       The nationality principle;
3.       The passive personality principle;
4.       The protective principle;
5.       The universality principle.
The first two principles apply equally to civil and criminal jurisdiction, the last three to criminal jurisdiction.
a)      Prinsip teritorial;
b)      Prinsip kebangsaan;
c)       Prinsip kepribadian pasif;
d)      Prinsip pelindung;
e)      Prinsip universalitas.
Dua prinsip berlaku untuk hukum perdata dan pidana, tiga terakhir untuk yurisdiksi pidana
Masaki Hamano dalam The Principles of Jurisdiction [Masaki Hamano, The Principles of Jurisdiction, tersedia pada “jurisdiction on Cyberspace”] mengatakan  as a general term, jurisdiction refers to “A government’s general power to exercise authority over all persons and things within its territory,” “a court’s power to decide a case or issue a decree,” or “ A geographic area within which political or judicial authority may be exercised.”
Kemajuan teknologi informasi yang demikian cepat selalu menimbulkan suatu permasalahan terutama di bidang hukum dan di satu sisi hukum seringkali tertinggal jauh di banding dengan kemajuan teknologi. Komunitas sosial [social community] yang ada dan telah terbentuk, serta berjalan dengan adanya perkembangan teknologi informasi juga akan mengalami perubahan di berbagai aspek. Dengan menggunakan internet muncul pula komunitas masyarakat yang berbeda dengan yang sudah ada selama ini, komunitas masyarakat internet dapat pula disebut sebagai “cybercommunity”. Untuk pembahasan mengenai cybercommunity , dapat dilihat artikel Juliet M. Oberding [Juliet M. Oberding, A Separate Jurisdiction For Cyberspace?, tersedia pada http://www.oberding.com/-juliet/resources.html], yang membahas cybercommunity untuk lebih memahami jurisdiksi di internet, sebagai berikut : Can the Internet be defined as a community ? A community has been defined as : “…a set of persons involved in stable patterns of communication. Communities vary widely in the range of their interactions, the capacity of their networks, and the links between information and material exchanges” (Mandelbaum, 1982). Communities are also distinguished by lively interaction and engagement on issues of mutual concerns and the well-being of communities contributes to the well-being of the commonwealth (Schuler, 1994). Such communities have their share of the ills of society: jealously, gossip and anger (Rheingold, 1993). Communities also create and enforce shared norms and values. Network communities can be caring groups in which members share personal triumphs and tragedies. Proffessor Henry Perritt (1993) noted that : “ An important part of the definition of a community is the method through which it expresses obligation and enforces compliance. Rights and responsibilities are defined by customs as well as by formal law. Quaker meetings, corporations and municipalities have distinctly different arrangements for making rules, determining instances of noncompliance and imposing punishment.”
Memperhatikan berbagai perkembangan yang terjadi, dapat dikatakan internet adalah suatu sistem jaringan yang terdiri dari berbagai macam komunitas, sehingga peserta atau anggota komunitas dapat membuat dan mendefinisikan hukum yang tepat untuk komunitas mereka (we assert that the Internet is clearly a networked system of many communities. Within individual cybercommunities, participants can create and define law applicable to their community).
Komunitas masyarakat internet yang tanpa batas (borderless) menimbulkan masalah dalam hal jurisdiksi. Dikemukakan oleh Masaki Hamano : The term “cyber-jurisdiction “ is often used to refer to the system operators or users power to establish rules and enforce them in a community set up in cyberspace , or virtual space in the virtual world which is perceived as a place on the Internet and is independet from government regulations.” Masaki Hamano menggunakan 3 jenis yurisdiksi tradisional , untuk menganalisa permasalahan dalam cyberjurisdiction.
Darrel Menthe dalam “Jurisdiction In Cyberspace : A Theory of International Spaces” menyebutkan suatu wilayah teritorial yang menggunakan hukum internasional dan disebutnya “international space” (ruang internasional), saat ini ada 3 [tiga] macam ruang internasional yaitu :
1.       Antartica,
2.       angkasa luar, dan
3.       lautan luas.
