29 March, 2011

Penegakan Hukum Illegal Fishing

PENEGAKAN HUKUM DALAM

TINDAK PIDANA PERIKANAN (ILEGAL FISHING)

Oleh : Rr. Novaryana Laras D. Prasasti, S.H.

Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai upaya suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menyangkut adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku. Proses penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sistem hukum dapat diartikan sebagai bagian-bagian proses yang saling bergantungan dan harus ditegakkan serta dipatuhi oleh penegak hukum demi ditegakkannya kepastian hukum.

Perkembangan perikanan tangkap Indonesia maju pesat semenjak Pelita II yang dimulai pada awal tahun 1970-an. Produksi perikanan laut meningkat dari 700 ribu ton pada tahun 1970 menjadi 4,1 juta ton pada tahun 2002, atau meningkat rata-rata 15,2 % per tahun. Namun demikian, peningkatan pada beberapa dasawarsa terakhir tidak sebanding dengan cepatnya peningkatan upaya penangkapan (fishing effort) termasuk dengan hadirnya kapal-kapal asing, hal mana mengakibatkan terjadinya gejala kejenuhan penangkapan (overfishing) di beberapa perairan. Hal ini ditandai dengan timbulnya konflik antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional di beberapa daerah di pantai Utara Jawa dan pantai Timur Sumatera yang mendorong dihapuskannya alat trawl pada tahun 1980 dengan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1980.

Upaya untuk memperkuat sistem pengelolaan perikanan, perairan Indonesia dikelompokkan menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP), meliputi:

  1. WPP 571

Selat Malaka dan Laut Andaman

  1. WPP 572

Samudera Hindia Barat Sumatera dan Selat Sunda

  1. WPP 573

Samudera Hindia Selatan Jawa dan Nusa Tenggara

  1. WPP 711

Selatan Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan

  1. WPP 712

Laut Jawa

  1. WPP 713

Selat Makasar, Laut Flores, Teluk Bone dan Laut Bali

  1. WPP 714

Laut Banda

  1. WPP 715

Laut Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor

  1. WPP 716

Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram

  1. WPP 717

Laut Sulawesi dan Laut Halmahera

  1. WPP 718

Samudera Pasifik

IUU fishing yang terjadi di Indonesia, terjadi pada berbagai aspek aktivitas perikanan tangkap. Kegiatan tersebut mengakibatkan Indonesia mengalami kerugian ekonomi (economic loss). Kerugian ini disebabkan dari penangkapan ikan illegal di EEZ (ZEE) Indonesia, ekspor illegal, pelanggaran daerah penangkapan ikan, pelanggaran penggunaan tenaga kerja asing dan kerugian selisih pembayaran fee akibat kamuflase kapal-kapal ikan eks impor.

Sebagai dasar dari segala kebijakan yang diterapkan untuk menekan terjadinya IUU fishing, maka Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dan menetapkan kebijakan berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan dan sebagainya. Sesuai dengan hierarki hukum yang berlaku di Indonesia, maka produk hukum yang tertinggi adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, kemudian Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Keputusan Menteri hingga Surat Keputusan di bawahnya.

Secara spesifik ada beberapa jenis illegal fishing di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dimana undang-undang ini mengatur Pertama, penangkapan ikan tanpa izin. Kedua, penangkapan ikan dengan izin palsu. Ketiga, penangkapan ikan tidak dilaporkan di pelabuhan pangkalan. Keempat, penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang. Kelima, penangkapan ikan di area yang tidak sesuai izin. Keenam, penangkapan ikan dengan jenis alat tangkap yang tidak sesuai izin.

Sebagai contoh kasus adalah penanganan dan penyelesaian perkara illegal fishing yang dilakukan oleh terdakwa Xiao Zuo Jin warganegara Cina dari Kapal MV Fuan Yuan Yu F68, dimana kejahatan yang dilakukannya termasuk dalam tindak pidana illegal fishing, selanjutnya perkara ini disidangkan pada Pengadilan Negeri Tual. Pada tahun 2006 bertempa6t di Laut Arafura pada posisi 070 53’ 800” LS-1350 24 ‘ 457” BT atau setidak-tidaknya pada suatu tempat dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dimana secara bersama-sama melakukan perbuatan dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia melakukan usaha dibidang pengangkutan ikan, yang tidak memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) sebagaimana dimaksud pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

Dalam penanganannya terdapat konflik kewenangan penyidik dalam penegakanhukum tindak pidana perikanan. Terdapat 3 (tiga) instansi yang berwenang dalam penyidikan tindak pidana perikanan berdasarkan ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, yaitu :

Ayat 1 “ Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawa Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Ayat 2 “ Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidanan di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.”

