15 April, 2013

Yurisdiksi di Internet / Cyber Space


Yurisdiksi di Internet / Cyber Space
Media Hukum/Vol.IX/No2/April-Juni/ 2009 | No ISSN 1411-3759
Kemajuan di bidang teknologi informasi diharapkan memberi manfaat yang seluas-luasnya bagi manusia. Namun demikian, muncul dapat pula berbagai jenis tindakan perbuatan melawan hukum atau tindak kejahatan dengan memanfaatkan kemajuan yang terjadi saat ini. Internet, sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi, memungkinkan para pemakainya melewati batas yurisdiksi negara masing-masing.
Masalah yurisdiksi di internet erat kaitannya dengan masalah penegakan hukum tiap-tiap negara. Sebagai dunia tanpa batas, penerapan yurisdiksi di internet bukan hal yang mudah. Perlu ada kepastian mengenai hukum yang akan diterapkan di dunia tanpa batas tersebut. Yurisdiksi suatu negara sebagaimana kita ketahui selama ini, dapat dikembangkan dan dipergunakan di dunia tanpa batas.
I. PENDAHULUAN
Teknologi informasi saat ini sudah bersifat global, terutama dengan digunakannya internet. Globalisasi yang timbul sudah menyatu dengan berbagai aspek kehidupan, baik di bidang sosial, iptek,kebudayaan, ekonomi dan nilai-nilai budaya lain. Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi banyak mempengaruhi berbagai jenis kejahatan yang ada, dan dimungkinkan muncul jenis kejahatan baru seiring dengan perkembangan yang timbul. Berbagai jenis perbuatan melawan hukum maupun kejahatan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan berbagai alat, termasuk dengan menggunakan kemajuan di bidang teknologi informasi, baik melalui internet maupun pesawat selular (handphone). Internet merupakan suatu dunia maya, dengan kata lain dunia tanpa batas (borderless). Melalui internet dapat menjelajah berbagai situs yang ada, melewati batas suatu negara. Apabila kita berbicara tentang batas suatu negara, hal tersebut langsung berhubungan dengan yurisdiksi negara tersebut, yaitu mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan hukum diwilayahnya. Dengan terjadinya kemajuan teknologi serta dimungkinkannya muncul perbuatan melawan hukum atau kejahatan di internet, maka timbul pula pertanyaan, bagaimana menentukan yurisdiksi pengadilan terhadap sengketa / konflik yang tercipta / terjadi di Internet?
Definisi jurisdiksi secara universal, adalah jurisdiction of the authority of a state to affect legal interests. Menurut Black’s Law Dictionary, jurisdiction :
a)      The word is a term of large and comprehensive import, and embraces every kind of judicial action;
b)      it is the authority by which courts and judicial officers take cognizance of and decide cases;
c)       the legal right by which judges exercise their authority;
d)      it exists when courts has cognizances of class of cases involved, proper parties are present, and point to be decided is within powers of court;
e)      the right of power of a court to adjudicate concerning the subject matter in a given case.
Dalam Encyclopedy International Law, disebutkan Five general principles on which jurisdiction, and particularly criminal jurisdiction, may be based have been put forward [Encyclopedia International Law, halaman 136] :

1.       The territorial principle;
2.       The nationality principle;
3.       The passive personality principle;
4.       The protective principle;
5.       The universality principle.
The first two principles apply equally to civil and criminal jurisdiction, the last three to criminal jurisdiction.
a)      Prinsip teritorial;
b)      Prinsip kebangsaan;
c)       Prinsip kepribadian pasif;
d)      Prinsip pelindung;
e)      Prinsip universalitas.
Dua prinsip berlaku untuk hukum perdata dan pidana, tiga terakhir untuk yurisdiksi pidana
Masaki Hamano dalam The Principles of Jurisdiction [Masaki Hamano, The Principles of Jurisdiction, tersedia pada “jurisdiction on Cyberspace”] mengatakan  as a general term, jurisdiction refers to “A government’s general power to exercise authority over all persons and things within its territory,” “a court’s power to decide a case or issue a decree,” or “ A geographic area within which political or judicial authority may be exercised.”
