30 August, 2009

Sekilas Pengertian Sumber Hukum

Sumber-Sumber Hukum
PENGERTIAN
Terdapat beberapa pengertian tentang sumber hukum : segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dsb yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu. Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum. C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah, dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari putusannya. Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.

Pembedaan Sumber-Sumber Hukum
Beberapa pakar secara umum membedakan sumber-sumber hukum yang ada ke dalam (kriteria) sumber hukum materiil dan sumber hukum formal, namun terdapat pula beberapa pakar yang membedakan sumber-sumber hukum dalam kriteria yang lain, seperti :
a. Edward Jenk, terdapat 3 sumber hukum yang biasa ia sebut dengan istilah “forms of law” yaitu :
1. Statutory;
2. Judiciary;
3. Literaty.
b. G.W. Keeton , sumber hukum terbagi atas :
1. Binding sources (formal), yang terdiri :
- Custom;
- Legislation;
- Judicial precedents.
2. Persuasive sources (materiil), yang terdiri :
- Principles of morality or equity;
- Professional opinion.

SUMBER HUKUM MATERIIL & SUMBER HUKUM FORMAL
Pada umumnya para pakar membedakan sumber hukum ke dalam kriteria :
a. Sumber hukum materiil; dan
b. Sumber hukum formal.

Sudikno Mertokusumo
Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.
Sumber Hukum Formal
Merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.

SUMBER HUKUM FORMAL
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata mengingat cara untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut.
Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat. Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.
Yang termasuk Sumber-sumber Hukum Formal adalah :
a. Undang-undang;
b. Kebiasaan;
c. Traktat atau Perjanjian Internasional;
d. Yurisprudensi;
e. Doktrin.

1. Undang-undang :
Undang-undang di sini identik dengan hukum tertutlis (ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Pengertian hukum tertulis sama sekali tidak dilihat dari wujudnya yang ditulis dengan alat tulis.. dengan perkataan lain istilah tertulis tidak dapat kita artikan secara harfiah, namun istilah tertulis di sini dimaksudkan sebagai dirumuskan secara tertulis oleh pembentukan hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
Undang-undang dapat dibedakan atas :
a. Undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya sehingga disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formal tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukannya.
b. Undang-undang dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.

2. Kebiasaan :
Dasarnya : Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam penjelasan otentik pasal di atas dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harusterjun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

3. Traktat atau Perjanjian Internasional :
Perjanjian Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti formal. Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional.

Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi :
(1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain;
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luasdan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.

4. Yurisprudensi :
Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.

Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.

Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
1) Putusan perdamaian;
2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.

5. Doktrin :
Doktrin adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut.
Doktrin bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.
Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam perkara perceraian dan kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat pakar-pakar fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan sebagainya.

27 August, 2009

Perlu Tidaknya Mengadakan Perjanjian Pemisahan Harta


From: vl To: Notaris Indonesia<Notaris_Indonesia@yahoogroups.com>
Dear rekan dan para seniors,
Kalau boleh tanya mengenai perjanjian perkawinan atau pisah harta. Kalau dari beberapa pertanyaan sebelumnya mengenai hal ini ada seputar proses atau landasan hukumnya. Yang ingin saya tanyakan, apa sebenarnya keuntungan dan kerugiannya. Apakah sebaiknya dalam setiap perkawinan dibuat perjanjian perkawinan, mengingat dari budaya timur kita kayaknya belum terbiasa dengan hal seperti itu. Mohon pencerahannya. GBU & Regards - VL