Ayat 3 “ Penyidikan terhadap tindak pidanan di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan.”

Ayat 4 “ Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.”

Ayat 5 “ Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidanan di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri membentuk forum koordinasi.”

Sebagaimana diatur oleh pasal tersebut diatas proses penanganan dan penyelesaiannya perkara tindak pidana perikanan yang oleh terdakwa Xiao Zuo Jin warganegara Cina dari Kapal MV Fuan Yuan Yu F68 dapat dilakukan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan koordinasi sehingga tidak menimbulkan konflik kewenangan dalam penyidikan.

Dengan demikian seluruh penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan (illegal fishing) dapat menjamin kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa negara Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum (rechtstaat).

Posted @ Saturday, March 26, 2011 11:18 am by Mumun

Peran Orang Tua / Wali dan/atau Guru Dalam Mengawasi Anak Ketika Memanfaatkan Internet

Peran orang tua dan guru sangat dominan dan utama, yang tak tergantikan oleh berbagai jenis piranti lunak / software tersedia, ketika mengawasi anak dalam memanfaatkan internet bagi kebutuhannya. Orang Tua / wali dan guru merupakan sasaran utama untuk mendapatkan pelatihan [edukasi] agar mereka tidak bodoh teknologi. Peran orang-tua / wali dan guru kepada anak atau murid-muridnya ketika memanfaatkan internet, jauh lebih sakti ketimbang menyelenggarakan proyek pembuatan atau instalasi program penyaring konten pornografi ataupun melalui perangkat-perangkat hukum yang akan memutuskan untuk memblokir konten / muatan pornografi di internet. Cara ini misalnya dapat dilakukan dengan memperkara muatan situs-situs lokal yang berisi informasi berguna atau menjadikannya sebuah situs sebagai mitra anak-anak dan remaja sehingga akan tercipta internet sehat.

11 March, 2011

HAK-HAK PENCARI KEADILAN

Hak-hak Masyarakat Pencari Keadilan

(Pasal 6 ayat 1 huruf c SK KMA-RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007)

1. Berhak memperoleh Bantuan Hukum

2. Berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh Penuntut Umum

3. Berhak segera diadili oleh Pengadilan

4. Berhak mengetahui apa yang disangkakan kepadanya pada awal pemeriksaan.

5. Berhak mengetahui apa yang disangkakan kepadanya dalam bahasa yang dimengerti olehnya.

6. Berhak memberikan keterangan secara bebas dihadapan hakim.

7. Berhak mendapatkan bantuan juru bahasa/penerjemah jika tidak paham bahasa Indonesia.

8. Berhak memilih penasehat hukumnya sendiri.

9. Berhak menghubungi penasehat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.

10. Bagi orang asing berhak menghubungi/berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses persidangan.

11. Berhak menghubungi/menerima kunjungan dokter pribadinya dalam hal terdakwa ditahan.

12. Berhak mengetahui tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang.

13. Berhak menghubungi/menerima kunjungan keluarga untuk mendapatkan jaminan penangguhan penahanan atau mendapatkan bantuan hukum.

14. Berhak menghubungi/menerima orang lain yang tidak berhubungan dengan perkaranya untuk kepentingan pekerjaan atau kepentingan keluarganya.

15. Berhak mengirim/menerima surat ke/dari Penasehat hukumnya atau keluarganya setiap kali diperlukan olehnya.

16. Berhak menghubungi / menerima kunjungan rohaniawan.

17. Berhak diadili dalam sidang yang terbuka untuk umum.

18. Berhak untuk mengajukan saksi atau saksi ahli yang menguntungkan bagi dirinya.

19. Berhak segera menerima atau menolak putusan.

20. Berhak minta banding atas putusan pengadilan, dalam waktu yang ditentukan undang-undang, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan dalam acara cepat.

21. Berhak untuk mencabut atas pernyataanya menerima atau menolak putusan dalam waktu yang ditentukan undang-undang.

22. Berhak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam waktu yang ditentukan undang-undang.

23. Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 95 KUHAP.

(Pasal 50 s/d 68 dan pasal 196 uu no.8 tahun 1981 tentang KUHAP