Kemajuan teknologi informasi yang demikian cepat selalu menimbulkan suatu permasalahan terutama di bidang hukum dan di satu sisi hukum seringkali tertinggal jauh di banding dengan kemajuan teknologi. Komunitas sosial [social community] yang ada dan telah terbentuk, serta berjalan dengan adanya perkembangan teknologi informasi juga akan mengalami perubahan di berbagai aspek. Dengan menggunakan internet muncul pula komunitas masyarakat yang berbeda dengan yang sudah ada selama ini, komunitas masyarakat internet dapat pula disebut sebagai “cybercommunity”. Untuk pembahasan mengenai cybercommunity , dapat dilihat artikel Juliet M. Oberding [Juliet M. Oberding, A Separate Jurisdiction For Cyberspace?, tersedia pada http://www.oberding.com/-juliet/resources.html], yang membahas cybercommunity untuk lebih memahami jurisdiksi di internet, sebagai berikut : Can the Internet be defined as a community ? A community has been defined as : “…a set of persons involved in stable patterns of communication. Communities vary widely in the range of their interactions, the capacity of their networks, and the links between information and material exchanges” (Mandelbaum, 1982). Communities are also distinguished by lively interaction and engagement on issues of mutual concerns and the well-being of communities contributes to the well-being of the commonwealth (Schuler, 1994). Such communities have their share of the ills of society: jealously, gossip and anger (Rheingold, 1993). Communities also create and enforce shared norms and values. Network communities can be caring groups in which members share personal triumphs and tragedies. Proffessor Henry Perritt (1993) noted that : “ An important part of the definition of a community is the method through which it expresses obligation and enforces compliance. Rights and responsibilities are defined by customs as well as by formal law. Quaker meetings, corporations and municipalities have distinctly different arrangements for making rules, determining instances of noncompliance and imposing punishment.”
Memperhatikan berbagai perkembangan yang terjadi, dapat dikatakan internet adalah suatu sistem jaringan yang terdiri dari berbagai macam komunitas, sehingga peserta atau anggota komunitas dapat membuat dan mendefinisikan hukum yang tepat untuk komunitas mereka (we assert that the Internet is clearly a networked system of many communities. Within individual cybercommunities, participants can create and define law applicable to their community).
Komunitas masyarakat internet yang tanpa batas (borderless) menimbulkan masalah dalam hal jurisdiksi. Dikemukakan oleh Masaki Hamano : The term “cyber-jurisdiction “ is often used to refer to the system operators or users power to establish rules and enforce them in a community set up in cyberspace , or virtual space in the virtual world which is perceived as a place on the Internet and is independet from government regulations.” Masaki Hamano menggunakan 3 jenis yurisdiksi tradisional , untuk menganalisa permasalahan dalam cyberjurisdiction.
Darrel Menthe dalam “Jurisdiction In Cyberspace : A Theory of International Spaces” menyebutkan suatu wilayah teritorial yang menggunakan hukum internasional dan disebutnya “international space” (ruang internasional), saat ini ada 3 [tiga] macam ruang internasional yaitu :
1.       Antartica,
2.       angkasa luar, dan
3.       lautan luas.
Dalam dunia cyber, jurisdiksi mengesampingkan masalah konsep untuk pengadilan domestik dan pengadilan asing yang serupa. Tidak seperti jurisdiksi tradisional yang melibatkan dua, atau tiga jurisdiksi yang bertentangan satu sama lain, maka hukum yang dapat diterapkan terhadap homepage adalah hukum secara keseluruhan. Sama seperti Masaki Hamano, Darrel Menthe juga membedakan tiga jenis jurisdiksi yang diakui secara internasional, yaitu
1.       jurisdiction to prescribe (jurisdiksi legislatif/jurisdiksi formulatif)
2.       jurisdiction to adjudicate (jurisdiksi aplikatif/ jurisdiksi yudikatif) , dan
3.       jurisdiction to enforce (jurisdiksi eksekutif).
Tentang masalah jurisdiksi di internet, Darrel Menthe mengemukakan suatu teori bahwa selama berinteraksi di dunia cyber ada dua hal utama yaitu
1.       memberikan informasi ke dalam dunia cyber dan
2.       mengambil informasi keluar dari dunia cyber.
Dalam hal ini ada dua peran yang berbeda secara nyata yaitu the uploader yang memberi informasi ke dalam dunia cyber dan the downloader sebagai pengambil informasi di kemudian hari, dengan tidak memperhatikan identitas keduanya (baik the uploader maupun the downloader). Teori yang dikemukakan oleh Darrel Menthe ini disebut sebagai The Theory of the Uploader and the Downloader.
