10 July, 2009

Pencurian Identitas Nasabah & Penerapan KYC

Dengan semakin dinamis dan mudahnya transaksi perbankan dewasa ini, dalam sekejap berbagai transaksi keuangan dapat dilaksanakan. Terlebih dengan didukung teknologi mutakhir, berbagai transaksi bisa dilakukan melalui internet banking, mobile banking, ATM tanpa perlu seseorang berkunjung ke Bank untuk meminta pertolongan kasir / teller Bank. Kemudahan jasa perbankan sekarang, agar tetap dibarengi kewaspadaan dari setiap nasabah pemilik rekening Bank [baik untuk nasabah tabungan atau-pun deposito atau-pun pemegang Rekening Giro]. Begitu pula kewaspadaan agar terus disadari oleh setiap petugas Bank, terutama petugas bank yang bertindak selaku ujung tombak dalam menghimpun dana pihak ketiga dari masyarakat. Kewaspadaan petugas Bank ini dikenal dengan 3 Prinsip yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan seperti :
  1. Prinsip kehati-hatian [Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998]
  2. Prinsip Menjaga Rahasia Nasabah [Pasal 1 (28) Undang-Undang No.10 Tahun 1998] ; dan
  3. Prinsip Mengenal Nasabah/Know Your Customer Principles [KYC] diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003
Ketiga prinsip penting diatas sebaiknya tidak diterapkan Bank secara kaku hanya untuk satu kegiatan tertentu. Seperti prinsip kehati-hatian diterapkan terhadap debitur yang ingin meminta permohonan fasilitas pinjaman, prinsip menjaga rahasia nasabah dalam rangka upaya bank yang berkewajiban merahasiakan keterangan mengenai informasi Nasabah Penyimpan dan jumlah simpanannya terhadap pihak ketiga, atau-pun Prinsip KYC dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang. Ketiga prinsip ini sebaiknya diterapkan dalam pengertian tindakan yang seluas-luasnya, termaksud terhadap nasabah datang hanya sekedar membuka rekening tabungan.
Pentingnya hal ini untuk diwaspadai, karena kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan jasa bank sudah sering terjadi, bahkan bisa jadi korban dari pelaku kejahatan perbankan adalah pemilik asli rekening Tabungan itu sendiri, yaitu dengan adanya modus pembukaan rekening Bank asli tetapi palsu. Kondisi ini dapat dicegah dengan cara menerapkan ketiga prinsip diatas secara disiplin & berkesinambungan, terutama prinsip KYC yang diantaranya mengatur kewajiban Bank menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah dan menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah.
Dalam contoh kasus sederhana, misalkan Tn. A telah kehilangan sebuah dompet yang berisikan KTP, SIM, Paspor, kartu kredit, kartu ATM, dan sebagainya yang selanjutnya dari musibah kehilangan ini, Tn. A membuat laporan keposian karena kehilangan, dan memblokir kartu ATM & kartu kredit, untuk selanjutnya dibuatkan lagi kartu-kartu pengganti yang baru. Tindakan Tn. A ini benar, namun belum sepenuhnya aman. Apabila kartu identitas Tn. A yang hilang dan masih berlaku tersebut dimanfaatkan si-pencuri untuk membuka Rekening Tabungan Bank yang mengatas-nama-kan Tn. A [tentu setelah datanya di-rekayasa atau dipalsukan], maka si-pencuri akan menerima kartu ATM atas nama Tn.A, selanjutnya dengan menggunakan rekening tabungan ini si-pencuri selanjutnya mengadakan transaksi misalkan menampung uang yang diperoleh karena hasil kegiatan yang bersifat melawan hukum, misalkan melakukan penipuan kepada masyarakat melalui undian berhadiah, menerima transaksi pembayaran dari hasil kejahatan dalam jumlah wajar misalkan judi, jual beli narkoba, penipuan berdasarkan kontrak jual-beli, atau transaksi fiktif lain yang bersifat melawan hukum, sehingga merugikan pihak ketiga yang telah menyetorkan uang ke rekening aspal tersebut.