Dalam dunia cyber, jurisdiksi mengesampingkan masalah konsep untuk pengadilan domestik dan pengadilan asing yang serupa. Tidak seperti jurisdiksi tradisional yang melibatkan dua, atau tiga jurisdiksi yang bertentangan satu sama lain, maka hukum yang dapat diterapkan terhadap homepage adalah hukum secara keseluruhan. Sama seperti Masaki Hamano, Darrel Menthe juga membedakan tiga jenis jurisdiksi yang diakui secara internasional, yaitu
1.       jurisdiction to prescribe (jurisdiksi legislatif/jurisdiksi formulatif)
2.       jurisdiction to adjudicate (jurisdiksi aplikatif/ jurisdiksi yudikatif) , dan
3.       jurisdiction to enforce (jurisdiksi eksekutif).
Tentang masalah jurisdiksi di internet, Darrel Menthe mengemukakan suatu teori bahwa selama berinteraksi di dunia cyber ada dua hal utama yaitu
1.       memberikan informasi ke dalam dunia cyber dan
2.       mengambil informasi keluar dari dunia cyber.
Dalam hal ini ada dua peran yang berbeda secara nyata yaitu the uploader yang memberi informasi ke dalam dunia cyber dan the downloader sebagai pengambil informasi di kemudian hari, dengan tidak memperhatikan identitas keduanya (baik the uploader maupun the downloader). Teori yang dikemukakan oleh Darrel Menthe ini disebut sebagai The Theory of the Uploader and the Downloader.
David R. Johnson dan David G.Post dalam artikel berjudul “And How Should the Internet Be Governed?” mengemukakan 4 model, yaitu :  
1.       Pelaksanaan kontrol dilakukan oleh badan-badan pengadilan yang saat ini ada (the existing judicial forums)
2.       Penguasa Nasional melakukan kesepakatan internasional mengenai “the governance of Cyberspace”.
3.       Pembentukan suatu organisasi internasional baru (A New International Organization) yang secara khusus menangani masalah-masalah di dunia internet
4.       Pemerintah / pengaturan tersendiri (self-governance) oleh para pengguna internet.
Johnson dan Post berpendapat bahwa penerapan prinsip-prinsip tradisional dari “Due Process and personal jurisdiction” tidak sesuai dan mengacaukan apabila diterapkan pada cyberspace. Menurut Johnson dan Post, cyberspace harus diperlakukan sebagai suatu ruang yang terpisah dari dunia nyata dengan menerapkan hukum yang berbeda untuk cyberspace (cyberspace should be treated as a separate “space” from the “real world” by applying distinct law to cyberspace).
Menurut Christopher Doran, pandangan Johnson dan Post mengenai tidak dapat diterapkanya jurisdiksi personal terhadap para terdakwa internet, bukanlah pandangan yang menonjol/berpengaruh. Masaki Hamano juga menyatakan bahwa ide Johnson dan Post tidak terwujud dalam kenyataan. Menurut Masaki Hamano, sekalipun banyak kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan dunia cyber, namun pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat telah menerima pendekatan tradisional terjadap sengketa jurisdiksi cyberspace daripada membuat seperangkat peraturan baru yang lengkap mengenai cyberlaw.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa sistem hukum dan jurisdiksi nasional/teritorial memang mempunyai keterbatasan karena tidaklah mudah menjangkau pelaku tindak pidana di ruang cyber yang tidak berbatas. Namun tidak berarti ruang cyber dibiarkan bebas tanpa hukum. Ruang cyber merupakan bagian atau perluasan dari “lingkungan” (“environment”) dan “lingkungan hidup” (“life environment”) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya; jadi merupakan suatu “kepentingan hukum” yang harus dilindungi. Oleh karena itu, jurisdiksi legislatif atau “jurisdiction to prescribe” , tetap dapat dan harus difungsikan untuk menanggulangi “cybercrime” yang merupakan dimensi baru dari ”environmental crime”.