David R. Johnson dan David G.Post dalam artikel berjudul “And How Should the Internet Be Governed?” mengemukakan 4 model, yaitu :  
1.       Pelaksanaan kontrol dilakukan oleh badan-badan pengadilan yang saat ini ada (the existing judicial forums)
2.       Penguasa Nasional melakukan kesepakatan internasional mengenai “the governance of Cyberspace”.
3.       Pembentukan suatu organisasi internasional baru (A New International Organization) yang secara khusus menangani masalah-masalah di dunia internet
4.       Pemerintah / pengaturan tersendiri (self-governance) oleh para pengguna internet.
Johnson dan Post berpendapat bahwa penerapan prinsip-prinsip tradisional dari “Due Process and personal jurisdiction” tidak sesuai dan mengacaukan apabila diterapkan pada cyberspace. Menurut Johnson dan Post, cyberspace harus diperlakukan sebagai suatu ruang yang terpisah dari dunia nyata dengan menerapkan hukum yang berbeda untuk cyberspace (cyberspace should be treated as a separate “space” from the “real world” by applying distinct law to cyberspace).
Menurut Christopher Doran, pandangan Johnson dan Post mengenai tidak dapat diterapkanya jurisdiksi personal terhadap para terdakwa internet, bukanlah pandangan yang menonjol/berpengaruh. Masaki Hamano juga menyatakan bahwa ide Johnson dan Post tidak terwujud dalam kenyataan. Menurut Masaki Hamano, sekalipun banyak kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan dunia cyber, namun pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat telah menerima pendekatan tradisional terjadap sengketa jurisdiksi cyberspace daripada membuat seperangkat peraturan baru yang lengkap mengenai cyberlaw.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa sistem hukum dan jurisdiksi nasional/teritorial memang mempunyai keterbatasan karena tidaklah mudah menjangkau pelaku tindak pidana di ruang cyber yang tidak berbatas. Namun tidak berarti ruang cyber dibiarkan bebas tanpa hukum. Ruang cyber merupakan bagian atau perluasan dari “lingkungan” (“environment”) dan “lingkungan hidup” (“life environment”) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya; jadi merupakan suatu “kepentingan hukum” yang harus dilindungi. Oleh karena itu, jurisdiksi legislatif atau “jurisdiction to prescribe” , tetap dapat dan harus difungsikan untuk menanggulangi “cybercrime” yang merupakan dimensi baru dari ”environmental crime”.
Henry Perrits berpendapat, bahwa masalah yurisdiksi berkaitan dengan kedaulatan negara (sovereignity), dan didukung pula oleh Joel P. Trachtman dengan penekanan pada masalah insititusi yang berkompeten. Latar belakang teori yang diajukan oleh Tracthman karena munculnya institusi ekonomi dan hukum, dan institusi ekonomi itu sendiri, yang kemudian hubungan antara keduanya adalah sebagai batas teknik produksi dan batas produksi secara struktural. Menurut Perrits , dunia mayantara (cyberspace) adalah sebagai wilayah kedaulatan yang dilindungi (sovereignity-preserving), selanjutnya oleh Trachtman dikatakan sebagai kedaulatan untuk bertindak secara khusus (sovereignity-demeaning), sehingga dunia mayantara (cyberspace) sekarang ini menjadi perdebatan dalam kekuasaan suatu negara. Yurisdiksi yang sebenarnya dalam dunia mayantara akan menimbulkan lebih banyak keadaan dengan efek/dampak dirasakan oleh banyak wilayah pada saat yang bersamaan.
Masalah yurisdiksi yang timbul lebih banyak sebagai yurisdiksi horisontal, artinya negara manakah yang berhak untuk memutuskan atau melaksanakan yurisidiksi di dunia mayantara (cyberspace); hal ini muncul karena sulitnya untuk menetapkan diwilayah mana dunia mayantara (cyberspace) dapat dikenai jurisdiksi.
Trachtman mengajukan dua pandangan tentang masalah yurisdiksi,
1.       pertama bahwa masalah dunia mayantara tidak dapat ditempatkan dalam satu wilayah teritorial negara manapun dengan asumsi bahwa wilayah teritorial sebagai dasar yurisdiksi
2.       pandangan kedua didasarkan pada keadaan mendasar tentang pemerintahan yang bersifat global (global government). Pemerintahan global dapat digambarkan dalam tiga parameter, yaitu
1.       Peraturan untuk menempatkan yurisdiksi di antara negara/ pemerintahan
2.       Harmonisasi peraturan
3.       Kemungkinan diadakannya organisasi sentral yang diikutsertakan dalam pembuatan peraturan dan kegiatan penegakan hukum.