Selanjutnya, apabila korban ingin menyeret kasus ini ke Meja hijau, sudah pasti Tn. A minimum akan dijadikan Tersangka “awal” selaku pemilik rekening yang telah menerima uang transaksi yang tidak sah dimaksud. Misalkan si-pencuri mengadakan jual-beli narkoba senilai Rp. 120 juta dimana pembayarannya dilakukan melalui rekening Tn. A, disini lembaga PPATK selaku pemantau transaksi keuangan pertama akan mempertanyakan fakta ini kepada Tn. A selaku nasabah penerima uang F hal ini tentu akan sangat mengesalkan Tn. A yang sama sekali tidak menerima uang dan tidak bisa melakukan transaksi melalui rekening atas namanya, tetapi telah dijadikan tersangka baik oleh pihak penyidik atau PPATK. Peristiwa sangat merugikan Tn. A selaku pemilik identitas asli, karena pelaku kejahatan yang sesungguhnya sudah “lenyap” atau tidak bisa ditemukan.
Disinilah peranan penting petugas bank ketika menerima nasabah tabungan untuk menerapkan prinsip KYC. Tidak perlu tergesa-gesa untuk menerima setoran awal dari nasabah walau dalam jumlah yang wajar. Petugas bank seharusnya bertanya kepada nasabah secara teliti dan mengadakan klarifikasi secara detail, terutama bagi orang yang akan membuka rekening ke-dua dan seterusnya pada Bank yang sama. Jika perlu petugas Bank harus menolak pembukaan rekening, apabila ada indikasi pemberian data yang tidak benar, dan tujuan pembukaan rekening tabungan tidak “logis”, misalkan seorang nasabah membuka rekening tabungan hingga 4 buah pada satu bank, dan ketika di-verifikasi terdapat perbedaan data yang prinsipil antara rekening tabungan yang satu dengan yang lainnya.
Penolakan seperti ini wajar dilakukan, karena kemungkinan besar “pencuri-identitas” tidak mengetahui bahwa pembukaan rekening tabungan berdasarkan identitas palsu tersebut, adalah rekening kedua dari pemilik identitas asli. Pentingnya penolakan tersebut diterapkan petugas bank, yaitu untuk menghindari munculnya korban yang tidak perlu, karena dalam suatu kejahatan dengan menggunakan rekening berdasarkan identitas palsu, minimum akan muncul 2 korban sekaligus. Pertama si-korban yang telah mentransfer ke rekening palsu [bisa saja lebih dari 1 orang], dan korban kedua adalah pemilik identitas asli yang telah dipalsukan identitasnya untuk membuka rekening aspal. Akibat kegagalan menerapkan KYC terhadap si-pelaku kejahatan yang telah berhasil membuka rekening tabungan, maka setelah melakukan kejahatan, secara gemilang ia akan menarik seluruh uang [via ATM] lalu menghilang tanpa bekas. Yang lebih membahayakan, apabila si-pencuri identitas membuka rekening tabungan Bank lebih dari satu bank. Sehingga didukung kelalain Bank dalam menerapkan KYC, hal ini akan semakin menimbulkan banyak korban dan ketidak-percayaan yang tinggi dari masyarakat terhadap jasa perbankan.
Oleh karenanya prinsip KYC dalam penerapan sebaiknya tidak dibatasi Bank hanya untuk mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena prinsip ini sangat efektif untuk mencegah perbuatan melawan hukum pidana atau-pun perdata, yang menggunakan jasa bank melalui pembukaan rekening tabungan dengan identitas palsu. Sebaliknya lawan dari Prinsip Know Your Customer, yaitu kewajiban setiap nasabah mengenal dengan baik Petugas Bank [guna mencegah adanya konspirasi negatif antara petugas bank dengan pihak lain]. Sehingga diharapkan dengan adanya “prinsip saling mengenal antara nasabah dan petugas bank”, Bank semakin mudah menjalankan kewajibannya dalam melindungi nasabah selaku konsumen Bank.