Henry Perrits berpendapat, bahwa masalah yurisdiksi berkaitan dengan kedaulatan negara (sovereignity), dan didukung pula oleh Joel P. Trachtman dengan penekanan pada masalah insititusi yang berkompeten. Latar belakang teori yang diajukan oleh Tracthman karena munculnya institusi ekonomi dan hukum, dan institusi ekonomi itu sendiri, yang kemudian hubungan antara keduanya adalah sebagai batas teknik produksi dan batas produksi secara struktural. Menurut Perrits , dunia mayantara (cyberspace) adalah sebagai wilayah kedaulatan yang dilindungi (sovereignity-preserving), selanjutnya oleh Trachtman dikatakan sebagai kedaulatan untuk bertindak secara khusus (sovereignity-demeaning), sehingga dunia mayantara (cyberspace) sekarang ini menjadi perdebatan dalam kekuasaan suatu negara. Yurisdiksi yang sebenarnya dalam dunia mayantara akan menimbulkan lebih banyak keadaan dengan efek/dampak dirasakan oleh banyak wilayah pada saat yang bersamaan.
Masalah yurisdiksi yang timbul lebih banyak sebagai yurisdiksi horisontal, artinya negara manakah yang berhak untuk memutuskan atau melaksanakan yurisidiksi di dunia mayantara (cyberspace); hal ini muncul karena sulitnya untuk menetapkan diwilayah mana dunia mayantara (cyberspace) dapat dikenai jurisdiksi.
Trachtman mengajukan dua pandangan tentang masalah yurisdiksi,
1.       pertama bahwa masalah dunia mayantara tidak dapat ditempatkan dalam satu wilayah teritorial negara manapun dengan asumsi bahwa wilayah teritorial sebagai dasar yurisdiksi
2.       pandangan kedua didasarkan pada keadaan mendasar tentang pemerintahan yang bersifat global (global government). Pemerintahan global dapat digambarkan dalam tiga parameter, yaitu
1.       Peraturan untuk menempatkan yurisdiksi di antara negara/ pemerintahan
2.       Harmonisasi peraturan
3.       Kemungkinan diadakannya organisasi sentral yang diikutsertakan dalam pembuatan peraturan dan kegiatan penegakan hukum.
Kedua pandangan tersebut memiliki kelemahan, sebagaimana diungkapkan oleh Trachtman sendiri. Bahwa baik pada pandangan pertama dan kedua apabila dikaji lebih dalam, jika terjadi kegagalan dapat menimbulkan anarki, bukan lagi pemerintahan global. Parameter kedua yang diajukan oleh Trachtman, yaitu adanya harmonisasi peraturan, sama dengan pendapat Masaki Hamano dan Barda Nawawi Arief, hal sama juga ditegaskan dalam Convention on Cybercrime. Trachtman lebih menyetujui pendapat yang dikemukakan oleh Henry Perrits, dengan melihat kemungkinan diadakannya kerjasama antar negara untuk lebih memantapkan hukum dalam menentukan jurisdiksi yang berwenang, serta kurang setuju dengan pendapat Johnson dan Post yang menyebutkan bahwa semua wilayah cyberspace harus bebas dari batas kewenangan hukum suatu negara. Pendapat Henry H.Perrit, Jr dalam “Jurisdiction and The Internet : Basic Anglo/American Perspectives” mengemukakan beberapa hal. Perrits menyarankan dilakukan adaptasi terhadap beberapa konsep tradisional jurisdiksi yang mungkin tepat (appropriate). Menghadapi masalah jurisdiksi di dunia mayantara ini serta memperhatikan ketentuan dalam Convention on Cybercrime, Barda Nawawi Arief mengemukakan , digunakannya asas universal atau prinsip ubikuitas (the principle of ubiquity) untuk menanggulangi masalah kejahatan cyber. Prinsip ubikuitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan/ terjadi sebagian wilayah teritorial negara dan sebagian di luar teritorial suatu negara, harus dapat dibawa ke dalam jurisdiksi setiap negara yang terkait. Prinsip ubikuitas ini pernah direkomendasikan dalam “International Meeting of Experts on The Use of Criminal Sanction in The Protection of Environment, Internationally, Domestic and Regionally di Portland, Oregon, Amerika Serikat, tanggal 19-23 Maret 1994. Dalam pendapat beberapa sarjana sebagaimana telah disebut diatas, belum ada yang menyebut tentang perlunya dikaji ulang untuk menggunakan prinsip ubikuitas, apabila memang dipandang tepat. Menghadapi masalah yurisdiksi di internet, ada pendapat yang menggunakan pendekatan “minimum contacts”, yang utamanya hal ini digunakan di Amerika Serikat. Penjelasannya sebagai berikut : These “minimum contacts” consist of physical presence, financial gain, stream of commerce, and designation of the forum by contract. This means that even non-residents who are not physically present in the U.S. can be sued there as long as the person or entity has minimum contacts with the forum. In era of computer communication, simple action online may satisfy the minimum contacts analysis.