Simple Opini From RGS
Mbak VL, saya coba bantu agar pemahaman lebih gampang berdasarkan pertanyaan awal sebagai berikut :
  • Yang ingin saya tanyakan, apa sebenarnya keuntungan dan kerugiannya. Apakah sebaiknya dalam setiap perkawinan dibuat perjanjian perkawinan, mengingat dari budaya timur kita kayaknya belum terbiasa dengan hal seperti itu..
RGS : Agar memudahkan, opini kami berikan berdasarkan beberapa contoh [fiksi] semata-mata untuk memudahkan pemahaman. Sebagaimana contoh berikut. Jika berdasarkan fakta salah satu atau kedua pasangan menjalankan usaha / berbisnis, mis. si suami pedagang dan begitu pula si-iteri adalah pengusaha mis. direktur utama suatu PT. Maka apabila si-suami berhutang kemudian jatuh pailit, maka kekayaan isteri tidak bisa digugat untuk ikut melunasi hutang-hutang suami.nya, karena sudah ada perjanjian pemisahan harta bersama [suami-isteri]. Pada contoh lain, mis. si-suami memiliki fasilitas kredit bank [dalam kedudukaan sebagai debitur], kemudian selaku debitur si-suami ga mampu bayar hutang terhadap bank, maka bank tidak bisa menggugat atau menuntut harta isteri untuk dijadikan pelunasan atau isteri turut serta melunasi hutang suaminya, walau si-isteri ini kaya-raya.
Pertimbangan budaya timur
Memang dalam kenyataan / fakta budaya orang-timur tidak terbiasa untuk memisahkan harta kekayaan suami-isteri. Bahkan bisa tercipta kesan demikian :
  1. jika si-isteri lebih miskisn & sebelum nikah disodorin akta perjanjian pemisahan harta, tentu si-wanita [calon-isteri] bisa tersinggung jungkir balik, "lah gadis miskin koq mau nikah sama pria kaya malah disodorin perjanjian jenis ini ? memang disangkanya calon isteri bakal morotin harta suami atau mertua-pria, jadi dengan adanya perjanjian ini [seolah-olah] tetap menempatkan si-gadis miskin tetap sadar, kalau dia menikah nanti tidak 1 sen-pun harta akan dia dapatkan, dan kedudukannya tetap selaku wanita-miskin yang menikah dengan pria-kaya, jadi si-isteri hanya sebagai mesin produksi anak.
  2. Jika si-suami lebih miskin dari isteri dan sebelum nikah disodorin akte perjanjian pemisahan harta, tentu si-pria [calon suami], "mungkin" ada yang menyesal karena tadinya memang berniat mau morotin harta calon isteri dan mertua, tapi kepergok duluan sebelum pernikahan dilangsungkan [karena keluarga-besar atau si-calon isteri mencurigai dan/atau memiliki adanya indikasi si-pria ini ingin menjarah harta mertua atau harta pribadi si calon isteri]. Walau bisa tercipta kondisi, si-pria tidak perduli masalah harta dia tentu akan berani menandatangani akte-perjanjian pemisahan harta ini.
  3. Sebagai pembanding dengan memperhatikan budaya timur, sebelum melangsungkan perikahan, tetap diseleksi ketat oleh keluarga besar baik calon suami atau calon isteri, untuk memperhatikan bibit-bebet-bobot dari masing-masing pasangan, bahkan dalam tradisi adat Batak harus diperhatikan 3 aspek antara lain hamoraon, hagabeon hasangapon => kedudukan, kehormatan dan kekayaan si-calon pasangan, nah kaya begini lebih ekstrim-khan. Terkadang, karena adanya perbedaan tiga-h ini, pernikahan bisa gagal dilangsungkan, padahal si-pria dan si-wanita sudah komitmen mau nikah tapi terbentur oleh hukum adat.
Namun contoh / fakta yang saya uraikan pada butir ke-1 dan ke-2 diatas, bukan filosofi atau latar-belakang yang perlu dipertimbangkan untuk diselenggarakannya perjanjian pemisahan harta. Dalam praktek, biasanya perjanjian pemisahan harta lahir dari keluarga kalangan pe-bisnis, terlebih lagi keluarga pebisnis yang memiiki resiko tinggi. Filosofi tertinggi dari lembaga perjanjian pemisahan harta adalah untuk menyelamatkan harta pribadi masing-masing pasangan [suami atau isteri], dari kecerobohan atau kelalaian salah-satu pihak [suami/isteri] yang mungkin terjadi di kemudian hari setelah pernikahan dilangsungkan, apabila salah-satu pasangan pada akhirnya mengalami kerugian [dalam hal bisnis].
Jadi, masalah kerugian atau keuntungan diadakan atau tidak diadakannya perjanjian pemisahan harta, itu tergantung dari kebutuhan para pihak yang akan melangsungkan pernikahan.
Salah satu sisi keuntungan perjanjian pemisahan harta, yaitu adanya kepastian hukum atau bahasa gampangnya, kalau ada laba ya untung sendiri, kalo rugi atau pailit ya tanggung-sendiri. Ini sesuai dengan azas individualisme yang dianut oleh Hukum Perdata.
Demikian pula setelah perkawinan dilangsungkan dan terpaksa harus diakhiri [mis. perceraian bukan karena kematian], maka para pihak [suami atau isteri] ga perlu repot2 menggugat pembagian harta bersama yang merupakan hak mereka masing-2 dan sah menurut hukum.