Kedua pandangan tersebut memiliki kelemahan, sebagaimana diungkapkan oleh Trachtman sendiri. Bahwa baik pada pandangan pertama dan kedua apabila dikaji lebih dalam, jika terjadi kegagalan dapat menimbulkan anarki, bukan lagi pemerintahan global. Parameter kedua yang diajukan oleh Trachtman, yaitu adanya harmonisasi peraturan, sama dengan pendapat Masaki Hamano dan Barda Nawawi Arief, hal sama juga ditegaskan dalam Convention on Cybercrime. Trachtman lebih menyetujui pendapat yang dikemukakan oleh Henry Perrits, dengan melihat kemungkinan diadakannya kerjasama antar negara untuk lebih memantapkan hukum dalam menentukan jurisdiksi yang berwenang, serta kurang setuju dengan pendapat Johnson dan Post yang menyebutkan bahwa semua wilayah cyberspace harus bebas dari batas kewenangan hukum suatu negara. Pendapat Henry H.Perrit, Jr dalam “Jurisdiction and The Internet : Basic Anglo/American Perspectives” mengemukakan beberapa hal. Perrits menyarankan dilakukan adaptasi terhadap beberapa konsep tradisional jurisdiksi yang mungkin tepat (appropriate). Menghadapi masalah jurisdiksi di dunia mayantara ini serta memperhatikan ketentuan dalam Convention on Cybercrime, Barda Nawawi Arief mengemukakan , digunakannya asas universal atau prinsip ubikuitas (the principle of ubiquity) untuk menanggulangi masalah kejahatan cyber. Prinsip ubikuitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan/ terjadi sebagian wilayah teritorial negara dan sebagian di luar teritorial suatu negara, harus dapat dibawa ke dalam jurisdiksi setiap negara yang terkait. Prinsip ubikuitas ini pernah direkomendasikan dalam “International Meeting of Experts on The Use of Criminal Sanction in The Protection of Environment, Internationally, Domestic and Regionally di Portland, Oregon, Amerika Serikat, tanggal 19-23 Maret 1994. Dalam pendapat beberapa sarjana sebagaimana telah disebut diatas, belum ada yang menyebut tentang perlunya dikaji ulang untuk menggunakan prinsip ubikuitas, apabila memang dipandang tepat. Menghadapi masalah yurisdiksi di internet, ada pendapat yang menggunakan pendekatan “minimum contacts”, yang utamanya hal ini digunakan di Amerika Serikat. Penjelasannya sebagai berikut : These “minimum contacts” consist of physical presence, financial gain, stream of commerce, and designation of the forum by contract. This means that even non-residents who are not physically present in the U.S. can be sued there as long as the person or entity has minimum contacts with the forum. In era of computer communication, simple action online may satisfy the minimum contacts analysis.
Ada pula “effects test” sebagaimana dijelaskan oleh The American Law Institute’s Restatement (Second) of Conflict of Law 37 (1971), sebagai berikut : “A State has power to exercise judicial jurisdiction over an individual who causes effects in the state by an act done elsewhere with respect to any cause of action arising from these effects unless the nature of the effects of the individual’s relationship to the state make the exersice of such jurisdiction unreasonable”.
Dua pendekatan yang dikemukakan di atas, yaitu “minimum contacts” dan “ effect test”, pada umumnya digunakan untuk menyelesaikan masalah kejahatan cyber dengan menggunakan sistem hukukm di Amerika Serikat, yaitu Anglo Saxon serta dianutnya “Long-arm statute” sebagai wujud kewenangan Pemerintah Federal untuk menerapkan hukum pada negara bagian.
Masalah penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan di internet , memang membutuhkan analisa , pendekatan tersendiri, serta kemungkinan penggabungan beberapa teori mengenai yurisdiksi dan hal ini karena kekhususan yang ada pada komunitas internet itu sendiri, serta teknologi informasi yang mendukung keberadaannya. Pada prinsipnya, tiga jenis yurisdiksi yang selama ini sudah dikenal tetap digunakan sebagai landasan untuk dikembangkan lebih jauh dan mendalam.Ketiga yurisdiksi tersebut yaitu :
1.       Yurisdiksi legislatif yaitu kewenangan membuat hukum (jurisdiction to prescribe);
2.       Yurisdiksi judisial yaitu kewenangan untuk mengadili (jurisdiction to adjudicate);
3.       Yurisdiksi pelaksanaan yaitu kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan (jurisdiction to enforce).
