30 November, 2012

TJ : Pidana Seumur Hidup

Pidana Seumur Hidup
Kategori:Hukum Pidana

Saya mau menanyakan mengenai pidana seumur hidup? Apa itu pidana seumur hidup? Banyak versi yang beredar mengenai pidana seumur hidup. Versi pertama, pidana seumur hidup itu pidana yang dijatuhkan hakim di mana lama pidananya bergantung pada usia terpidana. Misalnya, ia melakukan kejahatan dan dijatuhi hukuman pidana seumur hidup, pada saat dijatuhi hukuman tersebut terpidana berumur 21 tahun maka pidana seumur hidup itu dijalani selama 21 tahun. Versi kedua, pidana seumur hidup itu pidana yang dijatuhkan dan dijalani selama ia hidup dia terus berada di dalam penjara tanpa adanya rentang waktu tersebut atau bisa dibilang sampai ia meninggal ia terus ada di penjara, yang mana yang benar? Apa dasar dan peraturan mengenai penjelasan pidana seumur hidup tersebut?

Jawaban:
Shanti Rachmadsyah
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Pidana penjara seumur hidup adalah satu dari dua variasi hukuman penjara yang diatur dalam pasal 12 ayat (1) KUHP. Selengkapnya, pasal 12 ayat (1) KUHP berbunyi, pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu. Dalam pasal 12 ayat (4) KUHP dinyatakan, pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
 Dari bunyi pasal 12 ayat (1) KUHP tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pidana penjara seumur hidup adalah penjara selama terpidana masih hidup hingga meninggal. Ketentuan tersebut sekaligus menolak pendapat bahwa hukuman penjara seumur hidup diartikan hukuman penjara yang dijalani adalah selama usia terpidana pada saat vonis dijatuhkan.
Apabila pidana penjara seumur hidup diartikan hukuman penjara yang dijalani adalah selama usia terpidana pada saat vonis dijatuhkan, maka yang demikian menjadi pidana penjara selama waktu tertentu. Contohnya, jika seseorang dipidana penjara seumur hidup ketika dia berusia 21 tahun, maka yang bersangkutan hanya akan menjalani hukuman penjara selama 21 tahun. Hal itu tentu melanggar ketentuan pasal 12 ayat (4) KUHP, di mana lamanya hukuman yang dijalani oleh terpidana - yaitu 21 tahun - melebihi batasan maksimal 20 tahun.
Berikut contoh lainnya. Apabila terpidana divonis penjara seumur hidup, pada saat ia berumur 18 tahun. Dengan pendapat tadi, berarti terpidana tersebut hanya akan menjalani hukuman penjaranya selama 18 tahun. Hal ini tentu menimbulkan kerancuan yaitu mengapa hakim tidak langsung saja menghukum terpidana 18 tahun penjara, padahal hal itu masih diperbolehkan dalam KUHP?
Jadi, dari uraian di atas dapat kita pahami dasar hukum serta logika mengapa pidana penjara seumur hidup berarti penjara sepanjang si terpidana masih hidup, dan hukumannya baru akan berakhir setelah kematiannya.
Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.

Sumber : hukum online
Kamis, 24 Juni 2010
rgs-m

23 November, 2012

Domisili Tergugat Di Dunia Nyata Vs. Tindakan Tergugat Di Dunia Maya

Terdapat satu pertanyaan mengenai domisili tergugat, jika seorang Tergugat yang juga adalah pejabat negara, secara pribadi [diduga] melakukan perbuatan melawan hukum, bagaimanakah menentukan kompetensi relatif bagi si Penggugat yang ingin mengajukan gugatan melalui pengadilan. Apakah gugatan seharusnya ditujukan ke alamat rumah atau ke alamat kantornya, karena subjek hukumnya yang digugat, bukan keputusan atau kebijakan seorang pejabat negara ; atau apakah benar jika Penggugat mengajukan gugatan ke alamat [domisili] tergugat di kantornya?