Jakarta, Agustus-September 2006
Penulis Advokat - Robaga Gautama Simanjuntak

Goodwill

Goodwill adalah salah satu unsur dari urusan perusahaan, yang termasuk dalam kelompok benda bergerak tak bertubuh atau benda immateriel. Goodwill itu baru ada pada perusahaan yang berkembang baik, sehingga mendapat banyak laba atau biasa disebut perusahaan yang mempunyai goodwill.

Mr. SJ.Fockema Andrea [dalam buku Rechtsgeleerd Handwoordenboek] menyatakan bahwa Goodwill adalah suatu benda ekonomis tak bertubuh, yang terjadi dari pada hubungan antara perusahaan dengan para langganan dan kemungkinan perkembangan yang akan datang.

Goodwill dapat dipindah tangankan bersama dengan urusan perusahaan dan menjelma dalam balance sebagai laba. Jadi pada hakekatnya goodwill menampakkan dirinya dalam balance sebagai laba/keuntungan dan bukan dalam bentuk kerugian. Membahas goodwill adalah membicarakan tentang kemajuan perusahaan dan bukan kemunduran perusahaan. Secara sederhana goodwill dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Rumusan sederhana [RGS].

Hal ini telah ditetapkan dengan arrest H.R. tanggal 9 Maret 1951

GOOWILL =

nilai lebih perusahaan sebagai satu kebulatan hasil kegiatan usaha
jumlah nilai seluruh benda yang merupakan urusan perusahaan

Goodwill suatu perusahaan terjadi sebagai akibat dari adanya hubungan [relaties] baik, management baik, cara mengatur jalannya perusahaan yang sistimatis dan efisien, pemilihan tempat penjualan strategis, pemasangan iklan yang tepat dan menarik para langganan, pemilihan bahan dasar yang tepat, baik dan murah, hasil produksi baik, memenuhi selera konsumen dan harga murah, pelayan perusahaan yang menarik para pembeli dan lain-lain, sedemikian rupa sehingga perusahaan bisa menarik laba banyak. Perusahaan yang memiliki goodwill dapat dipindah-tangankan dengan harga yang tinggi, memperoleh untung banyak, dan sahamnya dapat dijual dengan harga yang tinggi pula pada bursa saham. Goodwill adalah salah satu dari unsur urusan perusahaan, termasuk dalam kelompok benda bergerak tak bertubuh yang bersifat immateriel, disebabkan karena :

  1. Adanya hubungan timbal balik yang baik antara perusahaan dan langganan, di mana langganan selalu menghendaki barang hasil perusahaan, dan perusahaan menghendaki memberi pelayanan yang baik kepada para langganan

  2. Adanya prospek perkembangan operasionil menyenangkan pada masa mendatang, misalnya dari hasil barang perusahaan itu sangat dan selalu dibutuhkan oleh orang, dan dengan bertambahnya penduduk yang semakin lama bertambah, maka kebutuhan terhadap barang produksi perusahaan makin bertambah pula ;

Adanya goodwill akan mengakibatkan laba dalam balans, meningkatnya harga saham di atas harga nominal di bursa saham. Goodwill merupakan hak subjektif yang bersenyawa dengan urusan perusahaan, jadi tidak bisa dipindahtangankan begitu saja atau secara tersendiri, terpisah dengan urusan perusahaan. Apabila seseorang mau menjual goodwill, maka urusan perusahaanya-pun harus dijual juga kepada pembeli yang sama.

Goodwill hanya-ada pada perusahaan yang mendapat laba. Perusahaan yang baru didirikan atau perusahaan yang tidak mendapat untung [rugi], maka Goodwill-nya tidak ada pada perusahaan itu. Sejak adanya Arrest HR tanggal 9 Maret 1951.