Baik Masaki Hamano, Henry H.Perritt tetap mengajukan tiga jenis yurisdiksi tersebut diatas untuk mendasari pemikiran dan pengembangan lebih lanjut dalam menanggulangi kejahatan cyber. Alasan yang mendasari tetap digunakannya ketiga jenis yurisdiksi tersebut , karena Dari berbagai kasus kejahatan internet , apabila pelaku dapat ditangkap oleh polisi, akan diterapkan hukum negara di mana si pelaku tertangkap. Artinya, digunakan hukum dari negara di mana ia melakukan tindak pidana tersebut, atau negara tempat ia melakukan penyebarluasan situs pornografi anak . Ini dapat dilihat pada beberapa kasus tentang penangkapan pelaku tindak pidana pornografi anak di internet, antara lain :
·         Tanggal 22 April 2002, polisi di 9 negara di Eropa dan Amerika Serikat menangkap 25 orang sebagai tersangka pelaku tindak pidana pornografi anak. Lima dari sembilan negara tersebut , yaitu: Inggris, Swedia, Switzerland, Jerman dan Denmark, empat negara lain tidak disebutkan. Hal ini berawal dari informasi kepolisian Swiss yang menemukan seorang laki-laki dengan memakai kaos yang bertanda suatu perusahaan di Denmark, tengah melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak perempuan. Informasi ini diteruskan kepada kepolisian Denmark untuk dilakukan penyelidikan lebih cermat. Penangkapan dilakukan oleh kepolisian Denmark terhadap sepasang suami istridi Ringkoebing, 250 mil sebelah barat Denmark. Polisi menemukan banyak foto anak perempuan , serta alamat dan daftar nama mereka yang juga melakukan hal yang sama dengan pasangan tersebut.Pasangan ini dituntut oleh hukum Denmark karena telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak, dan ancaman pidana selama 8 tahun, apabila memang hal itu terbukti.
·         Tanggal 14 November 2001, polisi di 14 negara melakukan operasi besar-besaran dalam menghadapi pornografi anak. Di Jerman, 93 peralatan disita dan 2.200 orang dalam pemeriksaan dengan tuduhan memiliki dan menyebarluaskan pornografi anak, dalam penggerebekan ditemukan pula jaringan komputer, video dan berbagai dokumentasi sebagai barang bukti. Penggerebekan untuk hal yang senada dilakukan pula di Switzerland, Austria, Netherlands, Norwegia, Perancis, Belgia, Denmark,Luxemburg, Portugal, Irlandia, dan Amerika Serikat serta Canada.
·         Tanggal 9 November 2001, ditangkapnya seorang laki-laki oleh Polisi di East Rand, Afrika Selatan. Ia menyimpan banyak foto, buku, video dan segala sesuatu sepanjang tentang pornografi anak, bahkan juga film pornografi anak, yang kesemuanya disita oleh polisi untuk diperiksa lebih lanjut dan sebagai barang bukti. Tersangka masih dalam pemeriksaan dan akan diajukan ke pengadilan.
·         Pengadilan distrik Jerman menjatuhi pidana selama 2 tahun kepada seorang dokter di Berlin ,dengan tuduhan mendistribusikan situs pornografi anak di internet, sebanyak 9.500 foto yang dilakukan antara bulan April sampai dengan Juni 1997 . Dokter tersebut menyatakan bahwa hal tersebut dilakukannya murni dengan tujuan sosiologi (sosiological reasons).
Berbagai contoh kasus yang dikemukakan, menunjukkan bahwa dapat digunakannya 3 teori jurisdiksi tradisional, sebagaimana kita kenal selama ini. Dari kasus di atas, dapat dilihat hal-hal tertentu, sebagai berikut :
·         Terhadap para pelaku tindak pidana pornografi anak di internet , ditangkap dengan tuduhan yang hampir sama. Tuduhan yang dikenakan, antara lain: kekerasan seksual terhadap anak (sexually abused to children), memiliki dan penyebaran hal yang berbau pornografi anak.
·         Kepada mereka dikenakan ancaman pidana menurut negara tempat ia melakukan tindak pidana (locus delicti) dan waktu (tempos delicti).