Simple Opini : apabila domisili / alamat tergugat misalkan berada di Jakarta Barat, dan domisili kantor Tergugat berada di Jakarta Selatan, maka jika Penggugat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hal ini akan memunculkan eksepsi [tangkisan] dari Tergugat yang menyangkut kompetensi relatif pengadilan, dengan alasan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili dan memeriksa perkara [karena Tergugat tinggal di Jakarta Barat] sehingga yang berwenang adalah Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pendapat ini benar, apabila diterapkan di dunia nyata, misalkan sebuah transaksi nyata dilakukan didunia nyata seperti jual-beli, apabila salah-satu pihak wanprestasi atau melakukan perbuatan melawan hukum, maka gugatan harus digugat melalui Pengadilan yang mewilayahi domisili [tempat kediaman] nyata si-Tergugat]. Namun demikian, terhadap Tergugat yang melakukan tindakan  di cyber-space, maka pendapat / pemikiran ini terlalu menggunakan asas hukum konvensional [usang] yang tidak dengan memperluas atau memperhatikan ketentuan hukum acara yang diterapkan atau berlaku berdasarkan pasal 2 UU-ITE. Karena akan bisa menjadi sangat berbeda dalam penentuan kompetensi relatif pengadilan, apabila seorang Tergugat melakukan tindakan [yang diduga melawan hukum] dilakukan di cyber-space [internet].

Dalam cyber-space setiap pengguna akan terhubung ke publik [ke jaringan umum] yang bernama internet yang memiliki jaringan sangat luas [mendunia]. Internet sebagaimana asasnya, dalam menyampaikan informasi telah mampu menembus batas, ruang, waktu bahkan kedaulatan wilayah hukum suatu negara. Dengan menggunakan asas ‘peluasan’ keberlakuan hukum yang dikenal dalam UU-ITE ini, maka tindakan Tergugat di dunia maya tidak perlu diperhatikan [dicari-cari] dimana saat itu ketika Tergugat melakukan tindakan dan berdomisili. Pendapat  ini mungkin bisa disebut dengan terobosan penentuan kompetensi relatif pengadilan, dimana hakim harus berani melakukan terobosan penentuan kompetensi relatif, agar hukum tidak menjadi kaku, namun harus dilakukan dengan cara hati-hati dan bijaksana, tidak menjadi “pedang-tak-bertuan” untuk menebas dan melakukan terobosan hukum secara bebas untuk menerima serta menentukan kompetensi relatif pengadilan pada perkara perdata. Bahkan tidak boleh juga hakim terlalu kaku menentukan kompetensi relatif pengadilan seperti batu-karang yang tak bergeming. Tergugat yang melakukan tindakan di cyber-space tidak perlu diperhatikan dimana Tergugat berdomisili, karena bisa saja Tergugat melakukan tindakan itu dirumah, di kantor, di dalam negeri, di luar negeri atau dimana saja [mobile interaction], yang bisa dilakukan dengan menggunakan gadget secara mobile, namun sepanjang tindakannya tersebut diduga ‘merugikan’ kepentingan orang lain di Indonesia, maka dimanapun Penggugat [berdomisili], Pengadilan layak untuk mempertimbangkan menerima gugatan dimaksud.

Penentuan domisili Tergugat seharus dicermati dengan cara bijaksana [sekali lagi tidak dengan kaku] karena fakta kemajuan teknologi  akan sangat sulit sekali [bahkan bisa dikatakan] hukum menjadi selalu tertinggal jauh jika hanya terpaku kepada ketentuan-ketentuan hukum acara perdata secara statis.





Korelasi cybernetics theory dalam hukum

Korelasi cybernetics theory dalam hukum yaitu untuk menentukan efektifitas suatu sistem hukum yang berlaku bagi masyarakat, khususnya dalam pembentukan perilaku sosial (social behaviour). Hukum sebagai suatu aturan (rule of law) berbanding lurus dengan pemamahan hukum dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum, yang diimplementasikan dalam wujud informasi hukum yang berlaku. Tidak akan ada ketentuan hukum yang berlaku efektif bagi masyarakat, jika informasi hukum tersebut tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Oleh karena itu, publikasi informasi hukum harus dirancang dalam pola interaktif sehingga bisa menangkap dengan baik umpan balik [respon] dari masyarakat, dan menimbulkan kesadaran hukum. Hal tersebut tidak hanya cukup dengan cara sosialisasi atau penyuluhan hukum, melainkan juga harus dengan pengembangan sarana komunikasi ataupun infrastruktur informasi yang baik dan dapat diakses dengan mudah dan murah oleh masyarakat.
Cyernetics theory ini-lah yang menurut penulis sangat penting juga untuk difahami oleh setiap Sarjana Hukum, yang dalam komunitas masyarakat, setiap Sarjana Hukum diharapkan mampu menjadi “corong” informasi hukum dengan adanya bantuan perkembangan teknologi informatika itu sendiri di masyarakat, selanjutnya masyarakat sendiri dapat memberikan respon [umpan balik] atas efektifitas keberlakuan hukum itu sendiri. Dengan cara ini kesenjangan antara hukum yang berlaku dan ketidak-tahuan masyarakat terhadap informasi hukum itu sendiri semakin bisa diatasi. Suatu sistem hukum yang baik tidak mungkin akan terwujud dengan ketiadaan penciptaan hukum-hukum positif yang baru dan dinamis, sehingga suatu sistem hukum yang berlaku bisa dimaksimalkan fungsinya oleh para penegak dan praktisi hukum dalam melaksanakan tugasnya.