Ada pula “effects test” sebagaimana dijelaskan oleh The American Law Institute’s Restatement (Second) of Conflict of Law 37 (1971), sebagai berikut : “A State has power to exercise judicial jurisdiction over an individual who causes effects in the state by an act done elsewhere with respect to any cause of action arising from these effects unless the nature of the effects of the individual’s relationship to the state make the exersice of such jurisdiction unreasonable”.
Dua pendekatan yang dikemukakan di atas, yaitu “minimum contacts” dan “ effect test”, pada umumnya digunakan untuk menyelesaikan masalah kejahatan cyber dengan menggunakan sistem hukukm di Amerika Serikat, yaitu Anglo Saxon serta dianutnya “Long-arm statute” sebagai wujud kewenangan Pemerintah Federal untuk menerapkan hukum pada negara bagian.
Masalah penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan di internet , memang membutuhkan analisa , pendekatan tersendiri, serta kemungkinan penggabungan beberapa teori mengenai yurisdiksi dan hal ini karena kekhususan yang ada pada komunitas internet itu sendiri, serta teknologi informasi yang mendukung keberadaannya. Pada prinsipnya, tiga jenis yurisdiksi yang selama ini sudah dikenal tetap digunakan sebagai landasan untuk dikembangkan lebih jauh dan mendalam.Ketiga yurisdiksi tersebut yaitu :
1.       Yurisdiksi legislatif yaitu kewenangan membuat hukum (jurisdiction to prescribe);
2.       Yurisdiksi judisial yaitu kewenangan untuk mengadili (jurisdiction to adjudicate);
3.       Yurisdiksi pelaksanaan yaitu kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan (jurisdiction to enforce).
Baik Masaki Hamano, Henry H.Perritt tetap mengajukan tiga jenis yurisdiksi tersebut diatas untuk mendasari pemikiran dan pengembangan lebih lanjut dalam menanggulangi kejahatan cyber. Alasan yang mendasari tetap digunakannya ketiga jenis yurisdiksi tersebut , karena Dari berbagai kasus kejahatan internet , apabila pelaku dapat ditangkap oleh polisi, akan diterapkan hukum negara di mana si pelaku tertangkap. Artinya, digunakan hukum dari negara di mana ia melakukan tindak pidana tersebut, atau negara tempat ia melakukan penyebarluasan situs pornografi anak . Ini dapat dilihat pada beberapa kasus tentang penangkapan pelaku tindak pidana pornografi anak di internet, antara lain :
·         Tanggal 22 April 2002, polisi di 9 negara di Eropa dan Amerika Serikat menangkap 25 orang sebagai tersangka pelaku tindak pidana pornografi anak. Lima dari sembilan negara tersebut , yaitu: Inggris, Swedia, Switzerland, Jerman dan Denmark, empat negara lain tidak disebutkan. Hal ini berawal dari informasi kepolisian Swiss yang menemukan seorang laki-laki dengan memakai kaos yang bertanda suatu perusahaan di Denmark, tengah melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak perempuan. Informasi ini diteruskan kepada kepolisian Denmark untuk dilakukan penyelidikan lebih cermat. Penangkapan dilakukan oleh kepolisian Denmark terhadap sepasang suami istridi Ringkoebing, 250 mil sebelah barat Denmark. Polisi menemukan banyak foto anak perempuan , serta alamat dan daftar nama mereka yang juga melakukan hal yang sama dengan pasangan tersebut.Pasangan ini dituntut oleh hukum Denmark karena telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak, dan ancaman pidana selama 8 tahun, apabila memang hal itu terbukti.