rgs-xxvi-mmix
Advokat - Moderator Milis

26 August, 2009

Dasar Hukum Peninjauan Kembali

Kata Kunci : Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Yang dimaksud dengan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap [ga bisa diutak-atik], artinya putusan itu tidak dapat dirubah lagi [melalui upaya-upaya hukum biasa].

Peninjauan Kembali + Upaya Hukum Istimewa
Dalam hukum acara [perdata atau pidana] ada upaya hukum yang bernama lembaga peninjauan kembali, yang bermaksud hendak merubah putusan yang tidak dapat dirubah lagi. Nah disinilah letak ke-istimewaaannya dimana upaya peninjauan kembali bermaksud merubah isi suatu putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Karena melalui lembaga PK terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali via Mahkamah Agung.
Dasar Hukum Aturan mengenai Peninjauan kembali ada diberbagai lokasi [Aquo] yang untuk mengetahui, silahkan download
  1. Hukum Acara Pidana [uu-08-1981 ; lihat bagian kedua pasal 263 dst.]
  2. uu-14-1985 Tentang Mahkamah Agung Jo. uu-05-2004 : Tentang Perubahan UU-14-1985 Tentang Mahkamah Agung, lihat di uu-14-1985 bagian ke-empat pasal 66 serta pasal-terkait lainnya => download uu-14-1985 Jo. uu-05-2004
  3. uu-04-2004 : Kekuasaan Kehakiman [lihat pasal 23] & Penjelasan
  4. uu-16-2004 : Kejaksaan Republik Indonesia & Penjelasan
  5. Kalau mau mendalami cerita Peninjauan Kembali [di-era tahun 1980.an] silahkan download e-book hukum : Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuasan Hukum Yang Tetap - Peraturan Mahkamah Agung R.I. No.1 Tahun 1980, silahkan klik & download e-book law ini disini.
Robaga Gautama Simanjuntak

15 August, 2009

The Miranda Rights

The Miranda Rights
http://www.voa.gov/programs/audio/realaudio/
[Disiarkan: 9 April, 2000]