22 November, 2012

Bukti Sumpah


Diatur pasal 155-158 dan 177 HIR, pasal 182-185 dan 314 RBg. Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak benar, yang memberikan keterangan akan dihukum oleh-Nya. Ada dua macam sumpah :

Sumpah promissoir, yaitu sumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dilakukan sebelum memberikan kesaksian. Misalnya sumpah saksi atau saksi ahli. Sumpah assertoir atau confirmatoir, yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa sesuatu hal/peristiwa itu benar demikian atau tidak. Dilakukan sesudah memberikan kesaksian. Sumpah sebagai alat bukti (pasal 155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam :

1.       Sumpah suppletoir (tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas perintah Hakim setelah ada bukti permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi (bukti permulaan) karena belum mencukupi, ditambah dengan sumpah tersebut.

2.       Sumpah aestimatoir (penaksiran) yaitu sumpah atas perintah Hakim hanya kepada Penggugat saja, untuk menentukan jumlah uang ganti rugi atau sejumlah uang tertentu dengan rincian yang dituntutnya.

3.       Sumpah decissoir (pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya, jika tidak ada pembuktian apapun dan dapat dilakukan setiap saat selama proses pemeriksaan di persidangan. Dengan sumpah ini kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Oleh karena itu sumpah decissoir harus berkenaan dengan hal yang pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketa. Menolak untuk mengucapkan sumpah akan berakibat dikalahkan.

Asal Mula atau Asal Usul - 4 Teori Kausalitas

Asal Mula atau Asal Usul - 4 Teori Kausalitas
Sebelum Munculnya Sang Buddha

 

Terjadinya Paham Kausalitas, karena kecenderungan berusaha mencari jawaban tentang asal mula  atau asal usul segala sesuatu. Di India sebelum munculnya Sang Buddha terdapat 4 teori Kausalitas yang utama;

1.      Sayaÿ Kataÿ (faktor internal), sayaÿ ; roh yang kekal, kataÿ : membuat diri sendiri. Adalah suatu pandangan bahwa segala sesuatu berasal dari dalam (roh), semua disebabkan oleh roh makhluk atau benda tersebut. Segala sesuatu yang terjadi baik atau buruk karena adanya roh (atta) dalam diri suatu mahluk. Menganut paham Eternalis atau kekekalan bagi kaum Upanisad.

2.      Paraÿ Kataÿ (faktor eksternal) ; bahwa segala sesuatu berasal dari luar, orang yang berpandangan ini tidak setuju dengan pendapat yang pertama (sayaÿ kataÿ). Faktor eksternal ; Niyativàda (nasib atau takdir), Svàbhava (sifat bawaan), Kalavàda (waktu), Issaranimanavàda (brahma atau makhluk supranatural), dan Kamma Lampau.

3.      Sayaÿ Kata¤ ca Paraÿ Kata¤ ca (gabungan 2 teori) ; bahwa segala sesuatu terjadi berasal dari luar dan dari dalam, oleh roh dan faktor eksternal.

4.      Asayakaraÿ apara karaÿ, Adhiccasamuppàda (ahetuvàda) ; tanpa sebab. Bahwa yang terjadi adalah tanpa sebab, tiba-tiba, spontan, ujuk-ujuk, secara kebetulan, sekonyong-konyong. Menganut paham Nihilis, hidup sekali tidak ada kelanjutan lagi atau pemusnahan diri.

Sang Buddha menghindari ke-empat teori tersebut, beliau memakai teori Jalan Tengah bahwa segala sesuatu berasal dari banyak faktor atau sebab yang menghasilkan banyak akibat yang menjadi sebab baru, demikianlah Pañiccasamuppàda.