·         Tanggal 14 November 2001, polisi di 14 negara melakukan operasi besar-besaran dalam menghadapi pornografi anak. Di Jerman, 93 peralatan disita dan 2.200 orang dalam pemeriksaan dengan tuduhan memiliki dan menyebarluaskan pornografi anak, dalam penggerebekan ditemukan pula jaringan komputer, video dan berbagai dokumentasi sebagai barang bukti. Penggerebekan untuk hal yang senada dilakukan pula di Switzerland, Austria, Netherlands, Norwegia, Perancis, Belgia, Denmark,Luxemburg, Portugal, Irlandia, dan Amerika Serikat serta Canada.
·         Tanggal 9 November 2001, ditangkapnya seorang laki-laki oleh Polisi di East Rand, Afrika Selatan. Ia menyimpan banyak foto, buku, video dan segala sesuatu sepanjang tentang pornografi anak, bahkan juga film pornografi anak, yang kesemuanya disita oleh polisi untuk diperiksa lebih lanjut dan sebagai barang bukti. Tersangka masih dalam pemeriksaan dan akan diajukan ke pengadilan.
·         Pengadilan distrik Jerman menjatuhi pidana selama 2 tahun kepada seorang dokter di Berlin ,dengan tuduhan mendistribusikan situs pornografi anak di internet, sebanyak 9.500 foto yang dilakukan antara bulan April sampai dengan Juni 1997 . Dokter tersebut menyatakan bahwa hal tersebut dilakukannya murni dengan tujuan sosiologi (sosiological reasons).
Berbagai contoh kasus yang dikemukakan, menunjukkan bahwa dapat digunakannya 3 teori jurisdiksi tradisional, sebagaimana kita kenal selama ini. Dari kasus di atas, dapat dilihat hal-hal tertentu, sebagai berikut :
·         Terhadap para pelaku tindak pidana pornografi anak di internet , ditangkap dengan tuduhan yang hampir sama. Tuduhan yang dikenakan, antara lain: kekerasan seksual terhadap anak (sexually abused to children), memiliki dan penyebaran hal yang berbau pornografi anak.
·         Kepada mereka dikenakan ancaman pidana menurut negara tempat ia melakukan tindak pidana (locus delicti) dan waktu (tempos delicti).
·         Penangkapan, pemeriksaan, pengajuan dan penjatuhan pidana kepada para pelaku menggunakan hukum negara tempat ia di tangkap.
Berlakunya jurisdiksi legislatif (jurisdiction to prescribe), nampak jelas dengan ada dan berlakunya suatu undang-undang (Act) secara efektif. Negara dimana para pelaku tindak pidana ditangkap, sudah memiliki perundang-undangan di bidang Perlindungan Anak (Protection of Children Act 1978), Larangan untuk mempublikasikan hal yang bersifat porno (Obscene Publications Act 1959 and 1964), Criminal Code, Criminal Justice Act .
Disusunnya suatu kebijakan legislatif oleh suatu negara adalah merupakan bagian dari kebijakan kriminal sebagai bagian dari kebijakan sosial. Kebijakan legislatif dalam hal dilarangnya segala bentuk atau hal yang berhubungan dengan pornografi anak, mulai dari memiliki, mendistribusikan, menyimpan, menjual , karena didasarkan pada upaya perlindungan terhadap masyarakat .