Jakarta, 10 Juni 2005

Robaga Gautama Simanjuntak

05 July, 2009

Penerapan Pasal Penghinaan dalam UU-ITE

Dulu sewaktu UU-ITE baru mulai berlaku, saya sudah mengetahui adanya issue upaya hukum untuk mengantar bayi UU-ITE ini ke meja Mahkamah Konstitusi [MK]. Beberapa rancangan dan dukungan telah saya terima pula sesama rekan advokat, yang saya sendiri hadir ketika ada diskusi mengenai pengajuan permohonan MK terhadap pasal 27 UU-ITE ini [hotel-cemara]. Dan secara pribadi-pun saya sudah memberikan suatu opini sederhana melalui milis ini Perhimpunan Advokat Indonesia, sebelum pasal ini diajukan ke MK. Saya juga mencermati keluhan dan beban yang dialami oleh Mr. PL, yang pada diskusi ini menceritakan bagaimana ketidak-nyamanan dia saat menjadi tersangka, walau saya tidak tahu bagaimana kelanjutan proses pidana Mr. PL apakah sudah di-stop [dipeti-es-kan oleh Penyidik] ataukah sudah dilimpahkan ke Pengadilan.
Secara pribadi, saya sendiri mencemaskan jika ketentuan pasal 27 UU-ITE ini akan digunakan seperti [pedang] seorang-samurai yang digunakan membabi buta oleh aparat penyidik [kepolisian] guna menghajar kebebasan pers dalam meng-ekspresikan, tulisan, opini, fakta atau hal-hal lain yang sesungguhnya positif bagi informasi masyarakat. Bahkan tidak tertutup kepada perorangan yang telah menyampaikan ide, gagasan, kritikan, atau apapun kepada masyarakat lain, dari alamat email yg dimiliki, atau melalui blog + website yang dikelola secara pribadi. Misalkan pada milis PERADI terdapat cukup keras kritikan dan tulisan [yang sesungguhnya tidak enak dibaca] yang jika kita cermati bisa kita dalilkan / tuduhkan berdasarkan pasal penghinaan atau paling gampangnya perbuatan-tidak-menyenangkan.
Kembali kepada penerapan pasal 27 UU-ITE ini, bukankah seharusnya pasal ini baru berlaku jika si korban dapat membuktikan adanya Kerugian?. Syarat kerugian ini sesungguhnya secara tegas telah diutamakan atau harus dibuktikan terlebih dahulu oleh si-korban, karena menurut kami syarat ini telah dimunculkan sejak awal pasal UU-ITE sebagaimana diatur pada pasal 2 UU-ITE yaitu Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Kemudian pasal yang dipermasalahkan yaitu pasal 27 [3] yang mengatur bahwa setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ; yang memiliki ancaman pidana pada [Penjelasan Pasal 27 Cukup jelas] ; dengan ancaman pidana
Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kami sendiri menafsirkan keberlakuan pasal 27 [3] pun harus terpenuhi atau dibuktikan terlebih dahulu adanya Kerugian sebagaimana dimaksud pasal 2 UU-ITE. Jika tidak disertai syarat kerugian, maka saya akan mempertanyakan mau dikemanakan denda uang sebesar Rp.1 M itu? atau kepada siapa duit Rp.1 M itu akan dibayar atau diberikan? lihat dalam pasal ini digunakan ketentuan dan/atau bukan "atau saja" atau "dan saja", jadi selain ada sanksi penjara ada pula sanksi denda.
Jika kita berfikir logis, tentunya denda sebesar Rp.1 M itu harus diberikan atau dibayar kepada orang atau pihak yang menjadi korban penghinaan dan pencemaran nama baik, yang karena ada delik ini korban itu mengalami rugi dan boleh diganti dengan uang. Inilah yang menjadi logika yuridis saya, mengenai harus terpenuhi / dibuktikan terlebih dahulu adanya syarat kerugian, baru bisa diberlakukan pasal 27 [3] ini kepada pers atau orang-perorangan. Jika syarat kerugian ini tidak ada atau tidak terpenuhi, maka otomatis pasal 27 [3] ini tidak bisa diterapkan pincang, atau harus dipaksakan, "pokoknya ini orang mesti di penjara, perkara ada atau tidak kerugiian, orang ini harus dipidana [tentu tidak demikian pemahamannya].
Sesungguhnya dengan berlakunya UU-ITE sangat dibutuhkan kejelian yang luar biasa bagi advokat [juga aparat penegak hukum lain] mengingat uu ini masih sangat baru di Indonesia, juga dibutuhkan kejelian menafsiran keberlakuan pasal 27 [3] UU-ITE. Karena tindak pidana ini dibarengi dengan unsur perdata [ada denda dalam nilai rupiah], artinya tuntutan ganti rugi itu juga harus dibuktikan terlebih dulu atau secara bersama-sama, yang bisa diwujudkan melalui gugatan ganti rugi dalam proses acara pidana [BAB XIII KUHAP - Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian].
Saya sendiri mencermati UU-ITE masih berupa "Hukum-Pelengkap" dari kekosongan hukum di Indonesia. Misalkan UU-ITE ini melengkapi hukum acara dalam hal pembuktian, ketika kami mengajukan bukti-bukti elektronik [mis. alamat website, alamat download] hal ini bisa diterima oleh Majelis Hakim, karena sebelumnya di tahun 2000 bukti2 yang berasal dari internet yang kami ajukan ditolak oleh Majelis Hakim, karena tidak ada dasar pengakuan terhadap bukti yang berasal dari internet.
Kami tetap menghargai upaya dari masyarakat ataupun rekan advokat yang mengajukan permohonan pengujian pasal 27 [3] UU-ITE ini ke Mahkamah Konstitusi. Yang saya yakini, upaya ini masih bisa diajukan kembali [tidak berarti kandas-das-das-sudah] karena dinamika dan perkembangan masyarakat terus berlangsung, demikian pula tidak tertutup kemungkinan pasal-pasal kaku ataupun yang menimbulkan penafsiran ganda dan membahayakan [mengganggu ketertiban hukum masyarakat] pasti akan di-remove [tidak diberlakukan/dibatalkan keberlakuannya]. Mohon kritisi dan saran positif.
Salam hormat,
Simple opini by
Robaga Gautama Simanjuntak

