17 December, 2010

Ne Bis In Idem [asas]

Secara harafiah artinya 'tidak dua kali terhadap hal yang sama'. Ini merupakan suatu asas yang dijunjung tinggi dalam sistem tata cara peradilan di Indonesia. Asas ini terkandung dalam pasal 76 [1] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tegas bahwa :
  1. kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan teresbut. [kami lengkapi dengan ayat 2]
  2. Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal [1] putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum [2] putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
Suatu perkara yang sudah diputus secara definitif, tidak dapat diungkit-ungkit lagi. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diubah lagi. Asas ini penting diterapkan demi kepastian hukum, perikemanusiaan dan wibawa putusan hakim, selain untuk menjamin bahwa suatu perkara harus berakhir atau ada akhirnya. Memang harus diakui bahwa tidak setiap masalah apalagi yang sulit dan pelik dapat dipecahkan dan diputus secara memuaskan. Namun setiap proses hukum haruslah berakhir secara definitif dengan adanya putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Asas nebis in idem berlaku baik terhadap perkara pidana maupun perkara perdata. Perkara yang sudah mempunyai 'gezag van gewijsde' [putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap] tidak dapat diajukan untuk diperiksa dan diputus oleh karena salah satu pihak yang tidak puas. Putusan harus membuahkan kepastian hukum, yang merupakan tuntutan dalam lalu lintas hukum di Indonesia.

04 December, 2010

Sidang dibuka dan terbuka untuk umum [manfaatnya]

Saat ini dunia peradilan yg kotor, mafia peradilan, putusan-putusan pengadilan yg dirasakan tidak fair, tidak adil dan penuh rekayasa...... bahkan ada yg berani berkomentar bhw. Pengadilan di Indonesia saat ini bagaikan ikan busuk yg sulit untuk disegarkan lagi.... bukan hal asing sampai ditelinga kita untuk di dengar, bahkan sudah menjadi hal yang BIASA di masyarakat. Sepertinya, masyarakat juga pasif saja, pasrah, dan bahkan ada yg semaksimal mungkin menghindari aspek kehidupannya untuk berurusan dengan lembaga Pengadilan ini atau mungkin ada yg sudah sampai taraf apatis thd. lembaga peradilan di Indonesia, yang ujung-ujungnya tidak sedikit masyarakat yg mengecam, menghina, menjelek-jelekan nama baik si personil yang masuk dalam jajaran catur wangsa penegak hukum seperti menjelekkan si hakim, jaksa, polisi dan pengacara.
Disatu sisi pers-pun yg telah bebas, mudah, dan terbuka sekarang ini jarang juga dimanfaatkan oleh masyarakat pencari keadilan [termasuk masyarakat lain] di era reformasi sekarang ini [mungkin karena memang tidak mengerti, tidak tahu dan tidak tahu apa-apa] akhirnya masyarakat hanya berkomentar tanpa bisa bertindak apapun.
Dalam dunia peradilan nyata, setiap persidangan di mulai dengan ketukan palu oleh Ketua Majelis Hakim dengan mengucapkan kalimat pertamanya adalah : "SIDANG DIBUKA DAN TERBUKA UNTUK UMUM". Nah..... disinilah kami melihat, jarang sekali masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan hukumnya, bersedia hadir, masuk ruang sidang, dan mengikuti acara persidangan. Sehingga terjadi suatu persidangan yg terlihat sepertinya tertutup untuk umum dan hanya para praktisi hukum saja yg boleh memasuki ruang sidang. Sebenarnya dgn. adanya kehadiran masyarakat di ruang persidangan [hanya menonton & gratis] menurut kami akan memperkecil suatu rekayasa persidangan yg memungkinkan jajaran penegak hukum ini menciptakan suatu keadaan yg tidak adil dalam suatu perkara. Entah berapa persen.nya [belum diadakan penelitian] tapi dengan hadirnya masyarakat umum paling tidak akan memberi pengaruh bagi jalannya persidangan menjadi fair. Sayang hingga saat ini masyarakat masih enggan untuk datang ke Pengadilan, hadir dan duduk di ruang sidang untuk mengikuti jalannya pemeriksaan perkara, yang mengakibatkan masyarakat akan selalu berada pada posisi dangkal pengetahuan hukum mereka dalam dunia peradilan, dan tidak berani mengeluarkan argumentasi-argumentasi positif serta membangun agar citra pengadilan semakin baik di kemudian hari. Lebih di sayangkan lagi, banyak dari Sarjana Hukum di Indonesia [lulusan Univ. Swasta / Negeri] belum pernah sekalipun menginjak Gedung Pengadilan yg mewilayahinya [di domisili tempat tinggalnya] walau-pun selama +\- 4-5 tahun dia belajar mengenai Hukum selama di Universitas.
Tokh.... dengan hadirnya mereka di ruang sidang, minimum akan mereka peroleh pengetahuan hukum [gratis] yang tentunya akan bermanfaat bagi kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan cara langsung mengamati jalannya persidangan, yg memiliki materi hukum sangat tinggi di dalam penerapan di Pengadilan. Ada baiknya kita bertanya, pada diri sendiri, apakah Anda tahu hakim yg bertugas di Pengadilan yg mewilayahi domisili tempat tinggal anda ?..... pasti kebanyakan jawaban akan ditemukan bhw. mereka Tidak Tahu Siapa Hakim berwenang di Pengadilan tempat tinggal mereka....., tapi siapa aktor film dunia yg mereka kagumi, mereka akan bisa menyebutkan namanya. Nah... sederhana....kan.... cukup 30 menit datang, duduk dan serta ikuti jalannya persidangan yg terbuka untuk umum dalam 1 minggu sekali, maka niscaya pengetahuan hukum masyarakat kita bertambah dan lambat atau cepat kita akan bisa menggunakan fungsi kontrol kita selaku anggota masyarakat terhadap dunia peradilan....... karena pengetahuan kita-pun telah cukup terhadap hukum Indonesia, dan saya berani menjamin bhw. majelis hakim, jaksa penuntut umum maupun pengacara yg bersidang saat itu tidak akan mengusir mereka atau menanyakan keperluan apa mereka hadir dan duduk di ruang sidang yg sedang berlangsung [kecuali memang dinyatakan sebelumnya bhw. sidang tersebut tertutup (utk. kasus-kasus tertentu) dan pintu ruang sidang memang dalam kondisi tertutup].
Pemikiran dan tulisan ini hanya sekedar sumbang saran kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan fungsi kontrolnya terhadap lembaga peradilan, yg jika apabila terjadi kejanggalan.... mereka dapat langsung secara tertulis/lisan dan positif, menyampaikan hasil pengamatannya kepada Ketua Pengadilan setempat, atau kepada pers/mas media sekalipun, dan diharapkan tidak terjadi selogan, yel-yel, reformasi-reformasi kosong yg keluar dari mulut sarjana hukum [tidak terkecuali dosen S.1 atau S.2] yg memprotes hasil persidangan/putusan, padahal ybs. belum pernah ke Gedung Pengadilan, hadir dan duduk dalam ruang sidang mengikuti jalannya persidangan.
Ok... sekian dulu..... mohon tanggapan & kritik positif atas anjuran kami.
Salam : Robaga
Attorney at Indonesian Law RGS & Mitra
Telah dipublikasi melalui milis
bantuanhukum-online@yahoogroups.com
Tanggal 15 Maret 2001
http://groups.yahoo.com/group/bantuanhukum-online/message/103