Anak adalah bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak (rights) untuk memperoleh perlindungan secara sah dari negara . Disusunnya kebijakan legislatif dalam bidang pornografi dan pornografi anak , yang kita lihat disusun pada tahun 1959, 1964 , 1978, menunjukkan pada luasnya cara pandang para penyusun kebijakan legislatif dalam mengkriminalisasikan tindakan tersebut.
Disusunnya undang-undang, selain menunjukkan cara pandang yang luas, juga bahwa hal tersebut sebenarnya sudah ada sejak dahulu, namun dengan cara penyebarluasan yang sederhana. Tidak memerlukan suatu jaringan (network), fiber optic atau sarana telekomunikasi modern seperti saat ini. Kebijakan legislatif yang dibuat ini benar-benar bersifat pencegahan umum (“general prevention”).
Yurisdiksi judisial ditunjukkan dengan diajukannya para tersangka ke depan pengadilan, untuk diperiksa lebih lanjut sesuai dengan bukti-bukti yang diperoleh. Hal ini lebih mengarah pada hukum acara yang digunakan, meskipun demikian tetap merupakan bagian dari yurisdiksi yudisial suatu negara, dan sebagai bagian dari penegakan hukum. Yurisdiksi eksekutif sebagai alat untuk melaksanakan pidana yang telah diberikan kepada terpidana.
Para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebaiknya didukung pula oleh sarana dan prasarana yang mendukung, melebihi kemajuan teknologi informasi yang digunakan oleh pelaku kejahatan cyber. Hal ini dapat dilihat dengan ditangkapnya para pelaku tindak pidana pornografi anak di internet, juga dengan menggunakan teknologi informasi yang sama atau bahkan lebih maju dari yang dimiliki para pelaku, selain juga didukung partisipasi masyarakat .
Pada uraian terdahulu telah disebut adanya “effect test” dan “minimum contact” yang banyak digunakan di Amerika Serikat. Apabila dikaji secara mendalam, rumusan pasal 25 RUU-PTI merupakan adaptasi dari “effect test”, yaitu dalam kalimat:”…yang melakukan perbuatan hukum yang akibatnya dirasakan di Indonesia.” (penebalan dan pencantuman miring dari penulis). Hal ini berarti bahwa efek dari perbuatan atau kejahatan cyber tersebut dirasakan di Indonesia, sehingga Indonesia dapat menerapkan ketentuan pidananya berdasar pasal 25 dan pasal 26 RUU - PTI.
Menurut Soedarto, untuk menuntut seseorang di depan pengadilan perihal tindak pidana, maka harus pasti tentang waktu dan tempat terjadinya tindak pidana. Ketentuan tentang waktu diperlukan untuk menentukan apakah undang-undang yang bersangkutan dapat diterapkan terhadap tindak pidana itu, sedang ketentuan tentang tempat diperlukan untuk menetapkan apakah undang-undang pidana Indonesia dapat diperlakukan dan juga pengadilan mana yang berkompeten untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana tersebut (kompetensi relatif).
Untuk menetapkan locus delicti, ada 3 teori yaitu :
1.       Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah) : tempat tindak pidana ditentukan oleh perbuatan jasmaniah yang dilakukan oleh pembuat dalam mewujudkan tindak pidana itu. Untuk delik formil teori ini dapat digunakan dengan baik, akan tetapi untuk delik materiil dan ada kalanya juga untuk delik formilpun teori ini sulit diterapkan. Contoh kesulitan dalam delik formil ialah apabila ada orang di luar Indonesia dengan perantaraan surat kabarr Indonesia melakukan penghinaan.