03 July, 2009

Benturan Hukum Adat & Hukum Nasional [pembagian waris]

Saturday, September 13, 2008 8:07 PM
To: rgsimanjuntak@gmail.com

Saya mau tanya pak pengacara Yth: saya seorang anak tertua laki-laki (patrilinial), saya orang bali.dahulu beragama hindu,tetapi sekarang beralih pindah menjadi nasrani. kalau secara hukum apakah saya mempunyai hak untuk mewaris harta peninggalan dari orang tua saya, karena bapak saya pernah mengatakan kalau kamu pindah agama,secara hukum adat di bali kamu tidak akan mendapat warisan dari orang tua saya. setahu saya uud 1945 menjamin hak seseorang memeluk suatu keyakinan dan kepercayaan. apakah undang-undang perdata / bw, masih menjamin hak saya . sekian dan terima kasih. Dari : M-Bali

RGS : Dalam permasalahan ini ada benturan sistem hukum, antara hukum adat dan hukum nasional. Jika kita membahas berdasarkan ketentuan hukum nasional [KUHPerdata] maka tidak dipermasalahkan apakah si-ahli waris berpindah agama atau tidak. Namun tidak demikian apabila diberlakukan hukum adat [Bali]. Namun jika terjadi ketidak-adilan karena adanya penerapan pembagian waris berdasarkan hukum adat, maka si-ahli waris, bisa mengajukan gugatan pembatalan pembagian waris dimaksud, dengan tergugatnya si ahli waris lain yang memiliki hak-waris dari si-pewaris. Gugatan bisa diajukan jika si-pewaris sudah meninggal dunia, sehingga adanya pewarisan yang berdasarkan [hukum-adat-Bali] menimbulkan kerugian [yaitu hilangnya hak] dari si-pewaris yang berpindah agama. Nanti bagaimana keadilan ini akan diterapkan, kita serahkan semuanya kepada kebijaksanaan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini. Yang tentunya, si penggugat harus mengajukan alasan, landasan yuridis, serta fakta2 yuridis dan logis.