30 October, 2010

Surat Keputusan Pembukaan Cabang

[Tanya] Saya mau bertanya kepada rekan-rekan sekalian, jika ada PT berdomisili di semarang dan ingin membuka cabang di bogor, apakah perlu membuat surat keterangan domisili di bogor dan akta pembentukan cabang? Karena untuk membuka rekening bank diminta surat-surat tersebut, jika memang tidak perlu, apa yang harus diberikan kepada bank untuk membuka rekening atas nama PT tersebut.
Mohon pencerahannya
Dari: gitapratiwi_not ; Kepada: Notaris_Indonesia-groups ; Tanggal: Rabu, 27 Oktober, 2010, 5:47 AM


RGS Jawab : Saya lebih cenderung menyarankan, agar dalam rangka pembukaan cabang, cukuplah dibuatkan satu Surat Keputusan [SK] yang ditanda-tangani oleh Direksi atau Pimpinan perusahaan + satu orang lain yang berwenang, misalkan Direktur-Umum dan General Manager, atau Direktur Utama dan General Manager, tergantung peraturan dan/atau kebiasaan pada perusahaan tersebut.
Tindakan ini cukup efektif, karena apabila ingin membuka cabang di 27 kota tersebar tentu ga perlu keluar biaya banyak mis. harus menghubungi notaris pada masing-2 kota. SK ini efektif juga dalam pengakhiran, misalkan di satu kota cabang itu bubar atau dalam kondisi pailit, maka cukup dikeluarkan SK pembubaran cabang, dan segala tanggung-jawab cabang itu beralih ke kantor pusat PT. Dalam SK dapat pula dibuat berbagai rincian tugas dan kewenangan dari masing-masing cabang.
SK ini bisa pula flexible, misalkan pimpinan cabang itu berganti, maka cukup dibuatkan Addendum atau dibuatkan SK Cabang yang baru.
Untuk keperluan pembukaan rekening bank, cukuplah SK dari kantor pusat ini diperlihatkan kepada bank, bahwa si piminan cabang berwenang membuka rekening bank atas PT untuk transaksi keuangan pada cabang bersangkutan. Tentu harus dilengkapi clausula-clausula detail karena hal ini cukup riskan untuk menghindari terjadi penyimpangan keuangan di cabang bersangkutan.

18 October, 2010

Amicus Curiae

"Amicus Curiae"
Merupakan istilah latin yang mungkin jarang terdengar di pengadilan Indonesia. Amicus Curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law, yang mengizinkan pengadilan untuk mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.Amicus Curiae yang dalam bahasa Inggris disebut "friend of the court", diartikan : "someone who is not a party to the litigation, but who believes that the court's decision may affect its interest".
Terjemahan bebas, amicus curiae adalah friends of the court atau "sahabat pengadilan", dimana, pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Miriam Webster Dictionary memberikan definisi amicus curiae sebagai "one (as a professional person or organization) that is not a party to particular litigation but that is permitted by the court to advise it in respect to some matter of law that directly affects the case in question".
Dengan demikian, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa ; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas. Dalam tradisi common law, mekanisme amicus curiae pertama kali diperkenalkan pada abad-14. Selanjutnya pada abad ke-17 dan 18, partisipasi dalam amicus curiae secara luas tercatat dalam All England Report. Dari laporan ini diketahui beberapa gambaran berkaitan dengan amicus curiae :
  1. fungsi utama amicus curiae adalah untuk mengklarifikasi isu-isu faktual, menjelaskan isu-isu hukum dan mewakili kelompok-kelompok tertentu;
  2. amicus curiae, berkaitan dengan fakta-fakta dan isu-isu hukum, tidak harus dibuat oleh seorang pengacara (lawyer);
  3. amicus curiae, tidak berhubungan penggugat atau tergugat, namun memiliki kepentingan dalam suatu kasus;
  4. izin untuk berpartisipasi sebagai amicus curiae
Di Amerika Serikat, sebelum terjadinya kasus Green v. Biddle pada awal abad ke-19, lama sekali pengadilan menolak untuk memperbolehkan partisipasi amicus curiae dalam proses peradilan. Namun, sejak awal abad 20 amicus curiae memainkan memainkan peranan penting dalam kasus-kasus hak sipil dan aborsi. Bahkan, dalam studi yang dilakukan tahun 1998, amicus curiae, telah berpartisipasi dalam lebih dari 90 persen kasus-kasus yang masuk ke Mahkamah Agung.

Perkembangan terbaru dari praktik amicus curiae adalah diterapkannya amicus curiae dalam penyelesaian sengketa internasional, yang digunakan baik oleh lembaga-lembaga negara maupun organisasi internasional. Sementara untuk Indonesia, amicus curiae belum banyak dikenal dan digunakan baik oleh akademisi maupun praktisi. Sampai saat ini, baru dua amicus curiae yang diajukan di Pengadilan Indonesia, amicus curiae yang diajukan kelompok penggiat kemerdekaan pers yang mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus majalah Time versus Soeharto dan amicus curiae dalam kasus " Upi Asmaradana " di Pengadilan Negeri Makasar, dimana amicus curiae diajukan sebagai tambahan informasi buat majelis hakim yang memeriksa perkara.

Walaupun amicus curiae belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, dengan berpegang pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi " Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ", sebagai dasar hukum pengajuan amicus curiae, maka tidak berlebihan apabila mekanisme ini dapat digunakan sebagai salah satu strategi untuk mengklarifikasi prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, terutama kasusu-kasus yang melibatkan berbagai UU atau pasal yang kontroversial. "Pidana Penghinaan adalah Pembatasan Kemerdekaan Berpendapat yang Inkonstitusional" Amicus Curiae (Komentar Tertulis) diajukan oleh : ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI dan YLBHI atas Kasus : "Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia" di Pengadilan Negeri Tangerang Nomor Perkara : 1269/PID.B/2009/PN.TNG, Jakarta, Oktober 2009.

sumber : kutipan internet