·         Penangkapan, pemeriksaan, pengajuan dan penjatuhan pidana kepada para pelaku menggunakan hukum negara tempat ia di tangkap.
Berlakunya jurisdiksi legislatif (jurisdiction to prescribe), nampak jelas dengan ada dan berlakunya suatu undang-undang (Act) secara efektif. Negara dimana para pelaku tindak pidana ditangkap, sudah memiliki perundang-undangan di bidang Perlindungan Anak (Protection of Children Act 1978), Larangan untuk mempublikasikan hal yang bersifat porno (Obscene Publications Act 1959 and 1964), Criminal Code, Criminal Justice Act .
Disusunnya suatu kebijakan legislatif oleh suatu negara adalah merupakan bagian dari kebijakan kriminal sebagai bagian dari kebijakan sosial. Kebijakan legislatif dalam hal dilarangnya segala bentuk atau hal yang berhubungan dengan pornografi anak, mulai dari memiliki, mendistribusikan, menyimpan, menjual , karena didasarkan pada upaya perlindungan terhadap masyarakat .
Anak adalah bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak (rights) untuk memperoleh perlindungan secara sah dari negara . Disusunnya kebijakan legislatif dalam bidang pornografi dan pornografi anak , yang kita lihat disusun pada tahun 1959, 1964 , 1978, menunjukkan pada luasnya cara pandang para penyusun kebijakan legislatif dalam mengkriminalisasikan tindakan tersebut.
Disusunnya undang-undang, selain menunjukkan cara pandang yang luas, juga bahwa hal tersebut sebenarnya sudah ada sejak dahulu, namun dengan cara penyebarluasan yang sederhana. Tidak memerlukan suatu jaringan (network), fiber optic atau sarana telekomunikasi modern seperti saat ini. Kebijakan legislatif yang dibuat ini benar-benar bersifat pencegahan umum (“general prevention”).
Yurisdiksi judisial ditunjukkan dengan diajukannya para tersangka ke depan pengadilan, untuk diperiksa lebih lanjut sesuai dengan bukti-bukti yang diperoleh. Hal ini lebih mengarah pada hukum acara yang digunakan, meskipun demikian tetap merupakan bagian dari yurisdiksi yudisial suatu negara, dan sebagai bagian dari penegakan hukum. Yurisdiksi eksekutif sebagai alat untuk melaksanakan pidana yang telah diberikan kepada terpidana.
Para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebaiknya didukung pula oleh sarana dan prasarana yang mendukung, melebihi kemajuan teknologi informasi yang digunakan oleh pelaku kejahatan cyber. Hal ini dapat dilihat dengan ditangkapnya para pelaku tindak pidana pornografi anak di internet, juga dengan menggunakan teknologi informasi yang sama atau bahkan lebih maju dari yang dimiliki para pelaku, selain juga didukung partisipasi masyarakat .
Pada uraian terdahulu telah disebut adanya “effect test” dan “minimum contact” yang banyak digunakan di Amerika Serikat. Apabila dikaji secara mendalam, rumusan pasal 25 RUU-PTI merupakan adaptasi dari “effect test”, yaitu dalam kalimat:”…yang melakukan perbuatan hukum yang akibatnya dirasakan di Indonesia.” (penebalan dan pencantuman miring dari penulis). Hal ini berarti bahwa efek dari perbuatan atau kejahatan cyber tersebut dirasakan di Indonesia, sehingga Indonesia dapat menerapkan ketentuan pidananya berdasar pasal 25 dan pasal 26 RUU - PTI.
Menurut Soedarto, untuk menuntut seseorang di depan pengadilan perihal tindak pidana, maka harus pasti tentang waktu dan tempat terjadinya tindak pidana. Ketentuan tentang waktu diperlukan untuk menentukan apakah undang-undang yang bersangkutan dapat diterapkan terhadap tindak pidana itu, sedang ketentuan tentang tempat diperlukan untuk menetapkan apakah undang-undang pidana Indonesia dapat diperlakukan dan juga pengadilan mana yang berkompeten untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana tersebut (kompetensi relatif).
Untuk menetapkan locus delicti, ada 3 teori yaitu :
1.       Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah) : tempat tindak pidana ditentukan oleh perbuatan jasmaniah yang dilakukan oleh pembuat dalam mewujudkan tindak pidana itu. Untuk delik formil teori ini dapat digunakan dengan baik, akan tetapi untuk delik materiil dan ada kalanya juga untuk delik formilpun teori ini sulit diterapkan. Contoh kesulitan dalam delik formil ialah apabila ada orang di luar Indonesia dengan perantaraan surat kabarr Indonesia melakukan penghinaan.