01 December, 2010

Sekilas mengenai kejahatan kerah putih

Istilah white collar crime [WCC] dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan menjadi kejahatan kerah putih atau 'kejahatan-berdasi' [tapi ga biasa disebut kejahatan 'berkonde']. Istilah WCC pertama kali dikembangkan oleh seorang kriminolog AS bernama Edwin Hardin Sutherland [1883-1950] pada awal dekade 1940.an, yang dikemukakan dalam pidatonya [27 Desember 1939] dan saat itulah pertama kali muncul konsep whie collar crime yaitu pada The American Sociological Society di Philadelphia tahun 1939, yang kemudian Sutherland menerbitkan buku berjudul White Collar Crime pada tahun 1949.

Berbeda dengan kejahatan konvensional yang melibatkan para pelaku kejahatan jalanan [street crime, blue collar crime, blue jeans crime], terhadap WCC para pelakunya adalah mereka yang merupakan orang-orang terpandang di masyarakat dan biasanya berpendidikan tinggi.

Modus operadi bagi WCC sering pula dilakukan dengan cara-cara yang canggih, malahan bercampur-baur dengan teori-teori dalam bidang ilmu pengetahuan, seperti akunting dan statistik. Karenanya, walaupun ada 'permainan' dan 'intrik', namun dari permukaan [dari luar] maka perbuatan itu terkesan benar / legal / perbuatan yang biasa, namun tindakan/perbuatan itu sesungguhnya merupakan suatu kejahatan. Jika diukur dengan kecanggihan modus yang dilakukan, dan melibatkan orang-orang 'kelas-tinggi' dan sangat besarnya uang yang dijarah, maka pantas jika WCC dikategorikan kejahatan kelas tinggi berlatar-belakang kepada filosofi yang salah yaitu Greedy is Beautiful [kerakusan itu indah].

Kejahatan WCC bisa berdampak nasional & internasional [sangat luas], sulit dibuktikan, namun kita bisa merasakan bahwa dunia atau sekitar kita sedang dicengkram atau dijajah oleh kejahatan berdasi ini. WCC berskala internasional banyak terjadi misalkan dalam bentuk-bentuk kejahatan :
  1. sindikat internasional perdagangan obat bius
  2. penyelundupan
  3. pembunuhan masal [genocide]
  4. terorisme
  5. perusakan atau pemanfaatan lingkungan hidup tak terkendali
  6. pengotoran [polusi] darat, laut, udara
  7. pencucian uang
  8. penggelapan pajak
  9. perdagangan senjata gelap
  10. pembuangan limbah beracun
  11. penyapan terhadap pemegang kekuasaan
  12. kelalaian [hubungannya dengan nuklir]
  13. korupsi, perdagangan manusia dan lain-lain

Jenis kejahatan WCC bisa disimpulkan dari :
  1. kejahatan wcc melibatkan uang yang jauh lebih besar dari kejahatan biasa, bisa 10 kali lipat besarnya.
  2. Penjahat biasa lebih sering dipenjara dibanding pelaku WCC. Dari penelitian 91% pelaku kejahatan konvensional [mis. perampokan bank] dipenjara, sementara hanya 17% dari pelaku kejahatan penggelapan / korupsi di perbankan masuk penjara.
  3. Sanksi hukum penjara terhadap pelaku kejahatan konvensional jauh lebih berat ketimbang sanksi hukum penjara bagi pelaku kejahatan WCC.