 

[dikutip dari internet periode Mei 2012 - sekedar referensi bacaan tambahan]

21 November, 2012

Perbandingan Advokat Produk : UU-Bantuan Hukum & UU-Advokat

uu-bantuan hukum No. 16 Tahun 2011 uu-advokat No.18 Tahun 2003
   
Pasal 9 Pemberi Bantuan Hukum berhak: a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum ; PENJELASAN Pasal 9 Huruf a Yang dimaksud dengan “mahasiswa fakultas hukum” termasuk juga mahasiswa dari fakultas syariah, perguruan tinggi militer, dan perguruan tinggi kepolisian. Pengangkatan Pasal 2 (1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
   
Pasal 9 Pemberi Bantuan Hukum berhak: b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum;
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien
f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan Pasal 17 Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum. Pasal 5 (1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10 Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk: d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan  Pasal 19 (1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
   
Pasal 11 Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat. Pasal 16 Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. ; LEBIH UNIK.NYA pemberi bantuan hukum BOLEH MELANGGAR KODE ETIK ADVOKAT.
   
Pasal 22 Penyelenggaraan dan anggaran Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh dan berada di Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan instansi lainnya pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, tetap dilaksanakan sampai berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Komentar : mengapa MA, Kepolisian, Kejaksaan bisa menjadi penyelenggara bantuan hukum, padahal MA, Kepolisian, Kejaksaan BUKAN lembaga yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat?? Bukankah ini suatu keanehan penyaluran dana bantuan hukum? 

16 November, 2012

Pendirian Yayasan Baru Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi R.I.

Hubungan PP-63-2008 Pasal 39 : Dalam Rangka Pendirian Yayasan Baru Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. Mengenai Penyelenggaran Pendidikan Formal Oleh Swasta Kembali Ke Yayasan Dan PP-66-2010 Pasal 60 Hurf d
  1. Bahwa, pada tanggal 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, telah memutuskan  antara lain menyatakan Undang-undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  2. Bahwa, amar putusan ini mempunyai arti yang tegas jika dikaitkan dengan salah satu Pertimbangan Hukum MKRI, ditegaskan suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum.
  3. Adapun bentuk badan hukum yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan, misalnya yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf dan sebagainya, dengan demikian aturan hukum tentang Yayasan tetap berlaku, yaitu Undang-undang nomor 16/2001 tentang Yayasan, Undang-undang  nomor 28 tahun 2004  tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 16 tahun 200 tentang Yayasan, Peraturan Pemerintah nomor 63/2008 tentang  Pelaksanaan Undang-undang Yayasan.
  4. Bahwa, dengan demikian Paska Putusan MKRI penyelenggaraan pendidikan formal oleh swasta kembali ke Yayasan.
  5. Bahwa, hal ini sesuai dengan Pasal 60 huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.
  6. Bahwa, meski demikian jangan ada anggapan, dengan dinyatakan Undang-Undang-BHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan berlakunya PP tersebut. Hal ini tidak mengartikan semuanya selesai berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan formal oleh swasta dalam bentuk Yayasan
  7. Bahwa, ada permasalahan harus kita cermati, mengenai ketentuan Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008 tentang  Pelaksanaan undang-undang   Yayasan yaitu Yayasan yang belum memberitahukan kepada menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 71 ayat (3) undang-undang tidak dapat menggunakan kata “yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (4) undang-undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 68 undang-undang.
  8. Bahwa, Ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah  63 Tahun 2008 tersebut yang perlu diketahui dan dicermati, karena banyak aspek hukum yang harus dikaji lebih mendalam lagi, misalnya yang berkaitan dengan pasal tersebut solusinya dibuat Yayasan baru
  9. Yang perlu diperhatikan yaitu dari Yayasan yang dilikuidasi ke Yayasan baru, harus terlebih dahulu secara mendetail diuraikan dokumen pengalihan apa yang harus dipersiapkan, terutama mengenai assetnya, hutang dan barang yang menjadi jaminan hutang.
  10. Bahwa, melalui konstruksi penyelesaian likudasi, para pihak wajib mempersiapkan dan membuat akta antara lain :
  1. Pendirian Yayasan baru
  2. Berita Acara Rapat  Pembina, Pengawas, Pengurus dan para Pendiri
  3. Pengalihan/Penyerahan izin penyelenggaraan pendidikan formal (beserta tenaga pendidik/tenaga kependidikan/siswa/mahasiswa) juga  (dan nonformal) kepada Yayasan baru.
  4. Hibah tanah (kepada Yayasan baru)
  5. Hibah aset-aset lain melalui akta Notaris (kepada Yayasan baru)
  6. Serah Terima (Levering) – (kepada Yayasan baru)
  7. Delegatie (ataupun bentuk hukum lainnya sesuai dengan tindakkan hukum yang pernah dilakukan oleh Yayasan dalam likuidasi tersebut)
  8. Berita Acara Pemberesan dari Likuidator.
Sumber : notaris-indonesia@yahoogroups.com