2.       Teori instrumen (alat ) : tempat terjadinya delik ialah tempat bekerjanya alat yang dipakai sipembuat. Alat ini bisa berupa benda atau orang, asalkan orang ini tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3.       Teori akibat : ukuran untuk locus delicti adalah tempat terjadinya akibat di dalam delik itu. Misalnya dalam penipuan, delik ini selesai apabila si korban menyerahkan barangnya; si pembuat dapat saja bertempat di daerah kekuasaan pengadilan lain.



Melihat mengenai cara penetapan locus delicti yang dikemukakan Soedarto, pada pasal 25 RUU – PTI digunakan teori akibat. Pada RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, pengaturan mengenai masalah yurisdiksi, tidak mengalami perubahan dari RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi, artinya masih tetap berdasarkan pada akibat yang dirasakan atau timbul di Indonesia. Dalam RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi, rumusan atau formulasi pasal yang mengatur tentang yurisdiksi megalami perubahan dibandingkan dengan dua RUU terdahulu, yaitu :
Lingkup Berlakunya Undang- Undang Tindak Pidana Teknologi Informasi
Pasal 3
1.       Undang Undang ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana Teknologi Informasi di wilayah negara Republik Indonesia dan atau negara lain yang mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.
2.       Negara lain mempunyai yuridiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila :
a)      Kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang ber-sangkutan;
b)      Kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan;
c)       Kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;
d)      Kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau atau fasilitas pemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeri termasuk fasilitas kantor perwakilan atau tempat fasilitas pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan;
e)      Kejahatan dilakukan dalam pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau
f)       Kejahatan dilakukan dalam kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu dilakukan;

Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana pemanfaatan teknologi informasi yang dilakukan :
a.       Terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia;
b.      Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri, termasuk fasilitas pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;
c.       Dalam kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pe-sawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan;atau
d.      Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
Dari rumusan pasal tersebut di atas, dapat dikemukakan perbedaan dengan RUU-PTI dan RUU-ITE, yaitu :
a.       RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi secara tegas dan jelas memberi kesempatan bagi negara lain untuk melakukan penuntutan, namun ada batas-batas tertentu (pasal 3 ayat 2 huruf a,b,c,d,e,f).
b.      RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi menyebutkan wilayah perluasan berlakunya yurisdiksi, serta undang-undang dapat dikenakan bagi orang yang tidak berkewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah Indonesia.
c.       RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi tidak mendasarkan pada teori akibat.
Untuk menghadapi perkembangan kejahatan teknologi informasi di masa mendatang, seyogyanya Pemerintah perlu melakukan kajian ulang terhadap tujuan dibentuknya rancangan undang-undang materi. Baik RUU ITE maupun RUU Tindak Pidana di bidang Teknologi Informasi hingga saat ini belum ada satupun yang disahkan oleh DPR, sementara jenis kejahatan teknologi informasi terus mengalami perkembangan dan perubahan. Untuk menghadapi masalah kejahatan di internet, setiap negara dapat menerapkan hukum positif masing-masing. Hal ini didasarkan bahwa:teori-teori tentang yurisdiksi bagi suatu negara dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menangkap pelaku kejahatan di bidang cyber. Ruang cyber dipandang sebagai suatu perluasan dari lingkungan dan lingkungan hidup manusia, sehinggaa merupakan suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi pula.
Dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, Pengadilan di Indonesia berwenang untuk mengadili setiap orang yang melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, yang akibatnya dirasakan di Indonesia. Memperhatikan rumusan pasal yang mengatur masalah yurisdiksi, diharapkan dapat diberikan perlindungan hukum yang menyeluruh bagi seluruh warga negara Indonesia, dalam menggunakan kemajuan teknologi informasi.

Daftar Pustaka
·         Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, The Habibie Center.
·         Nawawi Arief, Barda, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti.
·         _____________________,2001, Sari Kuliah Perbandingan Hukum, Materi Kuliah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum UNDIP .
·         Rosenoer, Jonathan, 1997, Cyberlaw : The Law of the Internet, New York, Springer-Verlag.
·         Sudarto, 1983,Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru.
·         ___________, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni.
·         ___________, 1990, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto.
-->