2.       Teori instrumen (alat ) : tempat terjadinya delik ialah tempat bekerjanya alat yang dipakai sipembuat. Alat ini bisa berupa benda atau orang, asalkan orang ini tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3.       Teori akibat : ukuran untuk locus delicti adalah tempat terjadinya akibat di dalam delik itu. Misalnya dalam penipuan, delik ini selesai apabila si korban menyerahkan barangnya; si pembuat dapat saja bertempat di daerah kekuasaan pengadilan lain.



Melihat mengenai cara penetapan locus delicti yang dikemukakan Soedarto, pada pasal 25 RUU – PTI digunakan teori akibat. Pada RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, pengaturan mengenai masalah yurisdiksi, tidak mengalami perubahan dari RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi, artinya masih tetap berdasarkan pada akibat yang dirasakan atau timbul di Indonesia. Dalam RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi, rumusan atau formulasi pasal yang mengatur tentang yurisdiksi megalami perubahan dibandingkan dengan dua RUU terdahulu, yaitu :
Lingkup Berlakunya Undang- Undang Tindak Pidana Teknologi Informasi
Pasal 3
1.       Undang Undang ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana Teknologi Informasi di wilayah negara Republik Indonesia dan atau negara lain yang mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.
2.       Negara lain mempunyai yuridiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila :
a)      Kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang ber-sangkutan;
b)      Kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan;
c)       Kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;
d)      Kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau atau fasilitas pemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeri termasuk fasilitas kantor perwakilan atau tempat fasilitas pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan;
e)      Kejahatan dilakukan dalam pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau
f)       Kejahatan dilakukan dalam kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu dilakukan;

Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana pemanfaatan teknologi informasi yang dilakukan :
a.       Terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia;
b.      Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri, termasuk fasilitas pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;
c.       Dalam kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pe-sawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan;atau
d.      Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
Dari rumusan pasal tersebut di atas, dapat dikemukakan perbedaan dengan RUU-PTI dan RUU-ITE, yaitu :
a.       RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi secara tegas dan jelas memberi kesempatan bagi negara lain untuk melakukan penuntutan, namun ada batas-batas tertentu (pasal 3 ayat 2 huruf a,b,c,d,e,f).
b.      RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi menyebutkan wilayah perluasan berlakunya yurisdiksi, serta undang-undang dapat dikenakan bagi orang yang tidak berkewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah Indonesia.
c.       RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi tidak mendasarkan pada teori akibat.
Untuk menghadapi perkembangan kejahatan teknologi informasi di masa mendatang, seyogyanya Pemerintah perlu melakukan kajian ulang terhadap tujuan dibentuknya rancangan undang-undang materi. Baik RUU ITE maupun RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi hingga saat ini belum ada satupun yang disahkan oleh DPR, sementara jenis kejahatan teknologi informasi terus mengalami perkembangan dan perubahan. Untuk menghadapi masalah kejahatan di internet, setiap negara dapat menerapkan hukum positif masing-masing. Hal ini didasarkan bahwa:teori-teori tentang yurisdiksi bagi suatu negara dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menangkap pelaku kejahatan di bidang cyber. Ruang cyber dipandang sebagai suatu perluasan dari lingkungan dan lingkungan hidup manusia, sehinggaa merupakan suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi pula.
Dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, Pengadilan di Indonesia berwenang untuk mengadili setiap orang yang melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, yang akibatnya dirasakan di Indonesia. Memperhatikan rumusan pasal yang mengatur masalah yurisdiksi, diharapkan dapat diberikan perlindungan hukum yang menyeluruh bagi seluruh warga negara Indonesia, dalam menggunakan kemajuan teknologi informasi.

Daftar Pustaka
·         Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, The Habibie Center.
·         Nawawi Arief, Barda, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti.
·         _____________________,2001, Sari Kuliah Perbandingan Hukum, Materi Kuliah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum UNDIP .
·         Rosenoer, Jonathan, 1997, Cyberlaw : The Law of the Internet, New York, Springer-Verlag.
·         Sudarto, 1983,Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru.
·         ___________, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni.
·         ___________, 1990, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto.
-->