Kalau anda sering menonton film Amerika yang menyangkut penjahat dan polisi, pasti anda pernah mendengar kata-kata yang diucapkan polisi ketika menangkap seorang tersangka yang berupa : "You have the right to remain silent. Anything you say can be used against you in a court of law". Jika diterjemahkan kira-kira akan memiliki arti : "Anda punya hak untuk berdiam diri, dan apapun yang anda katakan bisa dipakai sebagai bukti di muka pengadilan untuk memberatkan kasus anda".
Kalimat diatas adalah bagian dari apa yang dikenal dalam hukum Amerika sebagai Miranda Rights atau Hak-Hak Miranda, yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam sebuah keputusannya pada tahun 1966. Pada hakekatnyaHak-hak Miranda adalah jaminan bahwa tersangka tidak boleh dipaksa membuat pernyataan di luar pengadilan, yang akan merugikan dirinya sendiri. Namun sekarang telah banyak kelompok kepolisian, para penyelidik kejahatan [investigator] dan perkumpulan jaksa penuntut umum, meminta kepada Mahkamah Agung supaya mencabut atau membatalkan Hak-Hak Miranda itu, dengan alasan bahwa “hak tersebut hanya merugikan masyarakat banyak, khususnya para korban kejahatan”.
Paul Cassel adalah seorang pengacara dan Guru Besar ilmu hukum di Universitas Utah. Dia adalah pendorong utama untuk dihapuskannya kewajiban polisi memberi tahu tersangka akan hak tersebut. Cassel mengutip sebuah kasus dimana seorang terdakwa dibebaskan dari tuduhan pembunuhan, karena polisi tidak membacakan Hak-Hak Miranda, sebelum dia memberikan pengakuan.
Menurut para pendukung peraturan itu, peringatan untuk tidak membuat pernyataan atau pengakuan yang akan merugikan diri sendiri itu, sangat penting untuk menjamin integritas polisi yang melakukan pemeriksaan awal. Tanpa Miranda Rights, menurut American Civil Liberties Union, sebuah kelompok pembela hak asasi yang kuat, dikhawatirkan akan terjadi kasus-kasus pemaksaan ataupun penyiksaan yang dilakukan oleh polisi yang sedang berupaya untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.
Kongres Amerika dalam tahun 1968 sebetulnya telah mengeluarkan sebuah keputusan yang pada dasarnya membatalkan Hak-Hak Miranda, dengan mengatakan, pengadilan akan mempertimbangkan pengakuan seorang terdakwa yang di berikan kepada polisi, asal saja pengakuan itu dilakukan secara sukarela, artinya tanpa paksaan.
Menurut Departemen Kehakiman, Hak-Hak Miranda itu dibuat berdasarkan Amandemen ke-5 Undang-undang Dasar Amerika yang menjamin hak tersangka untuk tidak memberikan kesaksian atau pernyataan yang merugikan diri sendiri. Karena adanya keraguan akan keabsahan keputusan Kongres tahun 1968 itulah, maka tujuh pemerintahan Amerika yang telah berkuasa sejak itu tidak pernah berusaha untuk memberlakukannya. Menurut Para Pengacara Departemen Kehakiman, karena Miranda Rights dibuat berdasarkan Undang-undang Dasar, maka Kongres tidak punya hak untuk membatalkannya. Tapi kendati The Fraternal Order of Police, perkumpulan polisi terbesar di Amerika dan kelompok-kelompok petugas hukum lainnya yang punya anggota dalam jumlah ratusan ribu, keberatan untuk terus diberlakukannya Miranda Rights, namun tidak semua petugas kepolisian sepakat. Harian Washington Post mengutip Charles A. Moose, kepala Polisi di Montgomery dekat Washington, mengatakan, polisi telah terbiasa dengan pelaksanaan Hak-Hak Miranda itu, selama lebih dari satu generasi.
ISTILAH MIRANDA RIGHTS diambil dari nama Ernesto Miranda, seorang laki-laki berumur 23 tahun yang ditangkap polisi di Phoenix atas tuduhan memperkosa seorang perempuan dalam tahun 1963. Ketika diperiksa polisi, Ernesto Miranda mula-mula mengatakan tidak bersalah, tapi kemudian memberikan pengakuan tertulis bahwa dialah pelakunya. Waktu itu polisi tidak memberi tahu Miranda bahwa dia punya hak untuk tidak membuat pernyataan yang akan memberatkan dirinya, dan bahwa dia punya hak untuk didampingi seorang pengacara. Setelah pengadilan menjatuhkan hukuman, Ernesto Miranda naik banding dengan mengatakan hak-haknya yang dijamin oleh Undang-undang Dasar telah dilanggar; sehingga Mahkamah Agung memutuskan pada tahun 1966, semua tersangka yang ditangkap polisi harus diberi tahu tentang hak-hak yang dimilikinya, dan sejak itulah muncul istilah Miranda Rights.